BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kebudayaan merupakan pedoman bagi kehidupan
masyarakat, merupakan perangkat-perangkat acuan yang berlaku umum dan
menyeluruh dalam menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.[1]
Dalam kebudayaan terdapat perangkat-perangkat dan keyakinan-keyakinan yang
dimiliki oleh pendukung kebudayaan tersebut. Adapun tradisi keagamaan merupakan
pranata primer dari kebudayaan memang sulit berubah karena keberadaannya
didukung oleh kesadaran bahwa pranata tersebut menyangkut kehormatan harga
diri, dan jati diri masyarakat pendukungnya.[2]
Dalam makalah ini akan dibahas tentang pengaruh kebudayaan khususnya tradisi
keagamaan terhadap jiwa keagamaan pada era globalisasi. Pada era globalisasi
itu menunjukan bahwa kebudayaan (bidang material) sangat berpengaruh terhadap
jiwa keagamaan. Sehingga memuncukan kecenderungan-kecenderungan yang membawa
konsekuensi tersendiri bagi penganut agama tertentu, apa kecenderungan yang
positif atau negatif yang lebih bersifat destruktif. Pada kondisi itu kondisi
kejiwaan penganut agama tersebut haruslah menunjukkan jati diri sebagai
penganut agama yang tetap tidak tergerus oleh nilai-nilai yang sekuer meskipun
kemajuan iptek berpengaruh pesat ditengah arus global. Hendaknya mereka
menganggap globalisasi sebagai tantangan yang harus dihadapi sekaligus
menjadikan globaisasi sebagai ancaman bila tidak mampu menunjukan jati dirinya,
karena globalisasi merupakan puncak peradaban manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan tradisi keagamaan
dan kebudayaan itu?
2. Bagaimanakah hubungan antara tradisi
keagamaan dan sikap keagamaan?
3. Bagaimana pengaruh eksistensi kebudayaan di
era globalisasi terhadap jiwa keagamaan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tradisi keagamaan
dan kebudayaan.
2. Untuk mengetahui hubungan antara tradisi
keagamaan dan sikap keagamaan.
3. Untuk mengetahui pengaruh eksistensi
kebudayaan di era globalisasi terhadap jiwa keagamaan.
BAB II
PENGARUH
KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
I. Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan
A. Pengertian Tradisi dan Tradisi Keagamaan
Kriteria tradisi dapat lebih dibatasi dengan
mempersempit cakupannya. Dalam pengertian yang lebih sempit tradisi hanya
berarti bagian-bagian warisan sosial khusus yang memenuhi syarat saja, yakni
yang tetap bertahan hidup dimasa kini yang masih kuat ikatannya, dengan
kehidupan masa kini.[3] Dalam
arti sempit tradisi adalah kemampuan benda material dan gagasan yang diberi
makna khusus yang berasal dari masa lalu.[4]
Adapun beberapa ahli merumuskan tradisi
antara lain;
1.
Shils
Menurut
Shils, tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa
lalu kemasa kini.[5]
2.
Pasurdi Suparlan, Ph. D
Menurut
Pasurdi Suparlan, tradisi merupakan unsur sosial budaya yang telah mengakar
dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah.
3.
Meredith Mc. Guire
Menurut
Meredith Mc. Guire, ia melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi
erat kaitannya dengan agama.
4.
Prof. Dr. Kasmiran Wuryo
Menurut
Kasmiran Wuryo, tradisi masyarakat merupakan bentuk norma yang terbentuk dari
bawah, sehingga sulit untuk diketahui sumber asalnya. Adapun secara garis
besarnya, tradisi sebagai kerangka acuan norma daam masyarakat disebut pranata
. pranata ini terbagi atas;
a.
Pranata
Skunder
Pranata
ini merupakan pranata yang dapat dengan mudah diubah struktur dan peran
hubungan antar peranannya maupun dengan norma-norma yang berkaitan dengan
perhitungan rasional yang menguntungkan dan dihadapi sehari-hari. Pranata ini
bersifat fleksibel, mudah berubah, sesuai dengan situasi yang diinginkan oleh
pendukungnya. Contohnya; pranata politik, pranata pemerintahan, pranata ekonomi,
dan pasar, berbagai pranata hukum dan keterkaitan sosial dalam masyarakat.
b.
Pranata
Primer
Pranata
ini merupakan kerangka acuan norma yang mendasar dan hakiki dalam kehidupan
manusia. Pranata ini berhubungan dengan kehormatan dan harga diri, jati diri
serta kelestarian masyarakat, dan pranata ini bersifat mudah dapat berubah
begitu saja. Adapun titik tekan pranata primer adalah menekankan pada
pentingnya keyakinan dan kebersamaan serta bersifat tertutup atau pribadi.
Contohnya; pranata keluarga kekerabatan, keagamaan (tradisi keagamaan),
pertemanan, atau persahabatan.
Bila
dihubungakan dengan tradisi maka tradisi (agama Samawi) bersumber dari
norma-norma yang termuat dalam kitab suci.[6] Adapun
tradisi keagamaan (agama Samawi) merupakan kontradiksi asli, yakni tradisi yang
sudah ada dimasa lalu, bukan merupakan tradisi buatan, yakni tradisi yang
khayalan atau pemikiran masa lalu.[7]
B. Fungsi
Tradisi (Termasuk; Tradisi Keagamaan)
Adapun fungsi tradisi (tradisi keagamaan)
antara lain;[8]
1.
Dalam bahasa klise dinyatakan, tradisi (tradisi
keagamaan) adalah kebijakan turun menurun, tempatnya didalam kesadaran,
keyakinan norma dan nilai yang kita anut kini serta dalam benda yang diciptakan
di masa lalu. Tradisi (tradisi keagamaan) pun menyediakan fragmen warisan
historis yang kita pandang bermanfaat. Tradisi-tradisi keagamaan seperti
gagasan dan material yang dapat digunakan orang dalam tindakan kini dan untuk
membangun masa depan berdasarkan pengalaman masa lalu. Tradisi menyediakan
cetak biru untuk bertindak. Dalam arti ia menyediakan mereka (orang) blok
bangunan yang sudah siap untuk membentuk dunia mereka.
2.
Memberikan legitimasi terhadap pandangan
hidup, keyakinan, pranata dan aturan semuanya itu memerlukan pembenaran agar
dapat mengikat anggotanya.
3.
Menyediakan simbol identitas kolektif
yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan
kelompok.
4.
Membantu menyediakan tempat pelarian dan
keluhan, ketidak puasan dan kekecewaan modern. Tradisi (tradisi keagamaan) yang
mengesankan masa lalu yang lebih bahagia menyediakan sumber pengganti
kebanggaan bila masyarakat dalam masa krisis.
C. Pengertian Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah
yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi dan akal.
Kebudayaan diadakan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama
artinya dengan kebudayaan, berasal dari bahasa Latin colere. Artinya
mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah bertani. Dari asal arti
tersebut yaitu colere kemudian culture, diartikan sebagai daya
dan kegiatan manusia untuk mengubah dan mengolah alam.[9]
Adapun beberapa ahli merumuskan kebudayaan
antara lain;[10]
1. E. B Tylor (1871)
Menurut E.B Tylor, kebudayaan adalah komplek yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat, istiadat dan lain
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat.
2. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
Menurut tokoh ini, kebudayaan sebagai suatu hasil karya, rasa,
dan cipta masyarakat.
-
Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebedaan atau masyarakat.
-
Kasa
meliputi jiwa manusia mewujudkan segaa kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu
untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang kuat, didalamnya
termasuk agama ideologi, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan
hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.
-
Cipta
merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup
bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan
cipta bisa terwujud murni, maupun yang telah disusun untuk berlangsung
diamalkan dalam kehidupan masyarakat.
D. Fungsi Kebudayaan
Fungsi
kebudayaan sangat besar bagi manusia dan masyarakat:[11]
1.
Manusia dan masyarakat memerlukan
kepuasan, baik di bidang spiritual maupun materiil. Kebutuhan ini sebagian
besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri.
2.
Hasil karya masyarakat menghasilkan
teknologi dan kebudayaan kebendaan mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi
masyarakat terhadap lingkungan dalamnya.
3.
Karsa masyarakat mewujudkan norma dan
nilai-nilai sosial yang sangat perlu untuk mengadakan tata tertib dalam
pergaulan kemasyarakatan. Jadi fungsi kebudayaan disini agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, menentukan sikapnya kalau berhubungan dengan orang lain.
II. Tradisi Keagamaan dan Sikap Keagamaan[12]
Tradisi keagamaan pada dasarnya merupakan pranata
keagamaan yang sudah baku
oleh masyarajkat pendukungnya. Dengan demikian tradisi keagamaan sudah
merupakan kerangka acuan norma dalam kehidupan perilakumasyarakat. Dan tradisi
keagamaan sebagai pranata primer dari kebudayaan memang sulit untuk berubah
karena keberadaannya didukung oleh bahwa pranata tersebut menyangkut
kehormatan, harga diri dan jati diri masyarakat pendukungnya.
Para ahli
antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan isi. Menurut Koentjaraningrat
bentuk kebudayaan terdiri atas;
1.
Sistem kebudayaan (cultural system)
Sistem kebudayaan berbentuk gagasan,
pikiran, konsep, nilai-nilai budaya, norma-norma, pandangan-pandangan yang
bentuknya abstrak serta berada dalam pikiran para pemangku kebudayaan yang
bersangkutan.
2.
Sistem sosial (social system)
Sistem sosial berwujud aktifitas, tingkah
laku, prilaku, upacara-upacara ritual-ritual yang wujudnya lebih konkret.
Sistem sosial adaah bentuk kebudayaan dalam wujud yang telah konkret dan dapat
diamati.
3.
Benda-benda budaya (material system)
Benda-benda budaya atau kebudayaan fisik
atau kebudayaan material merupakan hasil tingkah laku dan karya pemangku
kebudayaan yang bersangkutan.
Adapun
isi kebudayaan menurut Koentharaningrat terdiri atas tujuh unsur, yaitu;
bahasa, sistem pengetahuan religi dan kesenian. Dengan demikian dilihat dari
bentuk dan isi. Kebudayaan merupakan lingkungan yang terbentuk oleh norma-norma
dan nilai-nilai yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai dan
norma-norma menjadi pedoman hidup itu berkembang dalam berbagai kebutuhan
masyarakat, sehingga terbentuk dalam suatu sistem sosial. Contohnya; sistem ini
selanjutnya terwujud pula benda-benda kebudayaan dan bentuk benda fisik.
Contohnya adalah penyebaran agama, kenusantara yang sampai saat ini
mempengaruhi sikap keagamaan masyarakat Indonesia. Khususnya pengaruh
tradisi keagamaan masa lalu ikit mempengaruhi sikap keagamaan masyarakat.
Menurut
Robert Monk hubungan antara sikap keagamaan dan tradisi keagamaan adalah sikap
keagamaan perorangan dalam masyarakat yang
menganur suatu keyakinan agama merupakan unsur penopang bagi
terbentuknya tradisi keagamaan. Tradisi keagamaan menurut Monk menunjukan
kepada kompleksitas pola-pola tingkah laku (sikap-sikap kepercayaan atau
keyakinan yang berfungsi untuk menolak atau menanti suatu nilai penting
(nilai-nilai) oleh sekelompok orang yang dipelihara dan diteruskan secara
berkesinambungan selama periode-periode tertentu.
Tradisi
keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi sikap-sikap keagamaan sebagai
lingkungan kehidupan turut memberi nbilai-nilai, norma-norma tingkah-laku
keagamaan kepada sesamanya. Dengan demikian tradisi keagamaan memberi pengaruh
dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama. Sehingga terbentuk daam sikap
keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan
tertentu.
Sikap
keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan bagian dari
pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap
keagamaan ini akan ikut mempengaruhi cara berfikir, cita, rasa atau penilaian
seseorang terhadap segaa sesuatu yang berkaitan dengan agama. Tradisi keagamaan
daam pandangannya. Robert C Monk memiliki dua fungsi utama. Pertama
adalah sebagai kekuatan yang mampu membuat kesetabilan dan keterpaduan
masyarakat maupun individu. Kedua, tradisi keagamaan berfungsi sebagai
agen perubahan dalam masyarakat atau individu.
III. Kebudayaan Dalam Era Globalisasi dan
Pengaruhnya Terhadap Jiwa Keagamaan
A. Pengertian Globalisasi
Makna
globalisai menurut Anthoy Giddens dijelaskan sebagai intensifikasi relasi sosial
di seluruh dunia yang menghubungan lokalitas yang berjauhan sehingga kejadian lokal
dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi dibelahan dunia lain.[13]
Menurut Akbar S. Ahmad dan Hasting Donnan makna
globalisasi diberi batasan yaitu pada prinsipnya mengacu pada
perkembangan-perkembangan yang cepat daam teknologi komunikasi, transformasi,
informasi yang bisa membawa bagian-bagian dunia yang jauh (menjadi hal-hal)
yang bisa dijangkau dengan mudah.[14]
Istilah globalisasi sering digunakan untuk
mengembangkan penyebaran dan keterkaitan produksi, komunikasi, dan teknologi
seluruh dunia. Penyebaran ini melibatkan kompleksitas kegiatan ekonomi dan
budaya. Adapun tema kunci dalam wawancara dan pengalaman globalisasi adalah;[15]
1.
Delokalisi dan lokalisasi
2.
Inovasi teknologi informasi
3.
Kebangkitan korporasi multinasional
4.
Privatisasi dan pembentukan pasar bebas.
B. Kebudayaan
Dan Era Globalisasi Dan Pengaruhnya Terhadap Jiwa Keagamaan
Secara fenomena kebudayaan dalam era globaisasi
mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap
perkembangan jiwa keagamaan, khususnya dikalangan generasi muda. Meskipun dalam
sisi tertentukehidupan tradisi keagamaan tampak meningkat dalam kesemarakannya
namun dalam kehidupan masyarakat global yang cenderung sekuer barangkali akan
ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan para generasi muda. Paling
tidak terdapat kecenderungan yang tampak. Pertama, muncul sikap
toleransi yang tinggi terhadap perbedaan agama, dikaangan kelompok moderat. Kedua,
munculnya sikap fanatic keagamaan yang muncul pada kelompok fundamental.
Kedua kecenderungan tersebut menurut pendekatan
psikologis berisi ciri-ciri kepribadian yang ditampilkn kelompok introvert dan
ekstrovert. Gejala kejiwaan yang dimiliki orang-orang introvert lebih tertutup
terhadap perubahan yang terjadi, sedangkan ekstrovert lebih bersikap terbuka
dan mudah menerima. Tetapi yang jelas era globalisasi dipandang dari sudut
teknologi adalah era modernisasi puncak bagi peradaban manusia.
Era globalisasi memberikan perubahan besar pada
tatanan dunia secara menyeluruh dan perubahan itu dihadapi bersama sebagai
suatu perubahan yang wajar. Sebab mau tidak mau siap tidak siap perubahan
diperkirakan bakal terjadi. Dikala manusia dihadapkan pada malapetaka sebagai
dampak perkembangan dan kemajuan modernisasi dan perkembangan teknologi itu
sendiri.
Dalam kondisi seperti itu barangkali manusia
mengalami konflik batin secara besar-besaran. Konflik tersebut sebagai dampak
ketidak seimbangan antara kemampuan iptek yang menghasilkan kebudayaan materi
yang kosongan ruhani. Kegoncangan batin ini barangkali akan mempengaruhi
kehidupan psikologi manusia. Pada kondisi ini manusia akan mencari ketentraman
batin antara lain agama.
Era global bertepatan dengan millennium III
ditandai dengan kemajuan iptek terutama dalam bidang transportasi dan
komunikasi. Serta terjadinya lintas budaya. Selain itu dampak dan mobilitas
manusia semakin tinggi menyebabkan apa yang terjadi disuatu tempat diwilayah
tertentu dengan mudah dan cepat tersebar dan diketahui masyarakat dunia hampir
tak ada yang tersembunyi. Pengaruh ini ikut malahirkan pandangan yang serba
boleh (perssiviness) apa yang sebelumnya dianggap tabu, seanjutnya dapat
diterima.
Sementara itu nilai-nilai tradisional mengalami
pengerusan mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber dari tradisi
masyarakat, termasuk kedalam sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama.
Dipihak lain manusia juga dihadapkan pada upaya untuk mempertahankan sistem
nilai yang mereka anut sementara itu era global menawarkan alternatif baru
(kekaguman dari hasil rekayasa iptek) yang menawarkan kenikmatan duniawi. Hal
ini menimbulkan keraguan dan kecemasan kemanusiaan (human anxiety)
adapun kemungkinan yang terjadi pada manusia adalah; pertama, mereka
yang tidak ikut larut alam pengaguman yang berlebihan terhadap teknologi dan
tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kegamaan, kemungkinan akan lebih
meyakini kebenaran agama. Kedua, golongan yang longgar dari nilai-nilai
ajaran agama akan kekosongan jiwa. Golongan kedua ini di era global akan
diperkirakan memuncukan tiga kecenderungan agama, yaitu;
1.
Kecenderungan berupa arus kembali ke
tradisi agama yang liberal
2.
Kecenderungan ke tradisi keagamaan pada
aspek mistis
3.
Kecenderungan munculnya gerakan sempalan
yang mengatas namakan agama.
Gerakan
yang dilakukan golongan ini, pada hakikatnya merupakan tindakan kompensatif.
Mereka mengalami kesendirian kekosongan nilai-nilai ruhaniyah. Dalam kondisi
kesendirian kekosongan itu terasa menyakitkan hingga mereka merasa perlu
mengajak orang lain secara bersama sama larut dalam upacara yang mereka
rekayasa.
Sebagai
umat beragama, khususnya umat Islam dalam era globalisasi hendaknya;[16]
1.
Menumbuhkan kesadaran tentang tujuan
hidup menurut agama baik sebagai hamba Allah maupun sebagai khalalifah Allah.
Tetap dalam kontek mengabdi kepada Allah dan berusaha memperoleh ridhanya dan
keselamatan di dunia dan akhirat. Disini peran iman dan taqwa sangat penting
hidup di era gobalisasi.
2.
Menumbuhkan kesadaaran dalam
bertanggungjawab karena kita akan mempertanggungjawabkan apa yang diperbuat di
dunia, baik formalitas administratif sesuai yang ada di dunia sendiri maupun
hakiki menurut yang mempunyai konsekuensi akhirat kelak. Ketika kita
menceburkan diri dalam kehidupan globalisasi amka kita juga selalu sadar akan
tanggung jawab terhadap apa yang kita perbuat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tradisi
keagamaan sebagai pranata primer dari kebudayaan memang sulit berubah, karena
pranata tersebut disadari sebagai suatu yang penting, karena menyangkut
kehormatan, harga diri, dan jati diri masyarakat pendukungnya. Adapun hubungan
antara tradisi tersebut dan sikap keagamaan adalah tradisi keagamaan memberi
pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk
dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam kehidupan tradisi keagamaan
tertentu.
Istilah
globalisasi sering digunakan untuk menggambarkan penyebaran dan keterkaitan
produksi, komunikasi dan teknologi diseluruh dunia. Penyebaran itu menunjukkan
kompleksitas kegiatan ekonomi dan budaya. Adapun pengaruh kebudayaan dalam era
gobalisasi terhadap jiwa keagamaanadalah apabila tidak terjadi ketidak
seimbangan antara kemajuan iptek dengan kemampuan individu yang beragama daam
mengahasilkan kebudayaan terutama kebudayaan materi. Maka individu tersebut
akan mengalami kekosongan rohani dan kegoncangan batin. Hal ini mempengaruhi
kehidupan psikologisnya sehingga ia akan memerlukan agama. Adapun kemungkinan
yang dapat dimungkinkan pada orang tersebut antara lain;
1.
Menyakini kebenaran agamannya
2.
Golongan yang longgar terhadap nilai-nilai
ajaran agama, yang meliputi
a.
Orang yang cenderung kembali ke tradisi
keagamaan yang liberal
b.
Orang yang cenderung kembali kedalam
tradisi keagamaan yang mistis
c.
Orang yang cenderung memunculkan gerakan
sempalan yang mengatas namakan agama.
DAFTAR PUSTAKA
----------- . Pendidikan Manusia Indonesia,
Tonny D. Widiastono (ed.), Jakarta: Kompas, 2004
Azizy, A. Qodry, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam
(Persiapan SDM Yang Terciptanya Masyarakat Madani), Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004
Jaluddin, Psikologi Agama, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005
Soekanto, Soerjono, Sosiologi
Suatu Pengantar, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000
Sztompka, Piotr , Sosiologi
Perubahan Sosial, Jakarta:
Prenada, 2007
[1]
Jaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 195
[2] Ibid.,
hal. 198
[3]
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2007), hal. 70
[4] Ibid.,
hal. 71
[5] Ibid.,
hal. 70
[6]
Jaluddin, Psikologi Agama…, hal. 195-197
[7]
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan…, hal. 72
[8] Ibid.,
hal. 74-76
[9]
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal.
188
[10] Ibid.,
hal. 188-189
[11] Ibid.,
hal. 194-195
[12]
Jaluddin, Psikologi Agama…, hal. 198-203
[13] ----------- , Pendidikan Manusia Indonesia,
Tonny D. Widiastono (ed.), (Jakarta: Kompas, 2004),
hal. 218
[14]
A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan
SDM Yang Terciptanya Masyarakat Madani), (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hal. 19
[15]
----------- , Pendidikan Manusia…, hal. 218-221
[16]
A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi…, hal. 32-33
Hai kak
BalasHapusTerimakasih ya ilmunya
Saya izin mengambil beberapa materinya