BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Psikologi secara etimologi
memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan
istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun
istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi
dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh.
Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Menurut Prof. Dr. Zakiah
Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan
tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena
cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat
dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi
pribadi
Belajar psikologi agama
tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam
hubungan manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan kepribadiannya
mencerminkan keyakinannnya.
Mengapa manusia ada yang percaya
Tuhan ada yang tidak , apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran
yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman
hidupnya.
B.
Rumusan
Masalah
- Bagaimana pengaruh agama pada kesehatan mental ?
- Bagaimana pengaruh agama pada kesehatan fisik ?
- Bagaimana keterkaitan manusia dengan agama ?
- Apa yang
dimaksud dengan terapi keagamaan ?
C.
Tujuan
Masalah
- Agar mengetahui bagaimana pengaruh agama pada
kesehatan mental.
- Agar
mengetahui bagaimana pengaruh agama pada kesehatan fisik.
- Agar
mengetahui bagaimana keterkaitan manusia dengan agama.
- Agar mengetahui apa yang dimaksud dengan terapi
keagamaan.
BAB II
PEMBAHASAN
AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL
Agama
seseorang adalah ungkapan dari sikap akhirnya pada alam semesta, makna, dan
tujuan singkat dari seluruh kesadarannya pada segala sesuatu. Agama hanyalah
upaya mengungkapkan realitas sempurna tentang kebaikan melalui setiap aspek
wujud kita. Agama adalah pengalaman dunia dalam seseorang tentang ke-Tuhanan disertai
keimanan dan peribadatan.
Jadi agama
pertama-tama harus dipandang sebagai pengalaman dunia dalam individu yang
mengsugestit esensi pengalaman semacam kesufian, karena kata Tuhan berarti
sesuatu yang dirasakan sebagai supernatural, supersensible atau kekuatan diatas
manusia. Hal ini lebih bersifat
personal/pribadi yang merupakan proses psikologis seseorang.
Yang kedua adalah adanya keimanan, yang sebenarnya
intrinsik ada pada pengalaman dunia dalam seseorang. Kemudian efek dari adanya keimanan dan pengalaman
dunia yaitu peribadatan.
Psikologis atau ilmu jiwa mempelajari manusia
dengan memandangnya dari segi kejiwaan yang menjadi obyek ilmu jiwa yaitu
manusia sebagai mahluk berhayat yang berbudi. Sebagai demikian, manusia tidak
hanya sadar akan dunia disekitarnya dan akan dorongan alamiah yang ada padanya,
tetapi ia juga menyadari kesadaranya itu , manusia mempunyai kesadaran diri ia
menyadari dirinya sebagai pribadi, person yang sedang berkembang , yang
menjalin hubungan dengan sesamanya manusia yang membangun tata ekonomi dan
politik yang menciptakan kesenian, ilmu pengetahuan dan tehnik yang hidup
bermoral dan beragama, sesuai dengan banyaknya dimensi kehidupan insani.
Thomas Van Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi
sumber kejiwaan agama itu ialah berfikir , manusia ber-Tuhan karena manusia
menggunakan kemapuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari
kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap
mendapatkan tempatnya hingga sekarang ini dimana para ahli mendewakan ratio
sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama.
Kita tidak percaya kepada agama bukan karena
secara ilmah menemukan agama itu hanya sekumpulan tahayul, orang yang menolak
agama bukan karena alasan rasional, melainkan fakto psikologis yang tidak disadari,
Nietsche menolak Tuhan seperti yang diakuinya bukan karena pemikiran tapi
karena naluri.
Dizaman kuno penyakit yang diderita manusia sering
dikaitkan dengan gejala-gejala spiritual. Seorang penderita sakit dihubungkan
dengan adanya gangguan roh jahat oleh semacam makhluk halus. Karenanya,
penderita selalu berhubungan dengan para dukun yang dianggap mampu yang
berkomunikasi dengn makhkuk halus dan mampu menahan gangguannya. Pengobatan
penyakit dikaitkan dengan gejala rohani manusia.
Sebaliknya, didunia modern penyakit manusia di
diagnose berdasarkan gejala-gejala biologis. Makhluk-makhluk halus yang
diasumsikan sebagai roh jahat dimasyarakat primitive, ternyata dengan
penggunaan perangkat medis modern dapat di deteksi dengan mikroskop, yaitu
berupa kuman atau virus. Kemajuan dalam bidang tekhnologi kedokteran membawa
manusia demikian yakinnya bahwa gejala simtomatis penyakit disebabkan faktor
fisik semata. Kepercayaan ini sebagian besar memang dapat dibuktikan
keberhasilan pengobatan dengan menggunakan peralatan dan pengobatan hasil
temuan dibidang kedokteran modern.
Sejak awal-awal abad ke 19 boleh dikatakan para
ahli kedokteran mulai menyadari akan adanya hubungan antara penyakit dengan
kondisi dan psikis manusia. Hubungna timbal balik ini menyebabkan manusia dapat
menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh gangguan mental (Somapsikotis)
dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik (Sikosomatik). Dan
diantara faktor mental yang di indentifikasikan sebgai potensial dapat menimbulkan
gejala tersebut adalah keyakinan agama. Hal ini antara lain disebabkan sebagian
besar dokter fisik mslihat bahwa penyakit mental (mental illness) sama sekali
tak ada hubungannya dengan penyembuhan medis, serta berbagai penyembuhan
penderita penyakit mental dengan menggunakan pendekatan agama.