BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintahan Islam pasca keruntuhan Daulah Ummayah segera digantikan oleh Daulah Abbasiyah. Masa Daulah Abbasiyah ini disebut juga maa mujtahidin dan masa pembukuan fiqh, karena pada masa ini terjadi pembukuan dan penyempurnaan fiqh. Pada masa Abbasiyah disebut masa keemasan Islam yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pengaruhnya dapat dirasakan hingga sekarang.[1]
Pada masa ini yang berlangsung pada abad kedua hijriyah sampai pertengahan abad keempat ini merupakan masa perkembangan hukum Islam dan ilmu pengetahuan yang terpancar keseluruhan wilayah Islam bahkan ke manca negara, bahkan Baghdad merupakan pusat kota dan ibukota Islam yang menjadi pusat kebudayaan dan peradaban yang tinggi saat itu. Saat ini diharapkan agar Islam bangkit dan menjadi acuan dalam segala hal termasuk dalam perkembangan hukum yang telah dicapai zaman keemasan.
B. Rumusan Masalah
Pada pembuatan makalah ini mengacu pada masalah :
- Apa yang menjadi faktor pendorong perkembangan Tasyri ?
- Sebutkan dasar pemikiran dan perkembangan madzhab hukum Islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga kini ?
BAB II
PEMBAHASAN
TASYRI’ PADA AWAL ABAD KEDUA SAMPAI PERTENGAHAN
ABAD KEEMPAT HIJRIYAH
A. Faktor Pendorong Perkembangan Tasyri’
Dinamika hukum Islam mencapai masa keemasan setelah runtuhnya Daulah Umayah. Naiknya Daulah Bani Abbas memberikan angin segar bagi perkembangan hukum Islam.[2] Faktor utama yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam.[3]
Masa ini adalah masa kecemerlangan hukum Islam (fiqh). Pada masa ini, figh telah berkembang dan menjadi ilmu yang mandiri. Masa ini juga ditandai dengan mulai dirintisnya ilmu ushul fiqh, perumusan metodologi serta kaidah-kaidah ijtihad yang dipakai para mujtahid dalam pengambilan hukum. Para imam madzhab datang dengan tawaran metodologis yang matang.
Selain perhatian yang besar dari para khalifah Bani Abbas, ada beberapa hal yang menjadi penyebab lahirnya masa keemasan ini.
Pertama, meluasnya daerah kekuasaan Islam
Kedua, karya-karya dari masa sebelumnya, seperti dibukukannya Al-Qur’an.
Ketiga, munculnya tokoh-tokoh besar.
Keempat, tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah.
Beriringan dengan fenomena itu, adalah gerakan penerjemahan buku-buku Yunani dan Romawi, selain itu lahirnya fiqh dengan corak baru.
Kelima, kebebasan berfikir.
Perhatikan khulafa’ Bani Abbas terhadap fiqh dan fuqaha terlihat dari berbagai stimulasi dan penciptaan suasana yang konstruktif bagi tumbuh suburnya ijtihad.
Ketujuh, kodifiaksi ilmu
Kedelapan, umat Islam berusaha menghendaki supaya ibadah, mu’amalah dan sebagainya sesuai dengan hukum Islam.[4]
B. Dasar Pemikiran dan Perkembangan Madzhab Hukum Islam
- Madzhab Hanafi
Pendiri madzhab ini adalah an-Nu’man bin Zuhdi, dan lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanafi. Beliau lahir di Kufah tahun 80 H dan wafat tahun 150 H. Abu Hanifah hidup dalam dua generasi, pada masa Bani Umayah selama 52 tahun dan pada masa Abbasiyah selama 18 tahun.
Pengalaman keilmuwannya diawali dari studi filsafat dan dialektika, setelah menguasai ini, beliau mendalami fiqh dan hadist. Guru utamnya adalah Imam Hammad bin Zaid, beliau belajar di bawah bimbingan ulama besar ini selama 18 tahun. Ketika gurunya wafat, beliau menggantikan posisinya karena kedalaman ilmunya dan kemuliaan karakter pribadinya, para khalifah Bani Umayah sangat menghormatinya. Imam Abu Hanifah digolongkan sebagai tabi’in kecil, yaitu murid sahabat, karena telah bertemu dengan beberapa sahabat dan meriwayatkan sejumlah hadits dari mereka.[5]
Imam Abu Hanifah juga memiliki beberapa murid terkenal, diantaranya Abu Yusuf, Muhammad Zufar dan Hasan bin Ziyad. Mereka bersama dengan Hanifah membentuk madzhab Hanafi.
Dasar-dasar madzhab Hanafi:
Sumber hukum madzhab Hanafi:
a. Al-Qur’an, merupakan sumber hukum utama yang tidak perlu diperdebatkan lagi.
b. Sunnah, sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an, tetapi dengan beberapa kualifikasi dalam penggunaannya.
c. Ijma’ sahabat, dalam hal ini ijma’ sahabat lebih diutamakan daripada pendapat pribadi Abu Hanifah dan murid-muridnya.
d. Qiyas
e. Istihsan
f. ‘Urf
Fiqh Abu Hanifah :
Ada beberapa pemikiran Abu Hanifah dalam bdiang hukum, msialnya ia berpendapat bahwa benda wakaf masih tetap milik waaif, kedudukan waqaf dipandang sama dengan ‘ariyah (pinjam meminjam). Pendapatnya yang lain adalah bahwa perempuan boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani masalah perdata, bukan masalah pidana.
- Madzhab Maliki
Pendiri madzhab ini adalah Imam Malik bin Anas al-Asy bahi al-‘Arabi. Beliau lahir pada tahun 93 H (713 M) di Madinah, beliau lahir pada masa Al-Walid bin ‘Abd Al-Malik (Bani Umayah) dan wafat pada masa Harun Al-Rasyid (Bani Abbasiyah).
Di bawah didikan Az-Zuhri beliau mulai belajar ilmu Hadist, sedangkan dalam bidang ilmu hukum Islam, beliau belajar kepada Nafi’ Maula Ibn Umar dan Yahya bin Sa’id al-Anshari. Karya monumental beliau dalam bidang hadist adalah al-Muwattha’. Selain itu, beliau juga menyusun kitab al-Mudawwamah yang berisi asas-asas fiqh.[6] Beliau mulai mengumpulkan hadist-hadist yang kemudian dimuat dalam kitab ini atas permintaan khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansyur (754-775 M) yang menginginkan sebuah kitab Undang-undang hukum yang komprehensif dengan berdasarkan sunnah Nabi SAW yang bisa diterapkan secara seragam di seluruh wilayah kekuasaannya, madzhab Malliki merupakan antitesis dari madzhab Hanafi yang rasionalis. Imam Malik cenderung berfikir secara tradisional dan kurang menggunakan rasional dalam corak pemikiran hukumnya, beliau juga dianggap sebagai wakil ahli hadist.
Imam Malik memiliki banyak pengikut yang mengajarkan hadist atas namanya, diantara murdinya adalah al-Awza’i, al-Tsauri, Ibnu al-Mubarak dan al-Syafi’i, selain itu beliau juga sangat ahli dalam ilmu Al-Qur’an.
Sumber hukum madzhab Maliki:
a. Al-Qur’an, sebagaimana imam yang lain, Imam Malik menempatkan Al-Qur’an sebagai landasan utamanya.
b. Sunnah, walaupun sama-sama menggunakan sunnah sebagaimana imam lainnya tetapi Imam Malik memiliki konsepsi sendiri.
c. Praktek masyarakat Madinah.
d. Ijma’ sahabat.
e. Pendapat individu sahabat.
f. Qiyas
g. Tradisi masyarakat Madinah.
h. Istislah (maslahat)
i. Urf.[7]
Pendapat Imam Malik
Imam Malik memiliki pendapat yang mandiri, diantaranya dalam hal ini:
a. Ulama sepakat tentang ketidakbolehan menikah bagi wanita yang sedang dalam masa ‘iddah, baik ‘iddah hamil, ditinggal mati maupun cerai. (Q.S. Al-Baqoroh 228 dan 234), Imam Malik berpendapat bahwa wanita itu wajib dipisahkan dan baginya diharamkan (selamanya) menikah lagi dengan laki-laki yang menikahinya dalam masa ‘iddah.
b. Hanafi berpendapat bahwa shalat gerhana matahari dan shalat gerhana bulan dilaksanakan dua rekaat yang dilakukan seperti shalat Idul Fitri, Idul Adha dan shalat Jum’at. Sedangkan menurut Malik dan Jumhur, shalat dua gerhana itu dilaksanakan dua rakaat dan terdapat dua ruku’ dalam setiap rakaatnya.
c. Imam Malik berpendapat bahwa jumlah minimal mahar adalah tiga dirham atau seperempat dinar.
- Madzab Syafi’i
Pendiri madzab ini adalah Muhammad bin Idris as-Syafi’i. Beliau lahir di kota kecil Ghazzah di kawasan mediterania (Syam) pada tahun 769 M. Menginjak usia remaja beliau belajar fiqih dan hadits kepada Imam Malik. Imam Syafi’i sanggup menghafal secara sempurna kitab Imam Malik al-Muwattha’. Masa belajar kepada Imam Malik berhenti ulama besar ini wafat pada tahun 801 M.
Ia belajar hadits dan fiqih di Mekkah. Setelah itu ia pindah ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik. Ketika Imam Malik meninggal dunia apda tahun 179 H, As-Syafi’i mencoba memperbaiki taraf hidupnya.
Imam Al-Asyafi’i kembali ke mekkah dengan membawa pengatahuan tentang fiqih Irak di Masjid Al-Haram, ia mengerjakan Fiqih dalam dua corak yaitu corak madinah dan corak Irak.
Di Madinah As-Syafi’i berguru kepada Imam Malik di Kufah, berguru kepada Muhammad Ibn Al Asan Al-Syaibani yang beraliran Hanafi, Imam Malik merupakan puncak tradisi Madrasah Kufah (ra’yu). Dengan demikian Al-Asyafi’i dapat dikatakan sebagai sintesis antara aliran Kufah dan aliran Madinah.
Al-Asyafi’i juga memiliki murid yang pada periode berikutnya mengembangkan juga memiliki murid yang pada periode berikutnya mengembangkan ajaran fiqihnya, bahkan ada pula yang mendirikan aliran fiqih sendiri. Diantara muridnya adalah Al-Za’farani, Al-Kurabisri, Abu Tsaur, Ibnu Hanbal AL-Buthi, Al-Muzani, Al-Robi’ Al-Murabi di Mesir dan Abu Ubaid Al-Qasim Ibn Salam Al Luqawi di Irak..
a. Cara Ijtihad Imam Syafi’i
Seperti Imam Mazhab lainnya, Imam Syafi’i menetapkan thuruq al-istinbath al-ahkam sendiri. Langkah-langkah ijtihadnya dapat diketahui dari perkataannya: “Asal adalah Al-Qur’an dan Al-Sunah. “Apabila tidak ada dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, ia melakukan qiyas terhadap keduanya. Apabila hadits telah muttasil dan sanadnya shahih, berarti ia termasuk berkualitas.
Imam syafi’i, seperti dikatakan Mana’ Al-Qaththam mengatakan bahwa ilmu itu bertingkat-tingkat. Pertama, Al-Qur’an dan Al Sunah, kedua Ijma’ terhadap sesuatu yang tidak terdapat dalam keduanya, keermpat, pendapat sahabat Nabi yang saling berbeda-beda, kelima qiyas.
b. Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Ulama membagi pendapat Al-Syafi’i menjadi dua yaitu qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim adalah pendapat Syafi’ui yang dikemukakan dan ditulis di Irak, sedangkan haul jadid adalah pendapatnya yang dikemukakan dan ditulis di Mesir.
Adapun sebab timbulnya qaul jadid, karena Al-Syafi’i mendapatkan hadits yang tidak ia dapatkan di Irak dan Hijaz, dan ia menyaksikan adat dan kegiatan muamalah yang berbeda dengan di airak. Pendapat Al-Syafi’i yang termasuk qaul jadid dikumpulkan dalam kitab Al-Umm.
Salah satu kitab yang menjelaskan qaul qadim dan qaul jadid adalah Al-Muhadzab Fi Fiqh Al- Imam Al-Syafi’i Radhnya Allah Anh karya Abu Ishaq Ibrahim Ibn Ali Ibn Yusuf Al-Firuz Abadi Al-Syirazi. Diantara pendapat Syafi’i yang termasuk qaul qadim (ditulis QQ) dan qaul jadid (ditulis QJ) adalah seba gai berikut. Dalam tertib wudu, orang wudunya tidak tertib karena lupa, maka menurut QQ itu sah. Namun, menurut QJ, walaupun lupa wudu orang itu tidaklah sah.
c. Pendapat Al-Syafi’i
Selain dari keduanya itu yaitu haul qadim dan qaul jadid, Al-Syafi’i memiliki juga pendapat sebagaimana yang tercermin di dalam Al-Umm. Dalam masalah Imamah misalnya, ia berpendapat bahwa imamah termasuk masalah agama dan karena itu mendirikan Imamah merupakan kewajiban agama, bukan hanya kewajiban akal.
Ia juga pernah memberikan kriteria pemimpin yang dianggap berkualitas, yaitu berakal dewasa, beragama Islam, laki-laki, dapat melakukan ijtihad, memiliki kemampuan mengatur (Al-tadbir), gagah berani, melakukan perbaikan agama dan dari kalangan quraisy.
d. Rujukan Syafi’i
Menurut Imam Abu Zahrah, kitab Al-Umm merupakan al-hujjah al-ula dalam aliran Syafiiah. Peringkat keduanya adalah al-Risalah, karena kitab inilah, Al-Asyafi’i dianggap sebagai Bapak Ushul Fiqih Al-Din Al-Razi menyatakan bahwa nisbah Al-Syafi’i terhdap ilmu Ushul Al-Fiqh seperti nisbah Aristoteles terhadap ilmu Manthiq dan Nisbah Al-Khalil Ibn Ahmad terhadap ilmu Arudi.
- Madzhab Hanbali
Pendiri madzhab ini adalah Imam Ahmad Ibn Hanbal As-Syafi’i. Namun lengkapnya adalah Abu ‘Abd Allah Ajmad Ibn Hanbal Ibn Hilal Ibn Asad Al-Syaibani Al-Marwazi (164-241 H).
a. Guru dan Murid Ahmad Ibn Hanbal
Hanbal berguru kepada Al-Syafi’i dalam bidang Fikih, kemudian kepada Hasyim Ibrahim Ibn Sa’ad dan Sufyan Ibn Uyainah dalam bidang hadist.
b. Cara Berijtihad
Menurut Al-Ulwani cara ijtihad Ahmad Ibn Hambal hampir sama denghan cara ijtihad Al-Syafi’i. Ibn Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan pendapat-pendapat Ahmad Ibn Hanbal dibangun atas lima dasar yaitu:
- Nash al-Qur’an dan Al-Sunnah
- Menukil fatwa shohabat yang shahih
- Memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada nash Al-Qur’an
- Hadist mursal dal dla’if
c. Kitab-kitab Hanabilah
Gagasan-gagasan Ahmad Ibn Hanbal yang dilestarikan dalam beberapa kitab diantaranya adalah mukhtashar Al-Khurqi, al-Mughniy syarh ‘ala Mukhtashar al-khurqi majmu’ patawa, ghayah al-muntaha Fi jam’ dan masih banyak lagi kitab-kitab lainnya.
d. Sumber Hukum Madzhab Hanbali
1. Al-Qur’an (mempunyai kedudukan yang tinggi mengatasi semua sumber hukum lainnya untuk semua keadaan).
2. Al-Sunnah
3. Ijma’ Sahabat
Imam Hanbali menempatkan ijma’ sebagai sumber hukum pada posisi ketiga diantara prinsip-prinsip dasar lainnya.
4. Apabila terjadi khilaf, Imam Hanbali memilih yang paling dekat kepada Al-Qur’an dan sunnah.
5. hadist-hadist mursal dan dla’if.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tasyri’ pada awal abd kedua sampai pertengahan abad keempat hijriyah mengenai faktor-faktor yang mendorong perkembangan Tasyri’ yaitu berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Kemudian mengenai dasar pemikiran dan perkembangan madzhab hukum Islam.
1. Madzhab Hanafi
Sumber hukum madzhab Hanafi adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istikhsan dan Urf.
2. Madzhab Maliki
Sumber hukum madzhab Maliki : Al-Qur’an, Sunnah, praktek masyarakat Madinah, Ijma’, pendapat individu sahabat, qiyas. Tradisi istilah dan ‘urf.
3. Madzhab Syafi’i
Dasar hukum yang diambil oleh Imam As-Syafi’i : Al-qur’an, as-Sunnah, Ijma’. Pendapat Nabi yang berbeda-beda dan qiyas.
4. Madzhab Hanbali
Dasar hukum yang diambil oleh Imam Hanbali : Al-qur’an dan Sunnah, Fatwa sahabat, memilih pendapat yang lebih dekat kepada nash al-qur’an. Hadist mursal dan dla’if dan qiyas.
DAFTAR PUSTAKA
Supiana, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000
Naim, Ngainun, Diktat Sejarah Pemikiran Hukum Islam, Tulungagung, STAIN Tulungagung
Musthofa Syalabi, Muhammad, Al-Madkhal Fi at-Ta’rif bil-Fiqh al Islam, Beirut, Damam Nahdhah al-Arabiyah, 1969
Wahab Khallaf, Abdul, Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Tesis) Imron Am, Surabaya, Toha Putra
TASYRI’ PADA AWAL ABAD KEDUA SAMPAI PERTENGAHAN ABAD KEEMPAT HIJRIYAH
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Materi Pendidikan Agama Islam - 2”
Dosen Pembimbing:
Drs. NUR EFFENDI, M.Ag
NIP. 150 288 493
Disusun oleh:
1. Arini Hidyati 3211063038
2. Atik Ulfiyah 3211063039
3. Badik Faridatul M 3211063040
4. Choiru Niswatin 3211063041
5. Afiful Ikhwan 3211063024
Semester IV
Kelas: B
Prodi PAI
Jurusan Tarbiyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG
2008
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kita sehingga kita bisa menyelesaikan makalah ini dengan lancar tanpa suatu halangan apapun.
Makalah ini kami buat dengan judul "Tasyri’ Pada Awal Abad Kedua Sampai Pertengahan Abad Keempat Hijriyah" .
Dengan terselesaikannya makalah ini kami sampaikan terima kasih kepada:
1. Drs. Nur Effendi, M.Ag, selaku dosen pembimbing pada mata kuliah "Materi Pendidikan Agama Islam - 2
2. Serta semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah yang telah kami susun ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu mengharap saran dan kritik yang membangun dari para pembaca, guna memperbaiki makalah ini sehingga dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penyusun khususnya.
Tulungagung, April 2008
Penyusun
|
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR............................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Faktor Pendorong Perkembangan Tasyri’.......................................... 2
B. Dasar Pemikiran dan Perkembangan Madzhab Hukum Islam............ 3
BAB III PENUTUP
Kesimpulan............................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA
[1] Supiana, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), h. 299
[2] Ngainun Naim, Diktat Sejarah Pemikiran Hukum Islam, (Tulungagung: STAIN Tulungagung, 2005)h. 51
[3] Supiana, Materi Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 300
[4] Ngainun Naim., Op.Cit, h. 52-55
[5] Muhamad Mushtofa Syalabi, Al-Madkhal fi At-Ta’rif bil-Fiqh Al Islam, (Beirut: Daman Nahdhah al-Arabiyyah, 1969), h. 171-172
[6] Abdul Wahab Khallaf, Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Terj. ) Imron Am, (Surabaya: tp, tt), h. 57
[7] Philips, Asal-Usul, h. 96-99. Lihat juga Hasbie, Pengantar, h. 116-117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar baik menunjukkan pribadimu !