Sebagaimana dikatakan oleh Imam As Syafi’i, bahwa ilmu tidak akan
diperoleh kecuali dengan 6 perkara, salah satunya adalah harta atau
materi.
أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَانٍ
“Wahai saudaraku… ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama.”
Oleh karena itu, para ulama tidak tanggung-tanggung merogoh kocek, guna kelangsungan pendidikan anak-anak mereka.
أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَانٍ
“Wahai saudaraku… ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama.”
Oleh karena itu, para ulama tidak tanggung-tanggung merogoh kocek, guna kelangsungan pendidikan anak-anak mereka.
Siapa yang tidak mengenal Imam As Suyuthi (991 H),seorang ulama besar
yang memiliki lebih dari 600 karya. Menguasai berbagai macam disiplin
keilmuan dalam Islam, hafal lebih dari 200 ribu hadits. Bahkan ia
mengakui bahwa parangkat ijtihad sudah ia miliki. Dan waktu berumur 21
sudah menghasilkan karya. Salah satu karya yang amat populer bagi
masyarakat muslim Indonesia adalah Tafsir al Jalalain
Kehebatan beliau tidak lepas dari pendidikan dan jerih payah ayahnya
dalam mempersiapkan pendidikannya. Ayahnya telah mempersiapkan sebuah
perpustakaan yang langkap dengan berbagai macam kitab, sebelum As
Suyuthi lahir, sehingga ulama Syafi’iyah ini dijuluki sebagai Ibnu Al
Kutub (anak buku), karena beliau terlahir di sela-sela tumpukan buku.
Maka tidaklah heran, jika semasa mudah As Suyuthi sudah menguasai banyak
rujukan.
Ibnu Al Jauzi (510 H), seorang ulama ternama dalam madzhab Hambali
juga banyak mendapatkan warisan dari sang ayah, guna menopang
pendidikannya. Hal ini terungkap, tatkala ia memberi nasehat kepada
anak-anaknya, agar senantiasa bersabar dalam mencari ilmu, dan
senantiasa menjaga kehormatan diri. Beliau menulis dalam Laftah Al
Kabid, fi Nashihati Al Walad, tentang nasehatnya kepada anaknya, sewaktu
mereka masih kecil: ”Ketahuilah wahai anakku, bahwa ayahku adalah
seorang yang kaya, dan telah meninggalkan ribuan harta. Ketika aku
baligh, ia memberiku 20 dinar dan 2 rumah. Lalu aku mengambi dinar untuk
kubelanjakan buku, lalu aku jual rumah dan aku gunakan uangnya unyuk
mencari ilmu, hingga harta itu habis tidak tersisa. Ayahmu tidak terhina
dikarenakan mencari ilmu, sehingga berkeliling ke negeri-negeri untuk
mencari belas kasih orang lain. Aku merasa kecukupan, Allah berfirman:
”Barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan
keluar dan member rizki dengan cara yang tidak disangka-sangka”.
Lalu beliau mengatakan, ”Maka, bersungguh-sungguhlah wahai anakku
untuk tetap menjaga kehormatanmu, hingga tidak mencari-cari dunia yang
akan menghinakan pemiliknya. Ada yang mengatakan bahwa, barang siapa
qona’ah terhadap roti, maka ia tidak akan menjadi hamba bagi manusia”.
Ibnu Al Jauzi berani menempuh kesusahan di saat beliau mencari ilmu,
antara lain kesusahan dalam rezeki, akan tetapi beliau tetap bersabar.
Hingga ketika ilmu yang beliau peroleh sudah amat banyak, maka rezekilah
yang mendatanginya (Lihat biografi beliau dalam Tadzkirah Huffadz, Imam
ad Dzahabi, 4/1347).
Yahya bin Ma’in (233 H) juga tidak kalah hebatnya, guru Imam Bukhari
ini mendapatkan warisan dari ayahnya sebesar 1 juta dirham dan 50 ribu
dinar. Semua itu dihabiskan Yahya untuk mencari hadits, sehingga
sandalpun ia tidak memilikinya. Dari harta itu, Yahya memiliki 114 rak
yang penuh buku (lihat, Tahdzib At Tahdzib, Al Atsqalani, 11/282).
Begitu juga Imam As Syaibani Al Kufi (189 H), salah satu murid Imam
Abi Hanifah, beliau pernah mengatakan:”Ayahku mewariskan kepadaku 30
ribu dirham. Aku gunakana 15 ribu untuk ilmu nahwu dan syair, dan
sisanya untuk hadits dan fiqih (lihat, Tarikh Al Bagdad, Khotib, 2/173)
Begitu pula yang dialami Hisham bin Ammar At Tsulami (245 H), guru
dari Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan yang lain. Ayahnya
relah menjual rumah mereka seharga 20 dinar, untuk ongkos ke Madinah,
dalam rangka mendengar hadits dari Imam Malik (lihat, Tahdzib Al Kamal,
Al Mizzi, 3/1144)
Tidak jauh beda dengan pengorbanan orang tua dari Ali Bin Ashim Al
Wasithi (201 H), salah seorang Hafidz Bagdad, yang juga menjadi syeikh
Imam Ahmad dan Yahya Ad Duhli (guru Imam Al Bukhari). Dimana suatu saat,
ayahnya mengatakan kepadanya,”Telah aku berikan uang sebesar 100 ribu
dinar, dan aku tidak mau melihat wajahmu, kecuali setelah kamu
mendapatkan 100 ribu hadits!” (lihat, Tadzkirah Al Huffadz, Ad Dzahabi,
1/317).
Tidak jauh bereda antara ulama klasik dan ulama kontemporer, Syeikh
Badru Al Alim, Muhadits India, yang ikut memberi ta’liq (komentar)
kepada Faidhu Al Bari, syarah (penjelasan) dari Shohih Al Bukhari, yang
ditulis oleh Al Muhadits Anwar Syah Al Kashmiri, juga mempersiapkan
pendidikan anak-anaknya dengan baik. Saat awal-awal ia bermukim di
Madinah, beliau membeli kitab Al Ajwibah Al Fadhilah, yang ditulis oleh
Imam Laknawi, padahal usia beliau sudah tua, dan tidak mampu lagi
membaca.
Akhirnya beliau menyatakan kepada Syeikh Abu Ghuddah, muridnya”Kamu
tahu bahwa aku tidak mampu lagi membacanya, akan tetapi, aku membelinya
untuk kuwariskan kepada keluarga dan anak-anakku, itu lebih baik bagi
mereka daripada warisan yang berupa harta”. (Lihat, Shofhat min Shabri
Al Ulama, 300)
Memilih Rezeki Halal, untuk Pendidikan Anak
Para ulama tidak hanya mewariskan harta untuk pendidikan anak-anak
mereka, akan mereka juga menjaga agar harta yang diberikan kepada
anak-anak mereka adalah harta yang bersih syubhat dan halal. Karena,
bersih tidaknya harta juga mempengaruhi bersih tidaknya ilmu yang
diperoleh.
Adalah Kamal Al Ambari (513 H), penulis Nuzhah Al Auliya, yang juga
seorang ulama nahwu, yang memiliki harta pas-pasan. Mendapat rumah dari
warisan ayahnya, dan hanya mengandalkan sewa kedai, yang dalam sebulan
cuma menghasilkan setengah dinar.
Suatu saat khalifah Al Mustadhi’ mengirimkan utusan kepadanya, dengan
membawa uang 500 dinar, untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi Al
Ambari menolak. Akan tetapi utusan tersebut mengatakan, ”Kalau engkau
tidak mau, berikanlah harta ini kepada anakmu”. Al Ambari menjawab,”Jika
aku yang menciptakannya, maka akulah yang memberinya rezeki”
Perkataan Al Ambari menunjukkan bahwa Allah telah mengatur rizki
anaknya, hingga ia tidak perlu menerima memberikan hadiyah itu kepada
anaknya, yang mana ia sendiri enggan menerima harta pemberian penguasai,
karena wara’ (hati-hati).
Ulama: Guru dan Sahabat Anaknya dalam Mencari Ilmu
Hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam mendidik adalah keteladanan.
Jika orang tua menginginkan anaknya mencintai ilmu, maka ia sendiri juga
harus mencintai ilmu, hingga bisa menjadi teladan yang baik bagi
anak-anaknya.
Para ulama sendiri mengajak anak-anaknya untuk bersama-sama melakukan
perjalanan dan belajar dengan para ulama lain. Semisal Asad bin Al
Furat (213 H), seorang murid Imam Malik, yang sudah diajak ayahnya
“menjelajah” sejak ia berumur 2 tahun, untuk mencari ilmu, bersama-sama
dengan pasukan Arab, menuju Qairawan, Tunis, dan belajar Al Qur’an di
negeri itu, lalu meriwayatkan Al Muwatha’ dari Ibnu Ziyad. (lihat,
Syajarah An Nura Az Zakiyah, 62).
Begitu pula Imam As Suyuthi (991 H), sejak berumur 3 tahun sudah
dibawah ayahnya menghadiri majelis Ibnu Hajar Al Atsqalani. Wafatnya
sangh ayah tidak bererti pendidikan si anak harus dilalaikan. Ayah
Suyuthi sebelum wafat sudah berwashiyat kepada Kamaluddin bin Hammam,
ulama masa itu untuk mendidik As Suyuthi.
Hal yang sama dilakukan oleh ayah dari Ibnu Mulaqqin, guru dari Ibnu
Hajar Al Atsqalani dari Mesir. Sebelum menjadi yatim, ayahnya telah
menitipkan pendidikannya kepada seoarang ulam yang bernama Syeikh Isa Al
Maghribi, seorang yang biasa mentalqin (membacakan) Al Qur’an, kepada
para penuntut ilmu, hingga ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Mulaqqin
(anak pentalqin). Beliau adalah ulama yang paling banyak karyanya di
zaman itu.
Imam Sam’ani (562 H), sejak berumur 4 tahun, ayahnya, Imam Abu Bakar
menghadirkannya ke beberapa ulama, seperti Ali Abdu Al Ghaffar As
Sairazi, Abu ‘Ala Al Qushairi, dan beberapa ulama. Lalu saat ia berumur 9
tahun, ayahnya membawanya ke Naisabur. Tidak hanya itu, setelah ia
pulang ke Marwa pada umur 38 dan menikah, anaknya yang bernama Abu
Mudhafar yang masih berumur 3 tahun pun ia bawa bersamanya kembali ke
Naisabur dalam rangka berguru kepada beberapa ulama di sana. (lihat,
Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 7/180).
Imam Abu Al Waqt As Sijzi (553 H), yang disebut Imam Ad Dzahabi
sebagai Syeikh Al Islam, yang juga merupakan guru Ibnu Al jauzi, sudah
melakukan perjalanan mencari ilmu sejak umur 7 tahun. Ia memiliki kisah
yang amat dahsyat, tatkala melakukan perjalanan mencari ilmu bersama
ayahnya.
Suatu saat ia bertutur kepada salah satu muridnya Yusuf bin Ahmad As
Syairazi:”Wahai anakku, aku telah melakukan perjalanan untuk menyimak As
Shahih dengan berjalan bersama ayahku, dari Harat menuju Dawudi. Umurku
belum ada 10 tahun. Saat melakukan perjalanan, ayahku memberiku dua
batu, jika aku terlihat lelah, maka ia menyuruhku untuk melempar satu
batu, lalu aku melanjutkan perjalanan. Kadang ia bertanya,”engkau sudah
lelah?”, maka aku menjawab,”belum”. “Kenapa jalanmu lamban?”. Maka aku
cepatkan langkahku, hingga aku tidak mempu lagi, lalu ia menggendongku”.
Suatu saat mereka berpapasan dengan rombongan petani. Dan mereka
menyeru kepada ayah As Sijzi, wahai Syeikh Isa, biarkan anak ini naik
kendaraan bersama kami, kita bersama-sama menuju Bushanj. Maka ayahnya
mengatakan, “Aku berlindung kepada Allah, dari naik kendaraan ketika
mencari hadits, akan tetapi kami memilih jalan”.
Ketika bertemu dengan Abdul Baqi Al Harawi, ia menawariku manisan,
aku menjawab,”Wahai tuan, saya lebih mencintai satu juz dari Abu Jahm
lebih baik daripada makan manisan”. Ia tersenyum dan mengatakan,”jika
yang masuk makanan, yang keluar adalah omongan”.
Lihat, bagaimana ayah As Sijzi dalam mendidik anaknya, hingga anak
yang masih kecil itu sudah memiliki kecintaan yang tinggi terhadap
hadits. Dan bagaimana ayah As Sijzi, mengajari anaknya menjaga azzam,
guna melawan rasa capek selam melakukan perjalanan. dengan menggunakan
sarana batu.
Begitu pula banyak para ulama, disamping menjadi ayah, juga menjadi
guru bagi anak-anaknya, semisal Kamal Al Ambari (077 H) memperolah
hadits dari ayahnya, Tajuddin As Subki (771 H), mengambil ilmu dari
ayahnya, Taqiyuddin As Subki. Bagitu pula Abu Zur’ah Al Iraqi
mendapatkan ilmu dari ayahnya Hafidz Al Iraqi, hingga ia meneruskan
syarah Tharhu At Tasrib yang telah disyarah Hafidz Al Iraqi sebelum
wafat. Juga amat banyak periwayat hadits yang mengambil dari ayah, kakek
dan seterusnya.
Begitu juga Imam As Syaukani penulis Nail Al Authar, telah membaca
kitab Al Azhar, fiqih madzhab Zaidiyah dari ayahnya. Ada kisah menarik
dalam hal ini, yang mencerminkan kekritisan Imam As Syaukani. Di
sela-sela proses belajar dengan ayahnya, ia bertanya: “Ayah mengatakan,
ini madzhab Hanafi, ini madzhab Fulani, mana yang benar dari
pendapat-pendapat ini?” Ayahnya menjawab: “yang benar adalah pendapat
yang dirajihkan Imam Al Hadi”. Imam As Syaukani pun menanggapi:”Tidak
mungkin ijtihad Imam Al Hadi benar semua, pasti ada yang salah. Maka,
bagaimana kita tahu pendapat itu benar?” Akhirnya ayah Syaukani
membawanya berguru kepada beberapa ulama di Yaman.
Selalu memantau hasil belajar anak
Tidak hanya mengajar atau memilih guru yang baik. Akan tetapi para
ulama juga memantau hasil belajar si anak. Simak penuturan Tajuddin As
Subki (771H):”Aku jika datang dari seoarang syeikh, maka ayahku
(Taqiyuddin As Subki) berkata kepadaku,”tunjukkan apa yang telah kamu
peroleh, yang kamu baca dan yang kamu dengar”. Maka, aku menerangkan
tentang hal-hal yang telah kuperoleh dalam majelis. Jika aku pulang dari
Ad Dzahabi, ia berkata,”tunjukkan yang telah engkau dapat dari
syeikhmu”. Jika aku pulang dari Syeikh Najmuddin Al Qahfazi, ia
mengatakan,”yang kau dapat dari masjid Thingkiz”. Jika aku pulang dari
Syeikh Syamsuddin Ibnu Naqib, maka ia mengatakan,”yang kamu dapati dari
Syamiyah”. Jika aku pulang dari Syeikh Abu Abbas Al Andarsy, ia
mengatakan, ”yang kau dapati dari masjid”. Jika aku pulang dari Hafidz
Al Mizzi, ia mengatakan,”yang kamu peroleh dari As Syeikh”. Ia
melafadzkan kata As Syeikh dengan fashih, dan meninggikan suaranya. Aku
mengerti, bahwa itu bertujuan agar aku juga ikut merasakan kebesaran
nama Al Mizzi, hingga aku lebih banyak mendatangi majelisnya”. (lihat,
Thabaqat As Syafi’iyah, As Subki, 10/399).
Hasilnya, tidak diragukan lagi. Tajuddin As Subki menjadi ulama yang
cukup diperhitungkan, khususnya di kalangan muhaditsin dan madzhab As
Syafi’i. Sehingga Al Mizzi menginginkan murid-muridnya mencatat As Subki
dalam kelompok ulama thabaqat ulya (tingkatan tertinggi), begitu juga
Imam Ad Dzahabi, menginginkan hal yang sama, walau usia As Subki masih
relatif muda, Ad Dzahabi menilainya sebagai muhadits jayyid (baik). Akan
tetapi orang tuanya, Taqiyuddin memprotes, cukup thabaqat pemula. Akan
tetapi para gurunya juga tidak terima. Akhirnya As Subki dimasukkan
thabaqat wustha (tingkatan pertengahan).
Secara tidak langsung, Taqiyuddin mengajari anaknya, Tajuddin, agar
senantiasa rendah hati, walau ilmunya sudah hampir setara dengan para
gurunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar baik menunjukkan pribadimu !