BAB I
PENDAHULUAN
Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmatnya sehingga kami dapat menyusun makalah tentang takhrij hadist.
Adapun tujuan penyusunan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah ulumul hadist. Hadist adalah salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadist disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke-2 setelah al-qur’an. Didalam ilmu hadist pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadist pada masa prakodifikasi, yang mungkin belum diketahui oleh teman-teman. Oleh karena itu kami menyusun makalah ini dengan harapan memberi pengetahuan pada penyusun khusunya dan pada pembaca pada umumnya.
Tiada gading yang tak retak, begitulah pepatah mengatakan. Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan dalam penyusunan makalah-makalah selanjutnya.
A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan hadist sebagai salah satu sumber hukum dalam islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-14.
Perkembangan hadist pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadist. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash Al-Qur’an dengan hadist. Selain itu juga disebabkan fokus Nabi pada para Sahabat yang bisa menulis untuk menulis Al-Qur’an. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa tabi’in besar. Bahkan dengan Khalifah yang lain. Periodesasi penulisan dan pembukuan hadist secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Aziz (abad 2 H).
Terlepas dari naik turunnya perkembangan hadist, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadist memberikan pengaruh besar dalam sejarah peradaban islam.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana sejarah perkembanagn hadist pada masa Rasulullah SAW ?
- Bagaimana sejarah perkembangan hadist pada masa Sahabat (Khulafa’ Al-Rasyidin) ?
- Bagaimana sejarah perkembangan dan pemeliharaan hadist pada masa Tabi’in ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembanagn hadist pada masa Rasulullah SAW.
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan hadist pada masa Sahabat (Khulafa’ Al-Rasyidin).
3. Untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan dan pemeliharaan hadist pada masa Tabi’in.
BAB II
PEMBAHASAN
A. periode kodifikasi hadits
Kita tahu bahwa dimasa rosululloh masih hidup, sebagian sohabat dengan motifasi tinggi sempat mengabadikan hadits dalam beberapa lembar catatan (shohifah), hal yang sama terjadi di masa tabi’in. Hamman bin munabbih ( w. 131 H. ) tercatat sempat menghimpun hadits-hadits yang di peroleh dari gurunya, Abu Hurairoh ( w. 59 H. ), yang kemudian di kenal dengan shohifah Hamman Bin Munabbih[1]
Volume aktifitas penulisan hadits semakin meningkat ketika perhilapan tentang hukum penulisan hadits telah sirna dan semua sepakay memperolehkannya. Pada pase inin semangat untuk mengkodifikasikan hadits-hadits nabi pun semakin terlihat, dan hal itu seakan mendapatkan momenttumnyaketika perintah pembukuan hadits menjadi sebuah kebijakan negara saat kendali pemerintah di pagang oleh kholipah Umar Bin Abdul Azis ( pemerintah 99 – 101 H ). Seorang kholipah yang di kenal adil dan wiro’ihingga beliau di pandang sebagai Khulafaur Rosyidin kelima. Rosululloh akan hilang di telan bumi bersama para penghafal nya. [2]
Faktor yang mendorong munculnya gagasan mulia dari kholifah ini antaralain ialah karena wilayah teritorial islam serta keberadaan para aemeluk nya katika itu semakin semakin meluas keberbagai penjuru daeah, sementara di sisi lain para fenghapal hadits telah beransur-ansur meninggal baik dalam medan perang maupun lanjut usia. Beliau kuwatir bila tidak segera di dokomuntasikan dalam sebuah tulisan, hadits-hadits Rosululloh akan hilang di telan bumi bersama para peng hafal nya. Beliau juga sadar bahwa ketika itu penyebaran ajaran bid’ah dari kelompok-kelompok sempalan seperti ekstrimis syi’ah, khawarij, atau gerakan penentang qodho’ qadar, telah menebabkan perlakuan buruk terhadap Hadis Nabi. [3]
Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:
Cara Rasul Menyampaikan Hadist
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat islam dapat secara langsung memperoleh hadist dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadist. Dimana tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat pertemuan diantaranya adalah masjid, rumah beliau sendiri, pasar ketiks beliau dalam perjalanan (safar), dan ketika beliau mukim (berada dirumah).
Dalam riwayat Imam Bukhori, disebutkan Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan hadistnya dengan berbagai cara, sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya, dan tidak mengalami kejenuhan. Cara tersebut diantaranya adalah :
Pertama, melalui para jama’ah yang berada di pusat pembinaan atau majelis al-ilmi.
Kedua, dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW juga menyampaikan hadistnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Futuh Makkah.
Untuk hal-hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, beliau menyampaikan melalui istri-istrinya. Begitu pula para sahabat, jika mereka segan bertanya kepada Nabi, mereka sering kali bertanya kepada istri-istri beliau.
Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist
Dalam perolehan dan penguasaan hadist, antara satu sahabat dengan sahabat yang lain tidaklah sama, ada yang memiliki banyak, ada yang sedang bahkan ada pula yang sedikit. Hal ini disebabkan karena:
- Perbedaan mereka dalam hal kesempatan bersama Rasulullah SAW.
- Perbedaan dalam soal hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.
- Perbedaan dalam hal waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari Majlis Rasul SAW.
- Perbedaan dalam ketrampilan menulis, untuk menulis hadist.
Ada beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima hadist dari Nabi SAW mereka adalah:
- Para sahabat yang termasuk As-Sabiqun Al- Awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, ustman bin Affan, Ali bin Abi Tahlib.
- Ummahat Al-Mu’minin (istri-istri rasul) seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadist yang diterimanya banyak berkaitan dengan soal pribadi, keluarga, dan tatat pergaulan suami istri.
- Para sahabat yang disamping dekat dengan Rasul juga menuliskan hadist yang diterimanya, seperti Abdullah Amr bin Ash.
- Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah tetapi sangat efisian dalam memanfaatkan kesempatan dan bersungguh-sungguh bertanya kepada sahabat lain, seperti Abu Hurairah.
- Sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti Majlis Rasul dan banyak bertanya kepada sahabat lain seperti, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas.
Pemeliharaan Hadist dalam Hafalan dan Tulisan.
1. Aktifitas menghafal hadist
Untuk memelihara kemurnian al-Qur’an dan Hadist, Rasulullah mengambil kebijakan terhadap Al-Qur’an beliau memberi instruksi untuk menulisnya selain menghafalkan. Sedang terhadap hadist beliau secara resmi memerintahkan unutk menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain.
Dengan demikian, para sahabat bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist agar tidak terjadi kekeliruaan dengan Al-Qur’an. Ada alasan yang cukup memberi motivasi kepada para Sahabat, diantaranya adalah:
- Kegiatan menghafal merupakan budaya Arab yang telah ada sejak zaman praIslam.
- Mereka terkenal kuat hafalan jika dibanding bangsa-bangsa lain.
- Rasulullah banyak memberi spirit melalui doa-doanya agar mereka diberikan kekuatan hafalan dan dapat mencapai derajat yang tinggi.
- Dan Rasul sering kali menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafalkan hadist dan menyampaikan kepada orang lain.
Aktifitas menulis hadist
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi SAW dengan sabdanya:
لاتكقبو اعنّى سيئا غير القران فمن كتب عنّى سيئا غير القر ان فليمحه.
”Jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (Hr. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)
Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, yaitu sabda Nabi SAW:
اكتب عنّى فو الذى نفس بيده ما خرج من فمن الاالحق.
” tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaanNYA, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak”.
Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
- Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telh dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
- Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr bin Ash.
- Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tiak kaut hafalannya.
B. Hadist Pada Masa Sahabat Dan Tabi’in
A. Hadist pada masa sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar.
Sahabat dan Periwayatan Hadist
- Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya :
تركت فيكم أمر يى لن تملّوا ما تمسّكم بهما كتاب الله وسنة نبيّه
”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadist) ” H.R Malik
Pesan-pesan Rasul Saw sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkan.
· Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadist.
Perhatian sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur’an, ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar Ibn Khattab, usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman Ibn Affan, sehingga melahirkan mushaf Usmani satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam dan yang empat lagi maisng-masing disimpan di Makkah, Basrah, Syiria dan Kuffah.
Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab, seperti halnya Al-Qur’an. Hal ini (umat islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar diberbagai daerah kekuasaaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadist dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
· Periwayatan Hadist dengan Lafadz dan Makna.
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadist, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sifat kehati-hatianny, tidak berarti hadist-hadist Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batasan-batasan tertentu hadist-hadist itu diriwayatkan. Khususnya permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadist tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul SAW:
Pertama, periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat Ibnu Umar.
Pertama, periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat Ibnu Umar.
Kedua, periwayatan maknawi (maknanya saja). Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadist yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan.
Abu Bakar
Untuk menghindari kebohongan itu, misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek datang padanya mengatakan ”saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh para anak laki-laki saya” kata Abu Bakar ” saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari Al-Qur’an maupun dari rasul” maka tampillah Muhammad Bin Maslamah sebagai saksi bahwa seoarang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian (1/6) harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya.
Kesimpulannya, benar bahwa Abu Bakar amat ketat dalam periwayatan hadist. Akan tetapi tidak perlu disalah pahami bahwa beliau tidak anti terhadap penulisan hadist. Bahkan, untuk kepentingan tertentu hadist nabi ditulisnya.
Umar bin Khattab
Umar bin Khattab
Ibn Qutaibah berkata, sebagai dikutip Ajjaj al_Khatib mengatakan Umar bin Al-Khatab adalah orang yang sangat keras menentang orang-orang yang menghambarkan riwayat hadist, atau orang yang membawa hadist (khabar) mengenai hukum tertentu tetapi tidak diperkuat dengan seorang saksi. Umar bin Khatab tidak senang dengan terhadap orang yang memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan sembrono. Tentu agar kemurnian hadist nabi dapat terpelihara. Ini tidak berarti bahwa beliau anti periwayatan hadist, Umar r.A mengutus para ulama’ mengajarkan islam dan sunnah nabi pada penduduk negeri.
Sikap kehati-hatian kedua sahabat tersebut, juga diikuti oleh Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadist sebelum yang meriwayatkan itu disumpah. Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya Al-Qur’an, hal ini disebabkan karena:
- Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
- Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.
- Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
C. Hadist pada masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat sebagai para guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin kebeberapa wilayah kekuasaan islam, kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadist.
Ketika pemerintahan dipegang Bani Umayyah, wilayah kekuasaan islam sudah meliputi Makkah, Madinah, Bashrah, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasaan kekuasaan Islam tersebut, penyebaran sahabat ke daerah-daerah juga meningkat. Oleh sebab itu, masa itu dikenal masa penyebaran periwayatan hadist.
Hadist-hadist yang diterima para tabi’in ini, seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadist pun yang tercecer atau terlupakan.
Pada masa tabi’in ini muncul atau terjadi sejak masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin yaitu tatkala kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok, yaitu Khawarij, Syiah, Muawiyah dan golongan minoritas yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok tersebut.
Dari persoalan politik diatas langsung atau tidak langsung cukup memberikan pengaruh, baik positif maupun negatif terhadap perkembangan hadist berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Adapun pengaruh yang berakibat positif adalah hadist sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.
BAB III
KESIMPULAN
Sejarah hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah memahaminya, berikut uraiannya.
I. Hadist pada masa Rasul SAW
Dalam masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masa itu:
- Cara rasul menyampaikan hadist, melalui jamaah pada majlis-majlis, ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka, dan lain-lain.
- Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist, sesuai dengan kapasitas masing-masing sahabat.
- Pemeliharaan hadist melalui hafalan dan tulisan.
II. Hadist pada masa sahabat
Kehati-hatian para sahabat dalam hal pembukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah :
- Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
- Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.
- Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
III. Hadist pada masa tabi’in
Pada masa ini juga terjadi kegiatan menghafal dan menulis hadist, dan ada bebrapa hal yang begitu berpengaruh dalam hal perkembangan hadist, diantara pengaruh positif yang ada adalah hadist sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier, ilmu hadist, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada. 2002
Al- Ramaharmuzi, Al-Muhaddis Al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-wa’I (Beirut: Al-Fikr)
Imam Malik, al-Muwatha’ juz 2. periwayat lain adalah Abu Daud, al-Tirmidzi, dan sa’ad ibn Majjah.
Rumtianing. Irma, Khusniatin Rofiah. pokok-pokok ilmu hadist . Ponorogo: STAIN Ponorogo press. 2005
Misbah, Mutiara Ilmu Hadits, Mitra Pesantren, kediri jatim. 2010
Muhammad Abdur Rahman, Muqoddimah Tuhfatul Ahwadzi, Darul Al- Fikr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar baik menunjukkan pribadimu !