Full width home advertisement

Travel the world

Climb the mountains

Post Page Advertisement [Top]



A.     Latar belakang
Secara psikologis, sebenarnya pasar global terjadi oleh adanya perubahan pola kehidupan masya-rakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pola kehidupan masya-rakat yang sebelumnya berorientasi pada pangsa pasar (market share) menjadi pasar bebas (global market). Perubahan pola dasar tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat, sebagaimana perluasan pasar terutama dengan nilai-nilai sosial dan budaya[1]. Begitu pula Van Kessel berpendapat bahwa “pasar global merupakan suatu sikap, cara berpikir, suatu tatanan baru sebagai  akibat  terja-dinya   pertukaran   secara   bebas   di bidang   ekonomi, politik  dan kebudayaan”.[2] Menurut A. Sonny Kerap bahwa: “Pasar global  sebagai pranata moral yang dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak, karena moral dijadikan landasan pasar global dan merupakan modal bagi dunia bisnis untuk mempersiapkan diri agar mampu bersaing secara sehat dan fair”.[3] sedangkan Elashmawi dan Harris, berpendapat bahwa “kesuksesan perdagangan pada pasar global tidak hanya mengandalkan kekuatan modal dan teknologi saja, tetapi juga kekuatan kebudayaan bangsa.”[4] Oleh karena itu bangsa Indonesia yang memiliki budaya yang berlandaskan pada kekeluargaan perlu mengantisipasi dan mempersiapkan kondisi yang kondusif agar di era globalisasi mampu membangkitkan kembali perekonomian Indonesia.
      Penulis berpendapat dalam hubungannya dengan pengelolaan SDM dan pengembangan organisasi perlu dilandaskan pada pendekatan psikologis, pendekatan budaya dan Agama.

B.     Manajemen Individu Dalam Organisasi

  1. Pengertian individu
Individu berasal dari kata latin, “individuum” yang artinya tak terbagi. Kata individu merupakan sebutan yang dapat untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia sebagai keseluruhan yang tak dapat dibagi melainkan sebagai kesatuan yang terbatas yaitu sebagai manusia perseorangan, demikian pendapat Dr. A. Lysen.
Individu menurut konsep Sosiologis berarti manusia yang hidup berdiri sendiri. Individu sebagai mahkluk ciptaan Tuhan di dalam dirinya selalu dilengkapi oleh kelengkapan hidup yang meliputi raga, rasa, rasio, dan rukun.[5]

a.       Raga, merupakan bentuk jasad manusia yang khas yang dapat membedakan antara individu yang satu dengan yang lain, sekalipun dengan hakikat yang sama
b.      Rasa, merupakan perasaan manusia yang dapat menangkap objek gerakan dari benda-benda isi alam semesta atau perasaan yang menyangkut dengan keindahan
c.       Rasio atau akal pikiran, merupakan kelengkapan manusia untuk mengembangkan diri, mengatasi segala sesuatu yang diperlukan dalam diri tiap manusia dan merupakan alat untuk mencerna apa yang diterima oleh panca indera.
d.      Rukun atau pergaulan hidup, merupakan bentuk sosialisasi dengan manusia dan hidup berdampingan satu sama lain secara harmonis, damai dan saling melengkapi. Rukun inilah yang dapat membantu manusia untuk membentuk suatu kelompok social yang sering disebut masyarakat

  1. Atribut Dasar Perilaku Individu dalam Organisasi
Stephen P. Robbins, mendefinisikan bahwa “perilaku organisasi (Organizational Beha-vior) is the systematic of study that actions and attitudes of people exhebit within organizations”; sedangkan John R. Schermerhorn et.al., berpendapat bahwa “Organizational Behavior is the study of individuals and groups in organizations”.[6]
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dikemukakan bahwa perilaku organisasi adalah suatu studi yang dilakukan secara sistematik terhadap tindakan-tindakan dan sikap-sikap individu dan kelompok dalam organisasi.
Atribut yang mendasari perilaku individu dalam organisasi adalah faktor-faktor penentu prestasi kerja individu, kepribadian individu dan manajemen perbedaan individu.

  1. Faktor-faktor Penentu Prestasi Kerja Individu Dalam Organisasi
Faktor-faktor penentu pres-tasi kerja individu dalam organisasi adalah faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasi. Hal ini sesuai dengan teori konvergensi William Stern.  Pendapat William Stern dalam teorinya tersebut, sebenarnya merupakan perpaduan dari pandangan teori heriditas dari Schopenhauer dan teori lingkungan dari John Locke. Secara inti, Schopenhauer dalam teori heridi-tasnya berpandangan bahwa hanya faktor individu (termasuk faktor keturunannya) yang sangat menen-tukan seorang individu mampu berprestasi atau tidak; sedangkan John Locke dalam teori lingkungan berpandangan bahwa hanya faktor lingkungan yang sangat menentukan seorang individu mampu berprestasi atau tidaknya.  Penulis sependapat dengan pandangan teori konvergensi dari William Stern bahwa faktor-faktor penentu prestasi kerja individu adalah faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasinya.

a.      Faktor Individu
Secara psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah).  Dengan ada-nya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan or-ganisasi.  Dengan kata lain, tanpa adanya konsentrasi yang baik dari individu dalam bekerja, maka mimpi pimpinan mengharapkan mereka dapat bekerja produktif dalam mencapai tujuan organisasi. Kon-sentrasi individu dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh kemampuan potensi (kecerdasan pikiran/-inteligensi Quotients/IQ dan kecer-dasan emosi/Emotional Quoti-ents/EQ).  Pada umumnya individu yang mampu bekerja dengan penuh konsentrasi apabilia ia memiliki tingkat inteligensi minimal normal (average, above average, superior, very superior dan gifted) dengan tingkat kecerdasan emosi baik (tidak merasa bersalah yang berlebihan, tidak mudah marah, tidak dengki, tidak benci, tidak iri hati, tidak dendam, tidak sombong, tidak minder, tidak cemas, memiliki pandangan dan pedoman hidup yang jelas berdasarkan kitab sucinya).[7]

b.      Faktor Lingkungan Organisasi
Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dina-mis,peluang berkarier dan fasilitas kerja relatif memadai.  Sekalipun, jika faktor lingkungan organisasi kurang menunjang, maka bagi individu yang memiliki tingkat kecerdasan pikiran memadai dengan tingkat kecerdasan emosi baik; sebenarnya ia tetap dapat berprestasi dalam bekerja. Hal ini bagi individu tersebut, lingkungan organisasi itu dapat diubah dan bahkan dapat diciptakan oleh dirinya serta merupakan pemacu (pemo-tivator), tantangan bagi dirinya dalam berprestasi di organisasinya.[8]

C.     Kepribadian Efektif di Organisasi
Pengertian Kepribadian
      Istilah kepribadian merupa-kan terjemahan dari istilah bahasa Inggris “Personality”. Istilah itu berasal dari bahasa Latinnya, yaitu kata Per dan Sonare yang berarti topeng (mask) yang dipakai oleh pemain sandiwara. Istilah “Perso-nality” juga berasal dari kata “Per-sona” yang berarti  pemain sandi-wara (aktor). Dengan demikian, “Personality” dapat ditafsirkan se-bagai suatu perwujudan dari perilaku seseorang yang sebenarnya (subtansi) atau yang tidak sebe-narnya (memakai topeng).
      Kepribadian sebagai subtansi merupakan kepribadian sesungguh-nya yang tidak dibuat-buat atau berpura-pura, sedangkan kepri-badian sebagai topeng (kepribadian yang tak sebenarnya), dibuat-buat, berpura-pura, yang dapat dibedakan dari satu situasi ke situasi lainnya sesuai dengan topeng yang dipakai oleh orang yang bersangkutan.
      Secara konseptual pengertian kepribadian dapat diperhatikan pada pendapat para ahli di bawah ini :
      Gordon W. Allport, mendefinisikan bahwa: “Perso-nality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical systems that dete-rmine his unique adjustments to his environment”.[9]
      Yinger, berpendapat bahwa : “Personality is the totality of behavior of a individual with a given tendency system interacting with a sequency of situation”.[10]
      Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dikemukakan bahwa kepribadian adalah kese-luruhan dari perilaku individu (organisasi dinamis dalam sistem psiko-fisik individu) yang sangat menentukan dirinya secara khas dalam menyesuaikan diri atau berinteraksi dengan situasi atau lingkungan organisasi.
Horton ber-pendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepri-badian, sebenarnya dapat dike-lompokkan menjadi dua faktor besar, yaitu faktor heriditas (keturunan) dan faktor lingkungan.
Faktor warisan biologis termasuk dalam faktor heriditas, sedangkan faktor lingkungan men-cakup faktor lingkungan fisik, kebudayaan, pengalaman kelompok, dan pengalaman unik. Faktor heriditas didasarkan pada teori pem-bawaan (nativisme) dari schopen-hauer yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi per-kembangan kerpibadian manusia adalah faktor pembawaan (ketu-runan). Bahkan teori ini berpendapat bahwa kepribadian manusia sudah ditentukan sebelum manusia dila-hirkan. Artinya sejak manusia dilahirkan telah membawa sifat-sifat kepribadian berdasarkan keturu-nannya. Dengan demikian faktor lingkungan sama sekali tak ada pengaruhnya terhadap perkem-bangan kepribadian manusia.
Faktor lingkungan didasarkan pada teori lingkungan (empirisme) dari John Locke, yang menyatakan bahwa faktor lingkunganlah yang mempengaruhi perkembangan kepri-badian manusia, sedangkan faktor pembawaan (keturunan) sama sekali tak ada pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian manusia. Berdasarkan kajian faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia yang telah dilakukan oleh William Stern (Teori Konvergensi) disimpulkan bahwa pendapat Schopenhauer dengan teori heriditasnya tidaklah salah, begitu pula pendapat John Locke dengan teori empiris juga tidak salah, yang benar menurut William Stern bahwa yang mempengeruhi perkembangan kepribadian manusia adalah kedua faktor tersebut, yaitu faktor heriditas (keturunan) dan faktor lingkungan. Penulis sependapat dengan William Stern dengan alasan bahwa manusia dilahirkan membawa potensi diri yang telah ditentukan Allah SWT antara lain kecerdasan, sifat-sifat tertentu, jodoh, rezeki, dan nasib (Haidts Rasullah SAW). Begitu pula Al-Qur’an surat  Ar-R’ad ayat 11 yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu tidak berusaha untuk mengubah nasib mereka. Hal ini menunjukkan bahwa manusia sekalipun secara potensi telah ditentukan oleh Allah SWT, tetapi diberi peluang dan motivasi untuk memperbaiki sekaligus mengubah kondisi dirinya.
D.    Manajemen Perbedaan Individu dalam Organisasi
      Allah SWT menciptakan individu manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku dengan tujuan agar manusia bersyukur kepada-Nya dengan beribadah melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya guna menca-pai kebahagiaan lahir batin serta selamat hidup di dunia akherat.  Individu manusia diciptakan oleh Allah SWT memeiliki ciri khas dan perbedaan yang mengandung hikmah dalam pengelolaan dan pendaya-gunaan SDM di organisasi. Perbedaan individu tersebut antara lain bentuk fisik (tipe piknis, leptosome, atletis dan displastis) dan psikologis mencakup  persepsi, sikap, motivasi,  kecerdasan (IQ, EQ, SQ), dan kepribadian.

  1. Perbedaan Bentuk Fisik
            Ernest Kretschmer (1925) berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara bentuk tubuh manusia dengan perilakunya. Ernest Kretschmer mengkategorikan tiga tipe bentuk tubuh manusia, yaitu tipe piknis, tipe leptosome dan tipe atletis.

  1. Bentuk Tubuh Tipe Piknis
Tipe individu ini mempunyai ciri-ciri bentuk tubuh bulat, anggota tubuh pada umumnya gemuk dengan wajah bulat lebar. Orientasi utama tipe piknis adalah stomach (perut). Karakternya menunjukkan sifat pe-ramah, suka berbicara, tenang dan humoris. Sekalipun ada pula tipe piknis yang menunjukkan sifat pendiam, baik hati dan energik.  Adapun cara menghadapi individu dengan bentuk tubuh piknis antara lain:
a)      Perhatikan suasana hatinya dan usahakan untuk berbincang-bincang dengannya jika kelihatan ia menghendakinya.
b)      Lakukan percakapan yang me-narik, ramah dan sedikit humor.
c)      Jangan melakukan debat kusir, karena pada umumnya mereka mempunyai kemampuan “bersi-lat lidah”.
d)      Untuk tipe piknis yang pemdiam, sebaiknya diberi perhatian de-ngan cara mengucapkan: “ada yang perlu dibantu Pak, Bu,”.
e)      Jika ia menunjukkan perilaku yang kurang pantas didengar, janganlah dipersoalkan karena mereka suka guyon atau humor saja.

  1. Bentuk Tubuh Tipe Leptosome
Tipe Individu ini menun-jukkan bentuk tubuh agak kecil dan lemah, bahu tampak kecil, leher dan anggota badan menunjukkan kesan kurus panjang. Tipe ini orientasi utamanya cerebral (penggunaan otak), sehingga perilakunya tampak seolah-olah angkuh dan idealis. [11]
            Adapun cara menghadapi tipe leptosome ini antara lain:
a.       Menghormatinya dengan sopan santun
b.      Senang diajak bertukar pikiran atau diminta pendapatnya
c.       Jangan menegur mereka dengan cara yang kurang enak, sapalah mereka dengan sikap hormat.
  1. Bentuk Tubuh Tipe Atletis
Tipe individu tipe atletis menunjukkan bentuk badan kokoh, pundak tampak lebar, kuat dan pinggul berisi. Anggota badannya cukup panjang, badan berotot dan kekar. Wajahnya bulat telur dan ada yang persegi. Orientasi utamanya gerak otot. Karakternya menun-jukkan sikap banyak gerak, tetapi penampilannya kalem, jarang humor, kaku, dan mempunyai sifat tidak lekas percaya kepada orang lain.
            Adapun cara menghadapi tipe atletis antara lain :
a.       Hindarilah berdiskusi atau ber-debat kusir
b.      Berilah kesan seolah-olah mereka adalah orang yang pandai
c.       Bersabarlah dan jangan menun-jukkan sikap terburu-buru
d.      Sebaiknya, jika ada pertanyaan yang mereka kemukakan, hen-daklah dijawab dengan penje-lasan yang sistematis dan jika memungkinkan dengan alat pe-raga, contoh konkrit; karena pada umumnya mereka tidak cepat percaya
e.       Hindarilah sikap yang memung-kinkan mengecewakan mereka, terutama jika mereka menun-jukkan sikap menolak.

  1. Bentuk Tubuh Tipe Displastis
Tipe bentuk tubuh displastis merupakan penyimpangan dari tiga tipe bentuk tubuh manusia. Tipe ini terdiri dari dua, yaitu: Pertama, Tipe displastis yang merupakan  perpaduan dari tipe piknis dan tipe atletis( bentuk tubuh gemuk tetapi berotot kekar). Kedua,Tipe displastis yang merupakan  penyimpangan dari perpaduan dari tipe leptosome dan atletis (bentuk tubuh kurus tetapi berotot). Karakter dan cara menghadapi tipe displastis haruslah disesuaikan dengan perpaduan antara kedua tipe dari bentuk tubuhnya.

E.     Perbedaan Psikologis
      Secara psikologis terdapat perbedaan individu dalam persepsi, sikap, motivasi, kecerdasan (IQ,EQ, SQ) dan kepribadian.

  1. Persepsi
Persepsi adalah suatu proses menyeleksi stimulus dan diartikan. Dengan kata lain persepsi me-rupakan suatu proses pemberian arti atau makna terhadap suatu objek yang ada pada lingkungan. Persepsi mencakup penafsiran objek, pe-nerimaan stimulus, pengorganisasian stimulus, dan penafsiran terhadap stimulus yang telah diorganisasikan dengan cara mempengaruhi pem-bentukan sikap  dan perilaku.
               J. Bossum dan Abraham Maslow, berpendapat bahwa setiap individu cenderung memakai dirinya sendiri sebagai ukuran dalam mempersepsi orang lain. Hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa :[12]
a.       Dengan mengenal diri sendiri akan lebih mudah melihat orang lain.
b.      Ciri khas diri sendiri mempe-ngaruhi ciri khas yang dikenali dalam diri orang lain.
c.       Orang yang menerima dirinya sendiri lebih memungkinkan untuk melihat segi-segi yang baik dari orang lain.
Perbedaan persepsi antara individu dengan orang lain dapat mengakibatkan terjadinya perbe-daan pemaknaan terhadap objek di lingkungan organisasinya. Oleh karena itu, pimpinan organisasi perlu berupaya menyamakan per-sepsi dari setiap individu yang ada dalam organisasi agar terjadinya persamaan dalam memaknakan  tujuan organisasi. Dengan demikian, pimpinan akan lebih mudah menggerakan setiap individu sebagai bawahan untuk mencapai tujuan organisasi.

  1. Sikap Individu
Sikap merupakan faktor yang sangat menentukan perilaku, karena sikap adalah kecenderungan ber-tindak atau tidak terhadap suatu objek (Inner behavior). Sikap juga merupakan kesiapan mental yang diorganisasikan lewat pengalaman yang mempunyai pengaruh kepada tanggapan sesorang terhadap orang lain dan situasi yang berhubungan dengannya.
Krech, Crutchfield dan Ballanchey, (1963) mengemukakan pengertian sikap adalah suatu sistem pengevaluasian yang positif atau negatif, perasaan emosi, kecen-derungan bertingkah laku pro atau kontra terhadap suatu objek. Sikap mengandung tiga komponen aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan aspek konatif. Kelly G. Shaver (1982) menjelaskan ketiga aspek sikap tersebut dengan mengemu-kakan tiga pertanyaan :
a.       What do you think about the attitude object? (Apa yang dipikirkan seseorang tentang objek sikap?). Hal ini merupakan penilaian kognitif.
b.      How do you feel about the attitude object? (Bagaimana perasaan seseorang tentang objek sikap?).  Hal ini merupakan penilaian afektif.
c.       How do you behave toward the attitude object? (Bagaimana seseorang bertindak terhadap objek sikap?). Hal ini berkaitan dengan aspek konatif.

  1. Motivasi Individu
Motivasi adalah kondisi (energi) yang menggerakkan dalam diri individu yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi. Motivasi muncul dari dua dorongan, yaitu dorongan dari dalam diri sendiri (internal motivation) dan dorongan dari luar diri/pihak lain (external motivation). Tingkatan motivasi tersebut rendah, sedang dan tinggi. Perbedaan tingkatan motivasi individu dalam organisasi sangat mempengaruhi hasil kerja dan bahkan kinerjanya di dalam organisasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat David McClelland (1961), Edward Murray (1957), Miller dan Gordon (1970) dan Anwar Prabu Mangkunegara (1998) menyimpulkan bahwa “ada hubungan yang positif antara motivasi dengan pencapaian prestasi”. Artinya individu yang mempunyai motivasi tinggi cen-derung memiliki prestasi tinggi dan sebaliknya mereka yang prestasi kerjanya rendah disebabkan karena motivasi kerja rendah. Oleh karena itu pimpinan organisasi harus berusaha keras mempengaruhi motivasi seluruh individu organisasi agar mereka memiliki motivasi berprestasi tinggi. Dengan demikian, pencapaian kinerja organisasi dapat dicapai secara maksimal.

2.  Motivasi Berprestasi
           David McClelland, seorang ahli psikologi dan masyarakat dari Universitas  Harvard, Amerika Serikat.  Dalam teori motivasinya dikemukakan bahwa produktivitas seseorang sangat ditentukan oleh “virus mental” yang ada pada dirinya.  Virus mental adalah kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk mampu mencapai prestasinya secara maksimal.  Virus mental yang dimaksud adalah Achievement Motivation.  Motivasi berprestasi dapat diartikan sebagai suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan suatu kegiatan atau tugas dengan sebaik-baiknya agar mencapai prestasi dengan predikat terpuji.  Hal ini sesuai dengan pendapat Jhonson, yang mengemukakan bahwa : “Achievement motive is impetus to do well relative to some standard of excellence”.[13]
             Berdasarkan teori McClelland tersebut sangat penting dibinanya virus mental pengurus dan manajer koperasi dengan cara mengembangkan potensi mereka melalui lingkungan kerja secara efektif agar terwujudnya produk-tivitas yang berkualitas tinggi dan tercapainya tujuan utama organisasi koperasi.
            David McClelland, mengemukakan 6 (enam) karak-teristik orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi, yaitu : Memiliki tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi, berani mengambil dan memikul resiko, memiliki tujuan yang realistik, memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasikan tujuan, memanfaat-kan umpan balik yang konkrit dalam semua kegiatan yang dilakukan, dan mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan.[14]
            Edward Murray, berpendapat bahwa:
  Ada 8 (delapan) karakteristik orang yang mempunyai motivasi berpres-tasi tinggi adalah “melakukan sesu-atu dengan sebaik-baiknya, mela-kukan sesuatu dengan mencapai kesuksesan, menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan usaha dan keterampilan, berkeinginan menjadi orang terkenal atau menguasai bidang tertentu, melakukan peker-jaan yang sukar dengan hasil yang memuaskan, mengerjakan sesuatu yang sangat berarti, melakukan sesuatu yang lebih baik dari pada orang lain, dan menulis novel atau cerita yang bermutu.[15]
            Berdasarkan pendapat Mc Clelland dan Erward Murray dapat dikemukakan bahwa karakteristik pengurus dan manajer yang memiliki motivasi berprestasi tinggi antara lain: a.  Memiliki tanggung jawab pribadi tinggi, b.  Memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik  serta berjuang untuk merealisasikannya, c. Memiliki kemampuan untuk mengambil ke-putusan dan berani  mengambil risiko yang dihadapinya, d. Me-lakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan, dan  e. memiliki ke-inginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang  tertentu.[16]
            Berlandaskan pada teori motivasi dari McClelland, motivasi berprestasi dapat diartikan sebagai dorongan yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan kegiatan kerja dengan sebaik-baiknya agar mencapai tujuan organisasi yang maksimal.

F.      Perilaku Kelompok
1.      Pengertian kelompok

Kelompok merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang berinteraksi dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya, dan dibentuk bersama berdasarkan pada interes atau tujuan yang sama. Perilaku kelompok merupakan respon-respon anggota kelompok  terhadap struktur sosial kelompok dan norma yang diadopsinya. Perilaku kolektif merupakan tindakan seseorang oleh karena pada saat yang sama berada pada tempat dan berperilaku yang sama pula. [17]

2.      Alasan seseorang bergabung dalam kelompok
Ada dua alasan seseorang bergabung dalam kelompok. Pertama, untuk mencapai tujuan yang bila dilakukan sendiri tujuan itu tidak tercapai. Kedua, dalam kelompok seseorang dapat tepuaskan kebutuhannya dan mendapatkan reward soaial seperti rasa bangga, rasa dimiliki, cinta, pertemanan, dsb.  Besarnya anggota kelompok akan mempengaruhi interaksi dan keputusan yang dibuatnya. Brainstorming dalam mengambil keputusan kelompok akan efektif bila anggota kelompoknya 5-10 orang.  Kohesivitas kelompok merupakan derajat dimana anggota kelompok saling menyukai, memiliki tujuan yang sama, dan ingin selalu mendambakan kehadiran anggota lainnya. Biasanya kohesivitas ini dikaitkan dengan produktivitas kelompok. Namun tidak semua bentuk kohesivitas kelompok ini berdampak positif, karena anggota bisa merasa tertekan untuk selalu conform terhadap norma kelompok.[18]  
G.    Pengaruh Orang Lain pada  Performance (Perilaku Individu).
  1. Kehadiran orang lain bisa mempengaruhi usaha (effort) seseorang. Bentuk dari efek ini antara lain: persaingan (rivalry), fasilitasi sosial, dan social loafing. Rivalry merupakan peningkatan motivasi dan usaha seseorang pada suatu kompetisi.  Fasilitasi sosial merupakan peningkatan usaha seseorang karena mengetahui orang lain yang juga melakukan hal yang sama. Sedangkan social loafing merupakan menurunnya kinerja seseorang dalam kelompok bila dibandingkan dengan  kerja individual.[19]
  2. Kehadiran orang lain menyebabkan meningkatnya Arousal.Robert Zajonc menyatakan bahwa kehadiran orang lain dapat meningkatkan drive atau tingkat arousal. Performance akan meningkat bila bentuk perilakunya itu sederhana, dikuasai, dan responya sesuai dengan situasi yang berlangsung. Sebaliknya, performance akan menurun, bila  responnya kompleks, dan tidak dikuasai[20].
  3. Kehadiran orang lain dapat menyebabkan distraksi (konflik performance) dan  evaluasi.Bila seseorang itu sadar bahwa ia memiliki audiens, ia mungkin cenderung mengalami dua konflik yaitu: memperhatikan pada tugas (pool position) atau memperhatikan audiensnya. Konflik ini menyebabkan meningkatnya arousal dan pada akhirnya  dapat meningkatkan kecenderungan untuk memberikan respon  secara dominan. Bila audiens dirasakan mengevaluasi performance seseorang maka  performance seseorang akan terpengaruh kadang meningkat dan kadang menurun.[21]  
H.    Perilaku dalam Kelompok
Mana yang lebih baik, performance kelompok atau performance individu? Pertanyaan di atas seringkali muncul karena ada adagium yang berbunyi “dua kepala lebih baik daripada yang dikerjakan oleh seorang individu”. Adagium itu ada benarnya dalam beberapa kasus, karena kelompok memungkinkan orang saling tukar informasi dan pendapat. Interaksi dalam kelompok bisa menghasilkan ide dan solusi baru. Kelompok memiliki pengetahuan yang luas dan probabilitas yang lebih besar bahwa seseorang dalam kelompok akan memiliki pengetahuan khusus  yang relevan dengan persoalan kelompok.Namun demikian, kelompok juga tidak selalu menghasilkan keputusan yang lebih baik.
Dalam kelompok tidak semua orang memberikan kontribusi secara bersamaan, melainkan individu harus menunggu giliran. Akibat giliran dalam mengungkapkan pendapat ini, di antara anggota kelompok seringkali mengalami production blocking, terganggu pikirannya, atau kehilangan motivasi untuk berpartisipasi (malas). Individu kadang tidak mau berbagi (sharing) dalam memberikan informasinya. Meskipun performance kelompok seringkali lebih baik daripada performance rata-rata individu, seringkali performance itu di bawah standart individu, terutama bila anggota kelompoknya umumnya relatif lemah kemampuannya. Di dalam kelompok juga bisa terjadi social impact (Latane & Nida, 1981), yaitu suatu penggolongan anggota dalam suatu kelompok. Bila kelompoknya mayoritas maka pengambilan keputusannya akan sangat efektif, sebaliknya bila kelompoknya minoritas, maka sering kali orang mengalami kekecewaan, karena merasa tidak diperhatikan. 

I.       Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pengambilan Keputusan Kelompok
  1. Komposisi kelompokAda 4 hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun komposisi kelompok.
a.       penerimaan tujuan umum; mempengaruhi kerjasama dan tukar informasi
b.      pembagian (divisibilitas) tugas kelompok; tidak semua tugas dapat dibagi
c.       komunikasi dan status struktur; biasanya yang osisinya tertinggi paling mendominasi dalam kelompok.
d.      ukuran kelompok; semakin besar kelompok semakin menyebar opini, konsekuensinya adalah semakin lemah partisipasi individu dalam kelompok tersebut.
  1. Kesamaan anggota kelompok, Keputusan kelompok akan cepat dan mudah dibuat bila anggota kelompok sama satu dengan yang lain.
  2. Pengaruh (pengkutuban) polarisasi kelompok. Seringkali keputusan yang dibuat kelompok lebih ekstrim dibandingkan keputusan individu. Hal itu disebabkan karena adanya perbadingan sosial.  Tidak semua orang berada di atas rata-rata. Oleh karena itu untuk mengimbanginya perlu dibuat keputusan yang jauh dari pendapat orang tersebut. 
J.      Kesimpulan
      Penulis menyimpulkan bahwa manajemen individu yang efektif dalam organisasi bisnis ataupun non bisnis:
  1. Pimpinan organisasi perlu melan-daskan pada pendekatan psiko-logi, budaya dan Agama
  2. Pimpinan perlu memahami perbedaan psikologis individu (perbedaan kecerdasan IQ, EQ, SQ, AQ, persepsi, sikap, moti-vasi, dan ciri khas kepribadian)
  3. Pimpinan dan individu bawahan perlu memiliki kepribadian dewasa mental,yaitu kepribadian subtansi yang mampu bersikap objektif, instrospeksi diri, pengendalian diri baik dan konsisten pada falsafah mana-jemen organisasinya.
  4. Keputusan kelompok akan cepat dan mudah dibuat bila anggota kelompok sama satu dengan yang lain
  5. Dalam suatu kelompok, bila kelompoknya mayoritas maka pengambilan keputusannya akan sangat efektif, sebaliknya bila kelompoknya minoritas, maka sering kali orang mengalami kekecewaan, karena merasa tidak diperhatikan. 














Daftar Pustaka

Mangkunegara, Anwar Prabu. 1994. Psikologi Perusahaan. Ban-dung: Penerbit PT. Trigenda Karya.
Mangkunegara,anwar Prabu 2000.  Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Ban-dung: Penerbit Remaja Rosdakarya.
Mangkunegara,Anwar Prabu.2005. Perilaku dan Budaya Orga-nisasi. Bandung: Penerbit Aditama Refika.
McClelland, David. 1961. The Achieving Society. New Jersey: Van Nonstrand Company, Inc.
Miller and Gordon, W., Alport. 1970. Sociocultural Origins of Achievement. New York: Wadswort Publishing Compa-ny.
Robbins, P., Stephen. 1992.  Essentials of Organizational Behavior. New Jersey: Pren-tice-Hall International, Inc.
Schein, H., Edgard. 1992.  An Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: Yossey Bass Publisher.
Schermerhorn, R., John, Hunt, G., James and Richard, N., Osborn. 1985. Managing Organization Behavior. New York: John Publishing Inc.



[1] Miller and Gordon, W., Alport. 1970. Sociocultural Origins of Achievement. New York: Wadswort Publishing Compa-ny. 78
[2] Miller and Gordon,  hal. 79
[3] Robbins, P., Stephen. 1992.  Essentials of Organizational Behavior. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. 266
[4] Mangkunegara, Anwar Prabu. 1994. Psikologi Perusahaan. Ban-dung: Penerbit PT. Trigenda Karya.
[5] http://keripiku.blogspot.com/2010/11/pengertian-individu-keluarga-dan.html
[6] Robbins, P., Stephen. 1992.  Essentials of Organizational Behavior. New Jersey: Pren-tice-Hall International, Inc.
[7] Robbins, P., Stephen. 1992.  Essentials of Organizational Behavior. New Jersey: Pren-tice-Hall International, Inc.

[8] Robbins, P., Stephen. 1992.  Essentials of Organizational Behavior. New Jersey: Pren-tice-Hall International, Inc.
[9] Robbins, P., Stephen.
[10] Robbins, P., Stephen.
[11] Mangkunegara, Anwar Prabu. 1994. Psikologi Perusahaan. Ban-dung: Penerbit PT. Trigenda Karya.

[12] Schein, H., Edgard. 1992.  An Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: Yossey Bass Publisher
[13] Schermerhorn, R., John, Hunt, G., James and Richard, N., Osborn. 1985. Managing Organization Behavior. New York: John Publishing Inc.
[14] Schermerhorn, R. 78
[15] Schermerhorn, R.78
[16] Schermerhorn, R.79
[17] Mangkunegara, Anwar Prabu. 1994. Psikologi Perusahaan. Ban-dung: Penerbit PT. Trigenda Karya
[18] Ibid hal. 78
[19] Ibid hal. 78
[20] [20] Mangkunegara, Anwar Prabu. 1994. Psikologi Perusahaan. Ban-dung: Penerbit PT. Trigenda Karya
[21] Ibid hal. 79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar baik menunjukkan pribadimu !

Bottom Ad [Post Page]