Welcome to Afive Blog

Kata-kata yang baik memiliki daya kreatif, kekuatan yang membangun hal-hal mulia, dan energi yang menyiramkan berkat-berkat kepada dunia.
JANGAN LUPA ISI BUKU TAMU

Senin, 01 Februari 2010

AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL

Share on :


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya.
Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan ada yang tidak , apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman hidupnya.

B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana pengaruh agama pada kesehatan mental ?
  2. Bagaimana pengaruh agama pada kesehatan fisik ?
  3. Bagaimana keterkaitan manusia dengan agama ?
  4. Apa yang dimaksud dengan terapi keagamaan ?
C.    Tujuan Masalah
  1. Agar mengetahui bagaimana pengaruh agama pada kesehatan mental.
  2. Agar mengetahui bagaimana pengaruh agama pada kesehatan fisik.
  3. Agar mengetahui bagaimana keterkaitan manusia dengan agama.
  4. Agar mengetahui apa yang dimaksud dengan terapi keagamaan.

BAB II
PEMBAHASAN
AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL

Agama seseorang adalah ungkapan dari sikap akhirnya pada alam semesta, makna, dan tujuan singkat dari seluruh kesadarannya pada segala sesuatu. Agama hanyalah upaya mengungkapkan realitas sempurna tentang kebaikan melalui setiap aspek wujud kita. Agama adalah pengalaman dunia dalam seseorang tentang ke-Tuhanan disertai keimanan dan peribadatan.
Jadi agama pertama-tama harus dipandang sebagai pengalaman dunia dalam individu yang mengsugestit esensi pengalaman semacam kesufian, karena kata Tuhan berarti sesuatu yang dirasakan sebagai supernatural, supersensible atau kekuatan diatas manusia. Hal ini lebih bersifat personal/pribadi yang merupakan proses psikologis seseorang.
Yang kedua adalah adanya keimanan, yang sebenarnya intrinsik ada pada pengalaman dunia dalam seseorang. Kemudian efek dari adanya keimanan dan pengalaman dunia yaitu peribadatan.
Psikologis atau ilmu jiwa mempelajari manusia dengan memandangnya dari segi kejiwaan yang menjadi obyek ilmu jiwa yaitu manusia sebagai mahluk berhayat yang berbudi. Sebagai demikian, manusia tidak hanya sadar akan dunia disekitarnya dan akan dorongan alamiah yang ada padanya, tetapi ia juga menyadari kesadaranya itu , manusia mempunyai kesadaran diri ia menyadari dirinya sebagai pribadi, person yang sedang berkembang , yang menjalin hubungan dengan sesamanya manusia yang membangun tata ekonomi dan politik yang menciptakan kesenian, ilmu pengetahuan dan tehnik yang hidup bermoral dan beragama, sesuai dengan banyaknya dimensi kehidupan insani.[1]
Thomas Van Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berfikir , manusia ber-Tuhan karena manusia menggunakan kemapuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapatkan tempatnya hingga sekarang ini dimana para ahli mendewakan ratio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama.[2]
Kita tidak percaya kepada agama bukan karena secara ilmah menemukan agama itu hanya sekumpulan tahayul, orang yang menolak agama bukan karena alasan rasional, melainkan fakto psikologis yang tidak disadari, Nietsche menolak Tuhan seperti yang diakuinya bukan karena pemikiran tapi karena naluri.
Dizaman kuno penyakit yang diderita manusia sering dikaitkan dengan gejala-gejala spiritual. Seorang penderita sakit dihubungkan dengan adanya gangguan roh jahat oleh semacam makhluk halus. Karenanya, penderita selalu berhubungan dengan para dukun yang dianggap mampu yang berkomunikasi dengn makhkuk halus dan mampu menahan gangguannya. Pengobatan penyakit dikaitkan dengan gejala rohani manusia.
Sebaliknya, didunia modern penyakit manusia di diagnose berdasarkan gejala-gejala biologis. Makhluk-makhluk halus yang diasumsikan sebagai roh jahat dimasyarakat primitive, ternyata dengan penggunaan perangkat medis modern dapat di deteksi dengan mikroskop, yaitu berupa kuman atau virus. Kemajuan dalam bidang tekhnologi kedokteran membawa manusia demikian yakinnya bahwa gejala simtomatis penyakit disebabkan faktor fisik semata. Kepercayaan ini sebagian besar memang dapat dibuktikan keberhasilan pengobatan dengan menggunakan peralatan dan pengobatan hasil temuan dibidang kedokteran modern.
Sejak awal-awal abad ke 19 boleh dikatakan para ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungna timbal balik ini menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis) dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Sikosomatik). Dan diantara faktor mental yang di indentifikasikan sebgai potensial dapat menimbulkan gejala tersebut adalah keyakinan agama. Hal ini antara lain disebabkan sebagian besar dokter fisik mslihat bahwa penyakit mental (mental illness) sama sekali tak ada hubungannya dengan penyembuhan medis, serta berbagai penyembuhan penderita penyakit mental dengan menggunakan pendekatan agama.

A.    MANUSIA DAN AGAMA
Menurut Abraham Maslow (seorag pemuka psikologi humanistic) menyatakan bahwa kebutuhan manusia itu bertingkat :
1.      kebutuhan fisiologis : kebutuhan dasar untuk hidup seperti makan, minum, istirahat, dsb.
2.      Kebutuhan akan rasa aman, yang mendorong orang untuk bebas dari rasa takut dan cemas, seperti dimasifestasikan dalam bentuk tempat tinggal yang permanen.
3.      Kebutuhan akan rasa kasih sayang : pemenuhan hubungan antar manusia, manusia membutuhkan saling perhatian dan keintiman dalam pergaulan hidup.
4.      kebutuhan akan harga diri, dimanifestasikan dalam bentuk aktualisasi, seperti berbuat sesuatu yang berguna.

Menurut Victor Frankle (pendiri aliran logoterapi) menyatakan eksistensi manusia ditandai oleh 3 faktor : (1) keruhanian; (2) kebebasan; (3) dan tanggung jawab.
Agama memang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Pengingkaran manusia terahadap agama agaknya dikarenakan faktor-faktor tertentu baik yang disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing. Namun, untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dari rasa keagamaan tampaknya sulit dilakukan. Manusia ternyata memiliki unsur batin yang cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada zat yang ghaib. Ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia yang dalam psikologi kepribadian dinamakan (self ) maupun hati nurani (conscience of man).

Agama sebagai fitroh manusia telah di informasikan dalam Al-Qur’an :
“ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) ; tetaplah atas fitroh Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitroh Allah. (itulah agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya “. (Q.S 30 : 30 ).

B.     EFEK AGAMA PADA KESEHATAN FISIK DAN MENTAL
Berdasarkan penelitian bahwa agama tidak berpengaruh negatif terhadap kesehatan mental dan fisik.
1.      Efek Pada Kesehatan Mental
-          Agama salah satu dari faktor penting yang membantu mengatasi suasana hidup yang penuh stress;
-          Agama juga dapat meramalkan siapa yang akan atau tudak akan mengalami depresi;
-          Merendahkan tingkat depresi, penyembuhan dari depresi yang lebih cepat, kesejahteraan dan moril yang lebih tinggi, harga diri yang lebih baik, kepuasan hidup yang lebih tinggi, meramalkan perasaan yang positif, dukungan sosial yang lebih tinggi, dll.[3]

Sejumlah kasus yang menunjukan adanya hubungan antara faktor keyakinan (agama) dengan kesehatan jiwa (mental) tampaknya sudah disadari para ilmuan beberapa abad yang lalu. Misalnya, pernyataan Carl  Gotay Jung “ diantara pasien saya yang setengah baya, tidak seorang pun yang penyebab penyakit kejiwaannya tidak dilator belakangi oleh aspek agama “.
Dalam menghadapi sikap yang tak terhindar lagi bagi kondisi, menurut logo terapi, maka ibadah merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk membuka pandangan seorang akan nilai-nilai potensial dan makna hidup yang terdapat dalam diri dan sekitarnya.[4]

  1. Efek Pada Kesehatan Fisik
-          Seseorang yang berkeyakinan/beragama apabila terserang penyakit, lebih cepat sembuhnya dari pada yang tidak beragama atau tidak mempunyai keyakinan.
-          Do’a penyembuhan terbukti menimbulkan tanggapan positif dari kalangan masyarakat luas dan memang   terbukti bisa menyembuhkan.[5]

C.    TERAPI KEAGAMAAN
Pendekatan terapi keagaamaan ini dapat dirujuk dari informasi Al-Qur’ an sendiri dari kitab suci. Diantara konsep terapi gangguan mental ini adalah pernyataan Allah : dalam surat Yunus dan Isra’.
“ Wahai manusia, sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu Al-Qur’an yang mengandung pelajaran, penawar bagi penyakit batin (jiwa), tuntunan serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Q.S Yunus : 57)
“ Dan kami turunkan Al-Qur’an yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Q.S Isra’ : 82)

      Kesehatan mental adalah : suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman, dan tentram. Upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan). Dalam Al-Qur’ an petunjuk mengenai penyerahan diri cukup banyak.
      Dari keterangan Surat Ar-Rad : 28, Allah dengan tegas menerangkan, bahwa ketengan jiwa dapat dicapai dengan zikir (mengingat Allah). Pada ayat Al-A’rof – 35, dikatakan Allah, bahwa rasa takwa dan perbuatan baik adalah metode pencegahan dari rasa-rasa tahut dan sedih. Pada ayat Al-Baqarah : 15, ditunjukan pula oleh Allah jalan bagaimana cara seseorang mengatasi kesukaran dan problema kehidupan sehari-hari, yaitu dengan kesabaran dan shalat. Dan pada ayat Al-Fath : 4, Allah menyifati diri-Nya bahwa Dia-lah Tuhan yang Maha Mengetahui dan Bijaksana yang dapat memberikan ketenangan jiwa kedalam hati orang-orang yang beriman.

D.    MUSIBAH
Musibah dari pendekatan agama, musibah dapatg dibagi menjadi 2 macam :
1.      Musibah yang terjadi sebagai akibat dari ulah tangan mnusia, karena kesalahan yang dilakukannya, manusia harus menanggung akibat buruk dari perbuatan sendiri, musibah ini dikenal sebagai hukum karma, yakni sebagai “pembalasan”.
2.      Musibah sebagai ujian dari Tuhan. Musibah ini sama selaki tidak ada hubungannya dengan perbuatan keliru manusia. Betapapun baik dan bermanfaatnya aktifitas yang dilakukan manusia, serta taatnya mereka menjalankan perintah Tuhan, musibah yang seperti ini bakal mereka alami juga. Oleh karena itu, musibah ini sering di hubung-hubungkan dengan “takdir” (ketentuan Tuhan).

Adapun yang menjadi latar belakangnya, setiap musibah tetap saja mendatangkan petaka bagi korbanya. Mereka yang tertimpa musibah akan mengalami penderitaan lahir dan batin. Secara lahir, mungkin mereka kehilangan harta benda ataupun milik yang paling disayanginya, berpisah atau kehilangna anggota keluarga dan kerabat. Penderitaan ini akan memberi pengaruh psikologi, seperti pasrah ataupun putus asa. Bahkan dalam kondisi tertentu akan memberi dampak terhadap perasaan keagamaan. Informasi media masa maupun tayangan TV, menggambarkan betapa banyak korban tsunami yang mengalami trauma, ataupun gangguan kejiwaan.
            Menurut pendekatan psikologi agama, sebenarnya derita batin yang dialami oleh korban musibah terkait dengna itngkat keberagamaannya. Bagi mereka yang memiliki keyakinan yang mendalam terhadap nilai-nilai ajaran agama, bagaimanapun akan lebih mudah dan cepat menguasai gejolak batinnya. Agama menjadi pilihan dan rujukan untuk mengatasi konflik yang terjadi dalam dirinya, dikala musibah menimbulkan rasa kehilangan dari apa yang dimilikinya selama ini, hatinya akan dibimbing oleh nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agamanya. Bila ia seorang muslim, ia akan merujuk dalam pernyataan Tuhan : “ Apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya, dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. (Q.S 16:53).


BAB III
P E N U T U P

A.    KESIMPULAN
Psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi.
Musibah yang terjadi sebagai akibat dari ulah tangan mnusia, karena kesalahan yang dilakukannya, manusia harus menanggung akibat buruk dari perbuatan sendiri, musibah ini dikenal sebagai hukum karma, yakni sebagai “pembalasan”.
Musibah sebagai ujian dari Tuhan. Musibah ini sama selaki tidak ada hubungannya dengan perbuatan keliru manusia. Betapapun baik dan bermanfaatnya aktifitas yang dilakukan manusia, serta taatnya mereka menjalankan perintah Tuhan, musibah yang seperti ini bakal mereka alami juga. Oleh karena itu, musibah ini sering di hubung-hubungkan dengan “takdir” (ketentuan Tuhan).



DAFTAR PUSTAKA

Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Dr liza, Psikologi Agama, http://drliza.wordpress.com, Tuesday, 25 Maret 2008
Fauzi Ahmad, Psikologi Umum, Pustaka setia, Bandung, 2004
Rakhamat Jalaluddin, Psikologi Agama sebuah pengantar,PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2003
Ramayulis, Psikologi Agama , Kalam Mulia, 2004
Jalaluddin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005


[1] Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 288
[2] Dr liza, Psikologi Agama, http://drliza.wordpress.com, Tuesday, 25 Maret 2008
[3] Rakhamat Jalaluddin, Psikologi Agama sebuah pengantar,PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2003. Hal. 229
[4] Jalaluddin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Hal. 162
[5] Ibid. Hal. 230
Properties

Share / Save / Like

4 komentar:

  1. ass. suwun mbah tulisan mu sangat membantu. oh ya mbah aku mohon petunjuk, sampean punya buku The Psychology of relegion karangan Edwin Diller starbuck g? atau mungkin webste apa yang bisa meng akses buku/resesnsi buku tersebut

    BalasHapus
  2. Wassalam, sama2 kawanku sumardianton, hhhee
    saling berbagi itu indah, tp no plagiat !!
    wahh.., ane gk punya tuh buku asing mas bro, maaf yah? emg gk punya, soal web link ane bantu ntr via FB ajah linknya ane kirim.

    BalasHapus
  3. Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.

    BalasHapus

Komentar baik menunjukkan pribadimu !