Orang Islam malas dan miskin. Tuduhan yang menyakitkan. Sayangnya, begitulah agaknya kenyataan yang ada. Dalam kurun satu abad terakhir, di banyak bidang percaturan politik, budaya, dan terutama ekonomi, kaum muslim jauh tertinggal dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di dunia.
Lihatlah fakta-fakta berikut. Dari 56 negara mayoritas muslim, masing-masing memiliki rata-rata 10 universitas, yang berarti total lebih kurang 600 universitas, untuk 1,4 milyar penduduknya. Bandingkan dengan India yang memiliki 8.407 universitas. Sementara Amerika Serikat punya 5.758 universitas.
Dari 1,4 milyar warga muslim hanya menghasilkan delapan peraih Hadiah Nobel, dua di antaranya untuk bidang fisika. Sementara bangsa Yahudi, yang jumlahnya hanya 14 juta jiwa, ternyata mampu meraih 167 Nobel. Untuk mereka yang layak disebut ilmuwan pun, kaum muslim hanya punya kurang lebih 300.000 orang. Artinya, kaum muslim hanya memiliki 230 ilmuwan per satu juta warganya.
Sementara Amerika memiliki 1,1 juta ilmuwan (4.099 per satu juta) dan Jepang punya 70.000 (5.095 per satu juta). Untuk lingkup lebih sempit, yakni di negeri Nusantara ini, keadaannya tidak jauh berbeda. Sampai tahun 2000-an, kaum muslim Indonesia termasuk dalam kelompok marjinal. Terutama dalam percaturan ekonomi dan bisnis nasional.
Fakta yang jelas memprihatinkan. Padahal, Clifford Geertz meyakini, para santri (muslim) Indonesia bakal menjadi elite pengusaha Indonesia di masa depan. Fakta ini merupakan hasil studi antropolog AS tersebut, terutama dalam bukunya “The Religion of Java” (1960), dalam upaya untuk menyelidiki siapa di kalangan muslim yang memiliki etos entrepreneurship. Dalam penelitian itu, Geertzmenemukan, etos itu ada pada kaum santri yang ternyata pada umumnya memiliki etos kerja dan etos kewirausahaan yang lebih tinggi dari kaum abangan.
Etos Kerja
Islam adalah agama yang sangat mementingkan kerja atau amal. Islam tidak menghendaki bahkan membenci orang yang bermalas-malasan. Bahkan untuk menunjukkan betapa pentingnya kerja atau amal itu, Al-Quran seringkali menggandengkan kata iman dengan kata amal.
Pandangan yang secara tegas mendorong manusia untuk mengembangkan etos kerja itu bersumber
pada firman Allah di dalam Al-Quran (13Ar Ra'd : 11), yang terjemahannya adalah “…..Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka sendiri mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka sendiri (yakni motivasi, tekad, dan usaha mereka) …..”.
Namun dalam kenyataan, dalam masyarakat kita etos kerja ini belum sepenuhnya membudaya. Artinya, budaya kerja sebagian masyarakat kita tidak sesuai untuk kehidupan modern. Tentunya ini tidak bisa dihubungkan dengan budaya Islam, karena budaya Islam menghendaki orang bekerja keras. Islam mengajarkan pemeluknya agar berwirausaha.
Nabi Muhammad SAW dan sebagian besar sahabat adalah para pedagang dan entrepreneur mancanegara. Tidak berlebihan karenanya bila dikatakan bahwa etos entrepreneurship sudah melekat dan inheren dengan diri umat Islam. Bukankah Islam adalah agama kaum pedagang, lahir di kota dagang, dan disebarkan ke seluruh dunia oleh kaum pedagang?
Upaya membangun kembali semangat dan jiwa kewirausahaan umat Islam Indonesia, merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar. Setidaknya, ada tiga dasar pemikiran mengapa rekonstruksi entrepreunership umat Islam menjadi penting .
Pertama, umat Islam sejak kelahirannya, memiliki jiwa dan etos kewirausahaan yang tinggi. Nabi Muhammad dan sebagian besar sahabat adalah para pedagang dan entrepreneur manca negara. Proses penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia sampai abad 13 M, dilakukan oleh para pedagang muslim. Masuknya Islam ke Indonesia dan upaya penyebarannya di Asia Tenggara, juga dibawa oleh para pedagang tersebut. Bukti nyata hal ini terlihat bahwa di setiap pesisir pantai Indonesia dan Nusantara penduduknya beragama Islam. Dengan demikian, etos entrepreneurship sesungguhnya memang sangat melekat dan inheren dengan diri umat Islam.
Ajaran Islam sangat mendorong entrepreneurship bagi umatnya, karena itu bagi seorang muslim, jiwa kewirausahaan tersebut, seharusnya sudah menjadi bagian dari hidupnya. Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar bekerja dan beramal, “Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasulnya dan orang beriman, akan melihat pekerjaanmu” (QS.9At Taubah:105). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Apabila kamu telah melaksanakan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah rezeki Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung" (QS 62Al Jumu'ah:10). Tidak terhitung pula banyaknya hadits Nabik yang mendorong pengembangan semangat entrepreneurship. ”Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki (H.R.Ahmad). ”Sesungguhnya sebaik-baik mata pencaharian adalah seorang pedagang (entrepreneur)”. (H.R.Baihaqy)
Kedua, kondisi ekonomi umat Islam Indonesia sudah sekian lama terpuruk, maka perlu revitalisasi entrepreneurship umat Islam. Amin Rais, dalam buku “Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri” (1986) menyatakan keprihatinannya yang sangat mendalam tentang fenomena kemerosotan umat Islam di bidang ekonomi. Para wiraswastawan di bidang tenun, batik dan lainnya menurut Amin, telah mengalami kemunduran karena tidak fit lagi dalam “seleksi alam” proses perekonomian bangsa yang mengarah pada kapitalisme komparador. Di mana terjadi proses alienasi dan deprivatisasi ekonomi rakyat (baca: umat Islam).
Umat Islam sudah sangat letih dihadapkan pada kesulitan ekonomi yang panjang, problem kemiskinan dan keterbelakangan akibat termarginalkan dalam ekonomi dan bisnis. Kinilah saatnya kita mengembangkan dan membangun pengusaha-pengusaha pemerataan ekonomi yang dicita-citakan oleh umat Islam (pribumi) yang tangguh dalam jumlah besar. Tujuannya untuk mewujudkan cita-cita negara ini. Lebih dari itu, kinilah momentumnya kita membangun landasan yang kokoh, yakni memperbanyak pilar para pengusaha pribumi itu yang menyangga bangunan ekonomi bangsa.
Ketiga, kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah dewasa ini hendaknya diimbangi dengan tumbuhnya para entrepreneur muslim. Tumbuhnya etos entrepreneurship yang tinggi -khususnya bagi generasi umat- akan berdampak positif terhadap kemajuan dan kebangkitan ekonomi umat sebagaimana yang terjadi di masa silam sekaligus berdampak positif bagi lembaga perbankan dan keuangan itu sendiri. Karena itu, para pengusaha muslim hendaknya dapat memanfaatkan lembaga perbankan dan keuangan tersebut dalam mengembangkan usahanya.
Entrepreneurship Umat
Secara historis dan antropologis, umat Islam Indonesia memiliki naluri bisnis yang luar biasa. Penelitian para ahli sejarah dan antropologi menunjukkan bahwa pada masa sebelum penjajahan, para santri memiliki semangat dan gairah yang besar untuk terjun dalam dunia bisnis, sebagaimana yang diajarkan para pedagang muslim penyebar agama Islam. Hal ini mudah dipahami karena Islam memiliki tradisi bisnis yang tinggi dan menempatkan pedagang yang jujur pada posisi terhormat bersama Nabi, syuhada dan orang-orang sholih. Islam, sebagaimana disebut di atas, sangat mendorong entrepreurship (kewirausahaan) bagi umatnya. Karena itu, para santri adalah pioner kewirausahaan di kalangan pribumi sehingga mereka selalu diidentikkan dengan kelas pedagang.
Karena itu, tidak aneh bila di Indonesia suku-suku yang kuat tradisi keagamaannya, justru kuat pula tradisi perdagangannya. Suku-suku Banjar, Minangkabau, Makasar, dan Bugis, adalah suku-suku yang kuat pemahaman dan pengamalan keagamaannya dan juga dikenal sebagai niagawan yang piawai. Demikian pula pengusaha-pengusaha industri kretek, batik, dan kerajinan perak di beberapa daerah di Jawa, berasal dari keluarga-keluarga yang menghayati dan menerapkan secara lebih sungguh-sungguh ajaran dan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.
Oleh karena tingginya etos entrepreneurship umat Islam Indonesia masa lampau, maka hampir semua peneliti mengakui bahwa kaum muslim memiliki jiwa entrepreneurship yang tinggi, melebihi kelompok manapun, termasuk etnis Tionghoa.
Dalam konteks sejarah dunia pun, etos bisnis umat Islam memang mengungguli etos bisnis bangsa manapun di dunia ini, sehingga pedagang Arab menguasai bisnis di banyak negara di dunia ini. Namun dalam sejarahnya etos entrepreneurship tersebut mengalami penurunan dan degradasi.
Tantangan bagi kita sekarang adalah “membangunkan” umat Islam dari “tidurnya”, bahwa sekarang zaman sudah berbeda, dan ukuran-ukuran kerja juga sudah berbeda.
Melalui jiwa kewirausahaan di era kebangkitan ekonomi syariah ini, etos entrepreneurship umat Islam hendaknya dapat bangkit kembali yang selama ini meredup dalam perjalanan sejarahnya.
Sumber:
- Clifford Geertz, “The Religion of Java” (1960) dalam perkuliahan B.Inggris SMT 1 MPAI Pascasarjana IAIN Tulungagung oleh Prof.Dr.H.Fauzan Saleh, M.A, Ph.
- Amin Rais, “Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri” (1986)
- Dari 1,4 milyar warga muslim hanya menghasilkan delapan peraih Hadiah Nobel (dalam perkuliahan Sej.Pemikiran Islam SMT 2 MPAI Pascasarjana IAIN Tulungagung oleh Prof.Dr.H.Mujamil Qomar, M.Ag)
- Dr.H.M.Syafi'i Antonio,M.Ec, "Muhammad SAW The Super Leader Super Manager" (2007), Bincang2 singkat bersama Dr.H.M.Syafi'i Antonio,M.Ec (Nio Gwan Chung-Pakar Ekonomi Syari'ah Indonesia) 18 Juli 2011 Bandung-Jabar usai dinner bersama.
- Makhlani (Pakar Ekonomi Syari'ah), "Apakah Ekonomi Islam Mampu Memimpin Ekonomi Dunia?" (dalam kuliah umum di PPS IAIN T.Agung oktober 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar baik menunjukkan pribadimu !