Oleh: Afiful Ikhwan
PENDAHULUAN
Pembicaraan
seputar Islam dan pendidikan tetap menarik, terutama terkait dengan upaya
membangunsumber daya manusia muslim. Dan sebagaimana dimaklumi bahwa dalam
Islam belum terdapat rumusan tentang sistem pendidikan yang baku, melainkan
hanya terdapat nilai-nilai moral dan etis yang seharusnya mewarisi sistem
pendidikan tersebut. Sebagai contoh, nilai-nilai tersebut terlihat dalam ayat
al Qur’an yang pertama kali turun, yaitu ayat 1 s.d. 5 surat al ‘Alaq:
إقرأ باسم ربّك الذى خلق. خلق اللإ نسان من علق. إقرأ وربّك
الأكرم. الذى علّم بالقلم. علّم اللإنسان مالم يعلم (العلق: 1-5)
Artinya:
“Bacalah dengan (mnyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha
pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Pada
ayat tersebut paling tidak terdapat 5 komponen pendidikan, yaitu guru (Allah),
murid (Muhammad SAW), sarana dan prasarana (qalam), metode (iqra’), dan
kurikulum.
Pendidikan
jika dipandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada
tercapainya tujuan akhir pendidikan (Ghofir, 1993: 25), yang mana dinilai dan
diyakini sebagai sesuatu yang paling ideal. Bagi Indonesia tujuan yang ideal
itu dicapai melalui sebuah proses dan sistem pendidikan nasional sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 Bab
II pasal 3 (2003: 7) : Pendidikan nasional…bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan
Islam sebagai sub sistem dari sistem pendidikan nasional yang mencita-citakan
terwujudnya insan kamil atau orang Islam yang saleh ritual dan saleh sosial,
secara implisit akan mencerminkan ciri kualitas manusia Indonesia seutuhnya
sebagaimana yang digambarkan di atas (Fadjar, 1998: 30).
Akan
tetapi kemudian realita di lapangan menunjukkan bahwa dunia pendidikan saat ini
pada umumnya sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup Barat yang antara lain
bercorak ateistik, materialistik, dan skeptis. Sehingga kemudian yang terjadi
adalah munculnya pola hidup yang bercorak materialistik, hedonistik,
individualistik, pola hidup permissive, living together. Landasan filosofis
pendidikan yang seperti ini harus segera diperbaiki agar sesuai dengan
pandangan hidup Islami dan disesuaikan dengan nilai luhur budaya bangsa
Indonesia (Abudin Nata, 2003: 179).
Sehingga
sejalan dengan pandangan tersebut, bagaimana Islam sebagai ajaran yang
universal dapat memberikan solusi bagi masalah-masalah nasional, terutama
masalah pendidikan dengan berperan aktif dalam rangka membawa dan merawat
perkembangan umat manusia.
Demikian
strategisnya posisi dan peranan pendidikan, sehingga umat Islam senantiasa
concern terhadap masalah tersebut. Sehingga banyak sekali bermunculan lembaga –
lembaga pendidikan dengan berbagai macam program yang sampai hari ini masih
berkibar, dalam rangka ikut serta mensukseskan pembangunan nsional di bidang
pendidikan yang bermuara pada terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya.
Dalam
rangka mencapai sebuah hasil yang dicita-citakan dalam dunia pendidikan yang
dalam hal ini pendidikan Islam, perlu sebuah kejelasan konsep yang dikonstruksi
dari sumber-sumber ajaran Islam, dengan tanpa meninggalkan rumusan para pakar
pendidikan yang dianggap relevan yang kemudian konsep tersebut dituangkan dan
dikembangkan dalam kurikulum pendidikan (Muhaimin, 1991: 10). Kurikulum
merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu
Lembaga Pendidikan Islam (Arifin, 2003: 77). Dengan kurikulum akan tergambar
secara jelas secara berencana bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam
pendidikan.
Kurikulum
sebagai sebuah bangunan atau sistem, tidak bisa lepas dari berbagai komponen
yang saling mendukung satu dengan lainnya. Dengan berbagai bagian tersebut akan
menghasilkan sebuah bangunan dalam rangka mencapai sebuah titik akhir berupa
tujuan yang dalam hal ini adalah tujuan pendidikan Islam.
KOMPONEN
KURIKULUM PENDIDIKAN
Sebagaimana
dimaklumi bahwa manusia atau binatang sebagai suatu organisme, memiliki susunan
atau unsur-unsur anatomi tertentu, dimana yang satu dengan lainnya saling
menopang. Demikian halnya dengan kurikulum pendidikan yang di dalamnya terdapat
berbagai bagian yang saling mendukung dan membentuk satu kesatuan. Nana Syaodih Sukmadinata (2002: 102)
mengidentifikasi unsur atau komponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama
adalah : tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian dan media,
serta evaluasi, yang kempatnya berkaitan erat satu dengan lainnya.
Lain
halnya dengan Tohari Musnamar sebagaimana dikutip Muhaimin (1991: 11), telah
mengidentifikasikan dan merinci komponen - komponen yang dipertimbangkan dalam
rangka pengembangan kurikulum yaitu: dasar dan tujuan pendidikan, pendidik,
materi pendidikan, sistem penjenjangan, sistem penyampaian, sistem evaluasi,
peserta didik, proses pelaksanaan (belajar mengajar), tindak lanjut, organisasi
kurikulum, bimbingan dan konseling, administrasi pendidikan, sarana dan
prasarana, usaha pengembangan, biaya pendidikan, dan lingkungan. Sementara itu
Hasan Langgulung (2002: 100)membagi unsur kurikulum menjadi empat yaitu: tujuan
pendidikan, isi atau kandungan pendidikan, metode pengajaran, dan metode
penilaian. Sedangkan Akhmad Sudrajat mengidentifikasi komponen kurikulum kepada lima komponen
utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3) strategi, pembelajaran; (4) organisasi
kurikulum dan (5) evaluasi, dimana kelima komponen tersebut memiliki
keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan.
Setelah
melihat komponen kurikulum yang dikemukanan para pakar tersebut, sebenarnya
menurut Muhaimin (1991: 11-12) kurikulum dapat dikelompokkan menjadi empat
yaitu : pertama kelompok komponen-komponen dasar, kedua kelompok
komponen-komponen pelaksanaan, ketiga kelompok-kelompok pelaksana dan pendukung
kurikulum, dan keempat kelompok komponen usaha-usaha pengembangan.
Dalam
pelakasanaannya, suatu kurikulum harus mempunyai relevansi atau kesesuaian.
Kesesuaian tersebut paling tidak mencakup dua hal pokok. Pertama relevansi
antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi serta perkembangan
masyarakat. Kedua relevansi antara komponen-komponen kurikulum.
Komponen
Dasar Kurikulum
Kelompok
komponen-komponen dasar pendidikan, mencakup konsep dasar dan tujuan
pendidikan, prinsip-prinsip kurikulum yang dianut, pola organisasi kurikulum,
kriteria keberhasilan pendidikan, orientasi pendidikan, dan sistem evaluasi.
1. Dasar dan Tujuan Pendidikan
Yang
dimaksud sebagai konsep dasar dalam hal ini merupakan konsep dasar filosofis
dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam yang pada gilirannya akan
berpengaruh terhadap tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Dengan adanya dasar,
maka pendidikan Islam akan tegak berdiri dan tidak mudah diombang ambingkan
oleh pengaruh luar yang mau merobohkan atau mempengaruhinya. Kerna fungsinya
tersebut, maka yang menjadi dasar tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai
filosofis yang dianut oleh masyarakat tertentu. Begitu pun dengan pendidikan
Islam, maka pendidikan Islam mempunyai fundamen yang menjadi landasan tegak
berdiri dalam prosesnya untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Berbicara
dasar pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari aliran filsafat pendidikan
yang mendasari pendidikan yang diantaranya adalah aliran progresivisme, aliran
esensialisme, aliran perenialisme, dan aliran rekonstruksionalisme.
Aliran
progresivism menghendaki sebuah pendidikan yang pada hakekatnya progresif,
tujuan pendidikan seyogyanya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang
terus menerus, agar siswa sebagai peserta didik dapat berbuat sesuatu yang
inteligen dan mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuai tuntutan lingkungan.
Essentialism menginginkan pendidikan yang bersendikan atas nilai yang tinggi,
yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan, dan nilai-nilai tersebut hendaknya
yang sampai kepada manusia melalui civilisasi dan telah teruji oleh waktu.
Pendidikan bertugas sebagai perantara atau pembawa nilai di luar ke dalam jiwa
peserta didik, sehingga ia perlu dilatih agar punya kemampuan absorbsi yang
tinggi (Muhaimin, 2003: 41).
Sedangkan
perenialism menghendaki pendidikan kembali pada jiwa yang menguasai abad
pertengahan, karena ia merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat
dimengerti adanya tatanan kehidupan yang ditentukan secara rasional. Dan
rekonstruksionalism menginginkan pendidikan yang membangkitkan kemampuan
peserta didik untuk secara konstruktif menyesuaikan diri dengan tuntutan
perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai dampak dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga peserta didik tetap berada dalam suasana bebas (Imam
Barnadib, 1987: 26). Akan tetapi kemudian yang menjadi sebuah pertanyaan, di
antara empat aliran tersebut, mana yang secara ideal bisa dijadikan dasar
filosofis pendidikan Islam?
Yang
jelas adalah bahwa konsep pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan Barat.
Pendidikan Islam dalam hal ini sangat memerlukan intervensi wahyu dalam
menjawab masalah pendidikan. Sementara pendidikan Barat lebih menonjolkan dan
mengagungkan rasio, lewat para pakarnya, tanpa konsultasi dengan wahyu
(Muhaimin, 1991: 18).
Namun
yang perlu dimengerti bahwa ketika pendidikan Islam dihadapkan pada problem
dasar pendidikannya, maka menurut Naquib al Attas dan al Jamaly cenderung
kearah progresivisme dan perenialisme/essensialisme (Muhaimin, 2003: 28).
Sementara bagi Muhaimin dapat dikatakan bahwa konsep dasar filosofis
pengembangan kurikulum pendidikan Islam dilandasi oleh paduan dari
progresivisme dan essensialisme plus. Progresivisme plus berarti bahwa
pengembangan kurikulum pendidikan Islam menempatkan anak didik sebagai individu
yang mempunyai berbagai potensi sebagai anugerah Allah dalam rangka meraih
kebahagiaan hidupnya. Dalam rangka meraih itu diperlukanm terobosan dan gagasan
yang handal dalam rangka memnuhi tuntutan jaman. Tetapi kemudian tak dapat
dipungkiri bahwa terobosan tersebut sering sangat peka dan sangat rentan.
Sehingga dalam hal ini diperlukan kendali berupa esensi-esensi berupa
nilai–nilai ilahi serta insani yang bersumber dari Allah dan rasul-Nya. Sehingga
di sinilah essensialisme plus mengambil perannya (Muhaimin, 1991: 22-23).
Sementara
itu tujuan pendidikan merupakan landasan bagi pemilihan materi serta strategi
penyampaian materi terseburt. Tujuan akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran
dan mewarnai komponen lainnya. Tujuan pendidikan harus berorientasi pada pada
hakekat pendidikan yang meliputi beberapa aspek, antara lain: tujuan dan tugas
hidup manusia, memperlihatkan sifat-sifat dasar (nature) manusia, tuntutan
masyarakat, serta dimensi-dimensi kehiduapn ideal Islam (Fu’adi, 2003:
428-429). Dengan memperhatikan hakekat pendidikan Islam tersebut, akan
didapatkan sebuah gambaran bagaimanakah seharusnya suatu suatu tujuan
pendidikan dirumuskan, agar tujuan pendidikan benar-benar cocok untuk direalisasikan.
Mengingat
pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan
para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam
teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan
sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing.
Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki
esensi yang sama. Menurut Hummel, seperti dikutip Akhmad Sudrajat, tujuan
pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
1. Autonomy; gives individuals and groups
the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their
personal and collective life to the greatest possible extent.
2. Equity; enable all citizens to
participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic
education.
3. Survival ; permit every nation to
transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide
education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide
realization of common destiny.)
Dalam
perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara
jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm Pendidikan
Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan
nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya
dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin
dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan
tertentu.
Sementara
itu, terkait dengan tujuan pendidikan Islam, menurut Hasan Langgulung
sebagaimana dikutip Maksum pada dasarnya adalah tujuan hidup manusia itu
sendiri, sebagaimana tersirat dalam Q.S. al Dzariyat ayat 51 :
وما خلقت الجنّ والإنس إلاّ ليعبدون ( الذاريات : 51)
Artinya
: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembahku”.
Bagi Langgulung tugas pendidikan adalah
memelihara kehidupan manusia (Maksum, 1999: 45). Selain itu masih banyak para
pakar yang memberikan rumusan tentang tujuan pendidikan Islam seperti: Imam al
Ghazali, Alamsyah Ratu Prawiranegara, Moh. Athiyah al Abrosyi, Abdurrahman Nahlawy, Moh. Said Ramdhan El Buthi, Zakiyah
Daradjat, dan lainnya.
Namun
dari rumusan para pakar tersebut, sebenarnya bisa ditegaskan bahwa tujuan
pendidikan Islam bila ditinjau dari cakupannya dibagi menjadi tiga yaitu (1)
dimensi imanitas, (2) dimensi jiwa dan pandangan hidup Islami (3) dimensi
kemajuan yang peka terhadap perkebmangan IPTEK serta perubahan yang ada.
Sedangkan bila dilihat dari segi kebutuhan ada dimensi individual dan dimensi
sosial (Muhaimin, 1991: 30).
2. Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Prinsip pendidikan Islam merupakan kaidah
sebagai landasan supaya kurikulum pendidikan sesuai dengan harapan semua pihak.
Dalam hal ini Winarno Suracmad sebagaimana dikutip Abdul Ghofir (1993: 31)
mengemukakan prinsip kurikulum pendidikan yaitu relevansi, efektivitas,
efisiensi, fleksibilits, dan kesinambungan. Nana Syaodih S. (2002: 150-151)
menerangkan bahwa prinsip umum kurikulum adalah prinspi relevansi,
fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektifitas.
Sementara
itu al Syaibani menyatakan bahwa prinsip umum yang menjadi dasar kurikulum
pendidikan Islam adalah : pertautan sempurna dengan agama, prinsip universal,
keseimbangan antara tujuan dan isi kurikulum, keterkaitan dengan segala aspek
pendidikan, mengakui adanya perbedaan (fleksibel), prinsip perkembangan dan
perubahan yang selaras dengan kemaslahatan, dan prinsip pertautan antara semua
elemen kurikulum (Muhaimin, 1991: 39-40).
3. Pola organisasi kurikulum pendidikan
Islam
Organisasi
kurikulum di sini merupakan kerangka umum program pendidikan yang akan
disampaikan kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Beberapa
jenis organisasi kurikulum tersebut antara lain subject curriculum merupakan
kurikulum yang direncanakan berdasarkan disiplin akademik sebagai titik tolak
mencapai ilmu pengetahuan (Abdul Manab, 1995: 24), correlated curriculum yang
mencoba mengadakan integrasi dalam pengetahuan peserta didik, integrated
curriculum yang mencoba menghilangkan batas-batas antara berbagai mata
pelajaran, core curriculum dan lainnya.
Pada
dasarnya semua pola organisasi tersebut baik, namun paling tidak dari yang baik
tersebut bisa diambil yang paling baik. Yang jelas bahwa kurikulum pendidikan
Islam harus integratif, atau setidak-tidaknya korelatif, yang tidak memisahkan
antara ilmu pengetahuan dengan wawasan keagamaan.
Namun
yang perlu dimengerti bahwa beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan
kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum.
Dari pandangan tersebut, setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian
kurikulum, yaitu:
1. Mata pelajaran terpisah (isolated
subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah,
yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran
lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan tidak mempertimbangkan
minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi
diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat
pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan
pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami
pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi
kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta
memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang
pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata
pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child
centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan
peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu
program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari
suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui
kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata
pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara
terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang
mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata
pelajaran dan peserta didik.
Berkenaan
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kalau ditinjau dalam
perspektif madrasah/sekolah, tampaknya lebih cenderung menggunakan
pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke dalam lima kelompok
mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; (2)
kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3) kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran estetika;
dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Kelompok-kelompok
mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata
pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di
samping itu, untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan
lokal serta untuk kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik
disediakan kegiatan pengembangan diri.
4. Orientasi Pendidikan
Orientasi
pendidikan perlu dipertimbangkan dalam rangka perumusan kurikulum
pendidikan. Dengan orientasi pendidikan
akan dapat diambil sebuah kebijakan dalam rangka memproduk out put pendidikan
sesuai yang diinginkan. Dari berbagai pendapat tokoh pendidikan, dapat
ditemukan beberapa orientasi pendidikan antara lain: berorientasi pada peserta
didik, pada social-demend, pada tenaga kerja, berorientasi masa depan dan perkembangan
IPTEK, dan berorientsai pada pelestarian nilai-nilai insani dan ilahi.
5. Sistem Evaluasi Pendidikan Islam
Sistem
evaluasi pendidikan dimaksudkan dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologis,
didaktis, serta administrasi atau manajerial.
Dalam
evaluasi pendidikan harus diperhatikan beberapa hal yaitu: bahwa evaluasi harus
bermuara pada tujuan, dilaksanakan secara obyektif, komprehensif dan harus
dilakukan secara kontinyu.
Menurut
Muhaimin (1991: 87-88) ada satu ciri khas dari sistem evaluasi pendidikan yang
Islami, yaitu self-evaluation disamping tetap adanya evaluasi kegiatan belajar
peserta didik. Evaluasi semacam ini menjadi penting karena sebagai sosok social
being dalam kenyataannya ia tak bisa hidup (lahir dan proses dibesarkan) tanpa
bantuan orang lain.
Komponen
Pelaksanaan
Kelompok
komponen-komponen pelaksanaan pendidikan, mencakup materi pendidikan, sistem
penjenjangan, sistem penyampaian, proses pelaksanaan, dan pemanfaatan
lingkungan.
1. Materi pendidikan
Siswa
belajar dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan. Sebagai perantara mencapai tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan, diperlukan bahan ajar atau materi pendidikan. Materi pendidikan
tersusun atas topik-topik dan sub topik tertentu.
Kenyataan
menunjukkan bahwa banyak sekali tuntutan yang harus dipenuhi lembaga pendidikan
pada umumnya, begitu pula Islam, sedangkan waktu yang tersedia terbatas.
Sehingga dalam hal ini, menjadi penting menyeleksi materi pendidikan.
Dalam
rangka memilih materi pendidikan, Hilda Taba mengemukakan beberapa kriteria
diantaranya: (1) harus valid dan signifikan, (2) harus berpegang pada realitas
sosial, (3) kedalam dan keluasannya harus seimbang, (4) menjangkau tujuan yang
luas, (5) dapat dipelajari dan disesuaikan dengan pengalaman siswa, dan (6)
harus dapat memenuhi kebutuhan dan menarik minat peserta didik (Ghofir, 1993:
37-38).
Islam
dengan Al Qur’annya menurut Abdurrahman Saleh Abdullah dipandang sebagai
landasan pendidikan Islam yang prinsipnya hendak menyatukan mata pelajaran yang
bermacam-macam. Tidak ada klasifikasi mata pelajaran umum dan agama, dimana
semua materi termasuk ilmu alam harus diajarkan menurut pandangan Islam.
Untuk
mencapai materi pendidikan seperti yang diinginkan ini, paling tidak yang perlu
diperhatikan dalam rangka pengembangannya adalah jenis materi, ruang lingkup
materi, klasifikasi materi, sekuensi materi, serta sumber acuannya.
2. Sistem Penyampaian
Sistem
penyampaian merupakan sistem atau strategi yang digunakan dalam menyampaikan
materi pendidikan yang telah dirumuskan. Sistem penyampaian ini paling minim
berkaitan dengan metode yang digunakan dalam menyampaikan materi, serta
pendekatan pembelajaran. Ketika guru menyusun materi pendidikan, secara
otomatis ia juga harus memikirkan strategi yang sesuai untuk menyajikan materi
pendidikan tersebut.
Sementara
itu Muhaimin (2003: 184) mengidentifikasi bahwa sistem pengampaian ini mencakup
beberapa hal pokok, yaitu: strategi dan pendekatannya, metode pengajarannya,
pengaturan kelas, serta pemanfaatan media pendidikan.
Metode
misalnya, ia ikut menentukan efektif atau tidaknya proses pencapaian tujuan
pendidikan. Semakin tepat metode yang digunakan, akan semakin efektif proses
pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Sehingga dalam hal ini terlihat betapa
pentingnya pengetahuan tentang metode bagi seorang guru. Bagi Ahmad Tafsir,
pengetahuan tentang metode mengajar yang terpenting adalah pengetahuan tentang
cara menyusun urutan kegiatan belajar mengajar dalam rangka pencapaian tujuan
(Tafsir, 1999: 34).
3. Proses belajar mengajar (pelaksanaan)
Proses
pelaksanaan belajar mengajar dalam pendidikan Islam secara umum dilaksanakan
dengan lebih banyak mengacu kepada bagaimana seorang peserta didik belajar
selain kepada apa yang dipelajari. Sehingga memungkinkan terjadinya interaksi
antara peserta didik dengan guru, sesama peserta didik, dan peserta didik
dengan lingkungannya.
Beberapa
hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan belajar mengajar antara lain
adalah pola atau pendekatan belajar-mengajar yang digunakan, intensitas dan
frekuensinya, model interaksi pendidik-peserta didik , dan / atau antar peserta didik di dalam dan di luar
kegiatan belajar mengajar, serta pengelolaan kelas, serta penciptaan suasana
betah di sekolah.
4. Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber
belajar
Dalam
pendidikan Islam, sangat diperlukan adanya pemanfaatan lingkungan sebagai
sumber belajar. Lingkungan tersebut bisa lingkungan sekolah maupun luar sekolah
dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Kalau di lingkungan sekolah, siswa
dapat belajar dari guru dan sesama temannya, maka di lingkungan luar sekolah
juga demikian halnya.
Pemanfaatan lingkungan masyarakat sebagai sumber belajar
bisa dilakukan dengan cara: melakukan kerja sama dengan orang tua murid,
membawa sumber dari luar ke dalam kelas, membawa siswa ke masyarakat, dan
sebagainya.
Komponen
Pelaksana dan pendukung kurikulum
1. Komponen pendidik
Dalam
perspektif pendidikan Islam, seorang guru biasa disebut sebagai ustadz,
mu’allim, murabby, mursyid,mudarris, dan mu’addib (Muhaimin, 2003: 209-213).
Sebagai ustadz, ia dituntut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam
mengemban tugasnya yaitu menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada
zamannya di masa depan. Sebagai mu’allim ia dituntut mampu mengajarkan
kandungan ilmu pengetahuan dan al hikmah atau kebijakan dan kemahiran
melaksanakan ilmu pengetahuan itu dalam kehidupan yang mendatangkan manfaat dan
semaksimal mungkin menjauhi madlarat. Sebagai murabby, guru dituntut menyiapkan
peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil
kreasinya agar tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat, dan alam
sekitarnya. Guru sebagai mursyid dituntut menularkan penghayatan
(transinternalisasi) akhlaq dan/atau kepribadiannya pada peserta didik, baik
itu berupa etos ibadah, etos kerja, etos belajar, maupun dedikasinya, atau
dalam pengertian yang lebih semple seorang guru harus merupakan “model” atau
pusat anutan, teladan bagi peserta didik. Sementara sebagai mudarris guru
bertugas mencerdaskan peserta didiknya, menghilangkan ketidaktahuan atau
memberantas kebodohan mereka, serta melatih ketrampilan peserta didik sesuai bakat,
minat, dan kemampuannya. Sebagai mu’addib, seorang guru memliki peran dan
fungsi untuk membangun peradaban (civilization) yang berkualitas di masa yang
akan datang.
Sedangkan
dalam perspektif humanisme religius, secara konvensional guru paling tidak harus
memiliki tiga kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi, antusiasme, dan penuh
kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik (Abdurrahman Mas’ud, 2002:
194).
Dilihat
dari segi aktualisasinya, pendidikan merupakan proses interaksi antara guru
(pendidik) dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Pekerjaan
mendidik merupakan pekerjaan profesional, sehingga guru sebagai pelaku utama
pendidikan merupakan pendidik profesional. Peranan guru sebagai pendidik
profesional akhir-akhir ini dipertanyakan eksistensinya, akibat munculnya
serangkaian fenomenalulusan pendidikan yang secara moral cenderung merosot dan
secara intelektual akademik juga kurang siap memasuki lapangan kerja (Abuddin
Nata, 2003: 136).
Kalau
fenomena tersebut benar adanya, maka baik langsung maupun tidak langsung akan
terkait dengan peranan guru sebagai pendidik profesional. Sehingga sejalan
dengan hal tersebut terkait dengan masalah pendidik sebagai komponen
kurikulum pendidikan, perlu diperhatikan
beberapa hal yaitu: kode etik guru/pendidik, kualifikasinya, pengembangan
tenaga pendidik, placement, imbalan atas kesejahteraan, dan sebagainya.
2. Peserta didik
Banyak
sebutan di sekitar kita mengenai peserta didik ini. Ada yang menyebut murid,
siswa, santri, anak didik dan berbagai sebutan lainnya. Murid misalnya, secara
terminologi dapat diartikan sebagai orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu
dengan mendatangu guru. Sedangkan dalam pendidikan Islam, ketika dihadapkan
pada orang yang meguru kepada seorang guru, maka melahirkan konsep “santri
kelana”. Istilah santri kalau berasal dari kata cantrik lebih pas dengan
pendidikan Islam. Karena di padepokan, seorang cantrik pasti patuh pada sang
guru.
Dalam
pendidikan Islam, beberapa hal yang perlu dikembangkan terkait dengan komponen
peserta didik (input) antara lain adalah persyaratan penerimaan (rekrutmen)
siswa baru. Selain itu juga perlu diperhatikan mengenai rumusan tentang
kualitas output peserta didik yang diinginkan, akan dibawa ke mana anak
didiknya harus secara jelas dan tegas dirumuskan.
Kemudian
yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah jumlah peserta didik yang
diinginkan, karena ini akan berkaitan erat dengan kapasitas sarana pendidikan
yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan Islam. Dan tak kalah pentingnya
adalah latar belakang peserta didik, baik itu mengenai pendidikannya,
sosialnya, budayanya, pengalaman hidupnya, potensi, minat, bakat, dan lainnya.
3. Komponen bimbingan dan konseling
Bimbingan
dan penyuluhan adalah terjemahan dari bahasa Inggris guidance (bimbingan) dan counseling (penyuluhan).
Bimbingan mengandung pengertian proses pemberianbantuan kepada individu yang
dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu dapat memahami dirinya
sehingga sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai
dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat
(Natawidjaja, 1987: 7). Sedangkan konseling merupakan bantuan yang diberikan
kepada klien dalam memecahkan masalah kehidupan dengan wawancara face to face atau
yang sesuai dengan keadaan klien yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan
hidupnya (Sukardi, 2003: 67).
Sedangkan
bimbingan dan konseling dalam pendidikan Islam merupakan proses pengajaran dan
pembelajaran psikososial yang berlaku dalam bentuk tatap muka antara konselor
dengan peserta didik, dalam rangka antara lain memperkembangkan pengertian dan
pemahaman pada diri siswa untuk mencapai kemajuan di sekolah. Pelaksanaan
bimbingan dan konseling dalam pendidikan akan efektif dan berhasil apabila dilaksanakan
atau dilakukan oleh suatu tim kerja (team work). Kemudian tim kerja inilah
kemudian yang akan menyusun program perencanaan kegiatan bimbingan dan
konseling di lembaga pendidikan.
Program
perencanaan kegiatan bimbingan dan konseling perlu disusun agar upaya kegiatan
layanan bimbingan di sekolah benar-benar berdaya guna dan berhasil guna, serta
mengena pada sasarannya sebagai sarana pencapaian tujuan pendidikan (Sukardi,
2003: 7).
Selain
itu dalam kegiatan bimbingan dan konseling perlu diperhatikan pula strategi
pendekatannya, jenis program dan layanannya, proses layanan serta termasuk di
dalamnya teknik bimbingan dan konselingnya.
Selain
komponen tersebut sebagai bagian dari komponen pelaksana dan pendukung, masih
ada komponen lain diantaranya: administrasi pendidikan (manajemen
kelembagaannya, ketenagaannya, hubungan dengan orang tua dan masyarakat,
ketatausahaan, serta manajemen informasi), sarana dan prasarana (buku teks,
perpustakaan, laboratorium, perlengkapan sekolah, media pendidikan, serta
gedung sekolah), dan biaya pendidikan (sumber biaya dan alokasinya, perencanaan
penggunaan biaya, serta sistem pertanggungjawaban keuangan dan pengawasannya)
(Muhaimin, 2003: 186-187).
Komponen
Usaha-Usaha Pengembangan
Usaha
pengembangan yang dimaksudkan di sini adalah usaha pengembangan ketiga kelompok
komponen kurikulum di atas dengan berbagai unsurnya dalam rangka memperbaiki
bangunan sistem tersebut.
Realisasi
dari adanya usaha pengembangan tersebut ditunjukkan dengan adanya evaluasi dan
inovasi kurikulum; adanya penelitian terhadap efektifitas dan kualitas
kurikulum yang sedang berjalan; adanya perencanaan jangka pendek, menengah, dan
jangka panjang; adanya seminar, diskusi, simposium, lokakarya, dsb.; adanya
penerbitan-penerbitan; munculnya peranan dan partisipasi komite sekolah; dan
terjalinnya keja sama dengan lembaga–lembaga lain baik yang berada di dalam
maupun di luar negeri dalam rangka pengembangan kurikulum tersebut.
DAFTAR
RUJUKAN
Abdul
Ghofir dan Muhaimin, Pengenalan Kurikulum Madrasah, Solo, Ramadhani, 1993
Abdul
Manab, Pengembangan Kurikulum, Tulungagung, Kopma IAIN Sunan Ampel, 1995
Abdurrahman
Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta, Gama Media. 2002
Abuddin
Nata, Manajemen Pendidikan : Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta, Prenada Media, 2003
Ahmad
Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999
Akhmad
Sudrajat, Komponen-Komponen Kurikulum,
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
bahan-ajar/komponen-komponen-kurikulum/, diakses tanggal 17 Januari 2008
Akhyak
(ed.), Meniti Jalan Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. 2003
Dewa
Ketut Sukardi, Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Bandung: Alfabeta,
2003
Hasan
Langgulung, Peralihan Paradigma Pendidikan Islam dan Sains Sosial, Jakarta,
Gaya Media Pratama, 2002
H.M.
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2003
Imam
Barnadib, Filsafat Pendidikan (Sistem dan Metode), Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2004
Maksum,
Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos, 1999
Malik
Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta, LP3NI, 1998
Muhaimin,
Konsep Pendidikan Islam : Sebuah Telaah Komponen dasar Kurikulum, Solo,
Ramadhani, 1991
——–,
Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003
Nana
Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 2002
Rachman
Natawidjaja, Pendekatan-Pendekatan dalam Penyluhan Kelompok, Bandung,
Diponegoro. 1987
Undang-Undang
RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung, Citra Umbara,
2003
Share / Save / Like
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar baik menunjukkan pribadimu !