1. Hadist & Terjamahnya
Dari Adiy bin Amirah
Al-Kindi Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi SAW bersabda :
"Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan
(urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu,
maka itu adalah ghulul (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”
(Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam
dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seolah-olah
aku melihatnya, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang
engkau tugaskan”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Ada gerangan?”
Dia menjawab, “Aku mendengar engkau berkata
demikian dan demikian (maksudnya perkataan diatas, pent)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,
“Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan
untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya),
sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh)
mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh”.
Takhrij Hadits
- Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Imarah, bab Tahrim Hadaya Al-Ummal, hadits no. 3415
- Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab Al-Aqdhiyah, bab Fi Hadaya Al-Ummal, hadits no. 3110
- Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur Ismail bin Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat Adiy bin Amirah Al-Kindi Radhiyallahu ‘anhu di atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim.
2. Mufradat (Kosa Kata)
Kata ghululan dalam lafadz
Muslim, atau ghullan dalam lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain
berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di antaranya bermakna
belenggu besi, atau berasal dari kata kerja ghalla yang berarti khianat.[1]
Ibnul Atsir menerangkan, kata al-ghulul, pada asalnya bermakna khianat dalam
urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang
sebelum dibagikan.[2] Kemudian,
kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara
sembunyi-sembunyi.[3]
Jadi, kata ghulul di atas,
secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara
khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya (tanpa
seizin pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). Dalam bahasa kita sekarang,
perbuatan ini disebut korupsi, seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita
bahas ini.
3. Makna Hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan
untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil
pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang
menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya
sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan
menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini
merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai
pertanggungjawabannya nanti pada hari Kiamat.
Ketika kata-kata ancaman
tersebut didengar oleh salah seorang dari kaum Anshar, yang orang ini merupakan
satu diantara para petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas dengan suatu pekerjaan,
hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara keseluruhan, sedikit maupun
banyak kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian mengenai
pembagiannya, akan dilakukan sendiri oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Apa yang diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan yang ditahan oleh beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka tidak boleh mengambilnya.
4. Syarah Hadits
Hadits di atas intinya
berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak
yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya.
Seperti ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah Radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda : “Barang siapa
yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji)
untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)”
(H.R Abu Daud).[4]
Asy-Syaukani menjelaskan,
dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja (petugas)
mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang
menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul (korupsi).[5]
Dalam hadits tersebut
maupun di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan secara
global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dumaksudkan untuk
menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap
pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau
yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa
jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang
telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan kepada
pimpinan yang menugaskannya.
5. Hukum Syari’at Tentang
Korupsi
Sangat jelas, perbuatan
korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (Al-Qur’an) maupun
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Di dalam
Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
" Tidak mungkin seorang nabi
berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. barangsiapa yang berkhianat
dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa
apa yang dikhianatkannya itu, Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan
tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak
dianiaya" [Ali-Imran : 161]
Dalam ayat tersebut Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua Nabi Allah terbebas
dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.
Menurut penjelasan Ibnu
Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ayat ini diturunkan pada saat (setelah) perang Badar,
orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian
mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan
ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
terbebas dari tuduhan tersebut.
Ibnu Katsir menambahkan,
pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian
rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya. Hal itu, karena berkhianat dalam
urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum
(terjaga) dari perbuatan seperti itu.[6]
Mengenai besarnya dosa
perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di atas,
yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan
rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu…”
Ibnu Katsir mengatakan, “Di dalamnya terdapat
ancaman yang amat keras”
Selain itu, perbuatan
korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara
yang batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam
firman-Nya :
“Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [Al-Baqarah : 188]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil..’ [An-Nisa : 29]
Adapun larangan berbuat
ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, diantaranya hadits
dari Adiy bin Amirah Radhiyallahu ‘anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu ‘anhu
diatas.
6. Pintu-Pintu Korupsi
Peluang melakukan korupsi
ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang diistilahkan
dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu
berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu
ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu
menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita. Berikut adalah di antara
pintu-pintu korupsi :
1) Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut
dibagikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan :
“Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata
kepada kaumnya : “Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah
menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya ;
tidak pula seseorang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang
atapnya ; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang
sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya”. Lalu nabi
itu berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau
hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : “Sesungguhnya kamu
diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk
kami”, maka tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan
baginya. Lalu ia mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk
melahapnya, tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun
berseru (kepada kaumnya) : “Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat)
ghulul (mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada
satu orang dari setiap kabilah bersumpah (berba’iat) kepadaku”, kemudian ada
tangan seseorang menempel ke tangannya (berba’iat kepada nabi itu), lalu ia
(nabi itu) berkata, “Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaklah
kabilahmu bersumpah (berba’iat) kepadaku”, kemudian ada tangan dari dua atau
tiga orang menempel ke tangannya (berba’iat kepada nabi itu), lalu ia (nabi
itu) berkata, “Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul”, maka mereka datang
membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah
api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita
(karena) Allah melihat kelemahan kita” (H.R Bukhari & Muslim)[7]
2) Ketika pengumpulan zakat maal (harta).
Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal
oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil
sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak
menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia
ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah
terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau
memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat amanah mengumpulkan
zakat maal tersebut dengan mengatakan : “Tidaklah kamu duduk saja di rumah
bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain)
atau tidak?”
Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul
kepada khalayak). Di antara isi penjelasan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan :
“(Maka) Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya. Tidaklah seseorang dari kalian mengambil (korupsi) sesuatu
daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat
membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu)
bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itupun) bersuara. Atau
jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara…” (H.R
Bukhari & Muslim)[8]
3) Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau
yang menugaskannya.
Dalam hal ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda : “Hadiah untuk para petugas adalah ghulul” (H.R Ahmad)
[9]
4) Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti
seorang yang mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul
maal atau yang lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk
untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang telah
ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang kami tugaskan
dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa
yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)’ (H.R Dawud)[10]
7. Bahaya Perbuatan Ghulul
(Korupsi)
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan dibalik
itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula
dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat
tersebut. Di antaranya :
1) Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil
korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke -161 surat Ali-Imran dan hadits
Adiy bin Amirah Radhiyallahu ‘anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid
As-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Demi (Allah), yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah seseorang
mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada
hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka
(unta itu) bersuara. Jika (hang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itupun)
bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun)
bersuara…” (H.R Bukhari &
Muslim)
2) Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada
hari Kiamat. Dalam hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ …(karena) sesungguhnya ghulul
(korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya” (H.R Ibnu
Majah)[11]
3) Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak
mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya
(mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga.
Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang” (H.R Muttafaqun 'Alahi)[12]
4) Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi),
sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Shalat tidak
akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul
(korupsi)” (H.R Muslim)[13]
5) Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu
penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai manusia, sesungguhnya
Allah itu baik, tidak menerima kecuali dari yang baik. Dan sesungguhnya Allah
memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada
para rasul. Allah berfirman, “Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik
dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian
kerjakan”. Dia (Allah) juga berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman,
makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu”, kemudian beliau
(Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang lama
bersafar, berpkaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit
(seraya berdo’a) : “Ya Rabb… ya Rabb…” tetapi makanannya haram, minumannya
haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka,
bagaimana do’anya akan dikabulkan?” (H.R Muslim)[14]
[1] Lisanul Arab,
11/499
[2] (Muttafaqun alaihi. Al-Bukhari, Fardhul Khumus,
bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Uhillat), hadits no. 3124
[3] Lihat
An-Nihayah Fi Gharibil Hadits, 3/380
[4] HR Abu Dawud dalam Sunan-nya di kitab Al-Kharaj wal
Imarah wal Fa’I, bab Fi Arzaqul Ummal, hadits no. 2943 dan dishahikan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 6023
[5] Nailul Authar,
4/233
[6] Tafsir Ibnu
Katsir 1/398
[7] HR Al-Bukhari, Fardhul
Khumus, bab Qaulun Nabiyi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Uhillat),
hadits no. 3124
[8] HR Al-Bukhari
dalam kitab Al-Aiman wan Nudzur, bab Kaifa Kaanat Yamiinun Nabiyyi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hadits no. 6636
[9] HR Ahmad, no.
23090 dan sihahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil hadits no. 2622
[10]HR Abu Dawud dalam Sunan-nya di kitab Al-Kharaj wal
Imarah wal Fa’I, bab Fi Arzaqul Ummal, hadits no. 2943
[11] HR Ibnu Majah dalam kitab Al-Jihad, bab Al-Ghulul,
hadits no. 2850, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu
Majah dan Shahihul Jami’ish Shaghir, no. 7869
[12] HR Ahmad, no. 21291, At-Tirmidzi no. 1572, An-Nasa-I
dan Ibnu Majah
[13]HR Muslim dalam kitab Thaharah, bab Wujubuth
Thaharah Lis Shalati, hadits no. 329
[14] HR Muslim dalam kitab Az-Zakat, bab Qabulush
Shadaqati minal Kasbit Thayyibi wa Tarbiyatuha, hadits no. 1686
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar baik menunjukkan pribadimu !