Full width home advertisement

Travel the world

Climb the mountains

Post Page Advertisement [Top]


Oleh: Afiful Ikhwan*

 

A.    Pendahuluan
Al-Quran pada hakikatnya menempati posisi sentral dalam studi-studi keislaman. Di samping berfungsi sebagai huda (petunjuk), Al-Quran juga berfungsi sebagai furqan (pembeda). Ia menjadi tolok ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan, termasuk dalam penerimaan dan penolakan setiap berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Allah SWT berfirman :


Artinya :
"Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar" (Q.S. Al-Isra : 9).

Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan aqidah, syari’ah dan akhlak, dengan cara meletakan dasar-dasar prinsipil mengenai persoalan-persoalan tersebut. Allah SWT memberikan tugas kepada Rasulnya untuk menjelaskan kepada Rasul-Nya untuk menjelaskan kepada manusia apa yang tersirat di dalam semua dasar-dasar, kaidah-kaidah umum secara rinci, dan mendetail. Allah SWT berfirman :

 Artinya :
"Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan" (Q.S. An-Nahl : 44).


Al-Qur’an adalah kalam (firman) Allah SWT yang sekaligus mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab, yang sampai kepada umat manusia dengan cara al-tawatur (langsung dari Nabi Muhammad SAW kepada orang banyak), yang kemudian termaktub dalam bentuk mushaf, dimulai dengan surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas (Quraish shihab, 2001, 39).
Sedangkan Al-Qur’an menurut Syeikh Muhammad Abdul Adzin Al-Zarqani (2001,9) adalah kalam yang mengandung kemukjizatan yang diturunkan kepada Nabi SAW yang tertulis didalam mushaf-mushaf yang diriwayatkan secara mutawatir dan yang dinilai ibadah bila membacanya.
Di sisi lain, terdapat kaum terpelajar Muslim yang mempelajari berbagai disiplin ilmu. Ini antara lain didorong keinginan untuk memahami petunjuk; informasi dan mukjizat Al-Quran. Karena Al-Quran berbicara tentang berbagai aspek kehidupan serta mengemukakan beraneka ragam masalah, yang merupakan pokok-pokok bahasan berbagai disiplin ilmu, maka kandungannya tidak dapat dipahami secara baik dan benar tanpa mengetahui hasil-hasil penelitian dan studi pada bidang-bidang yang dipaparkan oleh Al-Quran.
Syaikh Muhammad 'Abduh menegaskan --sebagaimana ditulis oleh muridnya, Rasyid Ridha-- dalam Muqaddimah Tafsir Al-Manar: "Saya tidak mengetahui bagaimana seseorang dapat menafsirkan firman Allah SWT, yang berbunyi 'Kana al-nas ummah wahidah' (QS 2:213), kalau dia tidak mengetahui keadaan umat manusia dan sejarahnya (sejarah dan sosiologi)." Tentunya pernyataan ini berlaku pula dalam hubungannya dengan ayat yang berbicara tentang astronomi, embriologi, ekonomi, dan sebagainya.
Begitu juga dengan pembuktian tentang mukjizat Al-Quran. Dalam hal ini, sungguh tepat penegasan Malik bin Nabi, pemikir Muslim kontemporer asal Aljazair itu, bahwa "Tidak seorang Muslim pun dewasa ini --lebih-lebih yang bukan dari negara-negara berbahasa Arab-- yang dapat memahami kemukjizatan Al-Quran dengan membandingkan satu ayat dengan sepenggal kalimat berbentuk prosa atau puisi pra-Islam."
Sudah menjadi keyakinan umat islam, bahwa Al-Qur’an merupakan kitab bimbingan hidup manusia untuk mencapai kebahagiaan sejati. Untuk memperoleh bimbingannya, ada seperangkat ilmu yang harus digunakan. Seperangkat ilmu untuk memahami Al-Qur’an lazim disebut ulumul quran.
Yang dimaksud dengan ulumul quran yaitu suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian-kajian Al-Qur’an seperti pembahasan tentang asbab an-nuzul, pengumpulan Al-Qur’an dan penyusunannya, masalah Makkiyah dan Madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabihat, dan lain-lain. Kadang-kadang ulumul quran ini juga disebut sebagai ushul at-tafsir (dasar-dasar/prinsip-prinsip penafsiran), karena memuat berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan Al-Qur’an (Syaikh Manna’ Al-Qaththan, 2007, 10).
Kata ulum dalam (ulumul qur’an) merupakan bentuk jamak dari kata ilmu. Bukan bentuk tunggal karena tujuannya tidak satu ilmu saja yang berkaitan dengan Al-Qur’an, tetapi mencakup semua ilmu melayani Al-Qur’an atau bertumpu kepadanya. Dari situ terangkai ilmu-ilmu seperti ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasam utsmaniy, ilmu i’jaz Al-Qur’an, ilmu gharib Al-Qur’an, ilmu asbab nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu-ilmu agama, bahasa dan lain-lain. Semua itu jenis-jenis ilmu yang masuk dalam cakupannya .
Dari pengertian di atas, jelaslah bahwa ilmu tafsir merupakan salah satu bagian dari ulumul quran. Kalau diibaratkan, ilmu tafsir dan ulumul quran, seperti akar dengan cabangnya.

B.     Tafsir
Pengertian tafsir secara etimologi berasal dari akar kata “Al-Fasr” (fatah huruf fa dan sukun huruf sin) yang berarti penjelasan atau keterangan yaitu menjelaskan sesuatu yang tidak jelas pengertiannya. Sedangkan menurut terminologi tafsir memiliki dua pengertian yaitu : (1) Penjelasan tentang kalam Allah dengan member pengertian memahami pemahaman kata demi kata, susunan kalimat yang terdapat dalam Al-Qur’an, (2) Bagian dari ilmu badi’ yaitu salah satu cabang Ilmu Sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna dalam penyusunan kalimat .
Abu Hayyan mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur'an, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan kondisi struktur lafazh yang melengkapinya (Syaikh Manna' Al-Qaththan, 2006, 409).
Diakui oleh semua pihak bahwa materi-materi Tafsir dan ilmunya sedemikian luas, sehingga tidak mungkin akan dapat tercakup berapa pun jumlah alokasi waktu yang diberikan. "Al-Shina'ah thawilah wa al-'umr, gashir," demikian kata Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an . Al-Zarkasyi menyatakan bahwa tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW., menjelaskan makna-maknanya, mengeluarkan hukum dan “hikam” (bentuk jamak dari hikmah) dari padanya.
Dari penjelasan di atas, para ulama menyimpulkan bahwa tafsir merupakan penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufasir), dan bahwa kepastian arti satu kosakata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri.
Berbagai definisi yang berbeda dikemukakan oleh para ahli tentang tafsir. Perbedaan tersebut pada dasarnya timbul akibat perbedaan mereka tentang ada tidaknya kaidah-kaidah yang dapat dijadikan patokan dalam memahami firman-firman Allah dalam Al-Quran. Satu pihak beranggapan bahwa kemampuan menjelaskan atau memahami firman-firman Allah itu bukanlah berdasarkan kaidah-kaidah tertentu yang bersumber dari ilmu-ilmu bantu, tetapi harus digali langsung dari Al-Quran berdasarkan petunjuk-petunjuk Nabi saw., dan sahabat-sahabat beliau. Pihak ini mendefinisikan tafsir sebagai "penjelasan tentang firman-firman Allah; atau apa yang menjelaskan arti dan maksud lafal-lafal Al-Quran".
Bagi mereka, tafsir bukan suatu cabang ilmu. Pihak lainnya yang berpendapat bahwa terdapat kaidah-kaidah tafsir, mengemukakan definisi yang dapat disimpulkan dalam formulasi berikut bahwa tafsir adalah "suatu ilmu yang membahas tentang maksud firman-firman Allah SWT, sesuai dengan kemampuan manusia".
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat tersebut. Namun, yang jelas, pendapat pihak pertama memperberat tugas-tugas mufasir dalam menjelaskan atau menemukan tuntunan-tuntunan Al-Quran yang bersifat dinamis, disamping mempersulit seseorang yang ingin memperdalam pengetahuannya tentang Al-Quran dalam waktu yang relatif singkat. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa definisi kedua lebih populer dan luas diterima oleh para pakar Al-Quran daripada definisi pertama.

Ilmu Tafsir dalam Perspektif Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Ada tiga prasyarat utama bangunan sebuah ilmu, yaitu (1) apa hakikat ilmu itu sesungguhnya atau apa yang ingin diketahui, (2) bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut, dan (3) apa fungsi pengetahuan tersebut bagi manusia. Pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan hal pertama berkenaan dengan landasan ontologis, pertanyaan kedua berkenaan dengan landasan epistimologis, dan pertanyaan ketiga berkaitan dengan landasan aksiologis.
Ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam segala bentuknya. Landasan dalam tataran ontologi adalah apa objek yang ditela’ah, bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut, bagaimana pula hubungan objek tersebut dengan daya pikir dan penangkapan manusia (Inu Kencana Safiie, 2004, 9).
Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat-sifat, metoda dan keahlian pengetahuan (Sudarsono, 2001, 138).
Objek tela’ah aksiologi adalah penerapan pengetahuan, jadi dibahas mulai dari klasifikasinya, tujuan pengetahuan serta pengembangannya. Landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa pengetahuan itu digunakan ? Bagaimana hubungan penggunaan pengetahuan ilmiah dengan moral etika ? Bagaimana penentuan objek yang diteliti secara moral ? Bagaimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral ?
Ilmu tafsir juga memiliki struktur keilmuan seperti di atas, yaitu apa yang ingin diketahui dari Ilmu tafsir ? Hal ini menjadi basis ontologism Ilmu tafsir. Bagaimana cara mendapatkan Ilmu tafsir ? Menjadi basis epistimologis Ilmu tafsir. Apa manfaat dari Ilmu tafsir ? menjadi basis aksiologis Ilmu tafsir.

1.      Ontologi Ilmu Tafsir
Dalam sudut pandang ontologi, yaitu apa yang dipelajari oleh Ilmu tafsir, maka yang menjadi objek kajiannya adalah Al-Qur'an dari sudut penguraian dan penjelasan maknanya. Berbeda dengan ilmu Qira’at -misalnya- yang objeknya sama yaitu Al-Qur’an tetapi sudut yang diperdalamnya mengenai pengucapan dan penyampaiannya.
Seperti dijelaskan di atas, bahwa Al-Quran pada hakikatnya menempati posisi sentral, di samping berfungsi sebagai hudan (petunjuk), Al-Quran juga berfungsi sebagai furqan (pembeda). Ia menjadi tolok ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan aqidah, syari’ah dan akhlak, dengan cara meletakan dasar-dasar prinsipil mengenai persoalan-persoalan tersebut.
Dalam muqodimah Tafsir Al-Azharnya, Hamka menyatakan bahwa menurut undang-undang bahasa Al-Qur’an itu adalah kalimat masdar yaitu pokok kata, yang berarti bacaan, tetapi diartikan dekat kepada sesuatu yang dikerjakan (isim maf’ul), menjadi artinya yang dibaca. Al-Qur’an adalah nama yang diberikan kepada keseluruhan Al-Qur’an dan dinamakan juga bagi suku-sukunya atau bagian-bagiannya . Al-Qattan juga berpendapat yang serupa, bahkan ia menegaskan bahwa Al-Qur’an dikhususkan sebagaimana bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad SAW, sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri.
Imam Asy-Sayuti dalam kitabnya Al-Itqan telah mengungkapkan tentang fadhilah menafsirkan Al-Qur’an, ia menguraikan sebagai berikut : “Ada tiga kriteria yang menentukan kualitas dari ilmu tafsir yaitu (1) Bidang yang menjadi objek ilmu tersebut adalah kalam Allah SWT, ia merupakan sumber segala hikmah dan pusat segala fadhilah (sifat-sifat keutamaan). Di dalam Al-Qur’an terdapat informasi positif tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau dan masa yang akan datang dan terdapat pula hukum-hukum yang berlaku untuk kemaslahatan antara sesama manusia, sekalipun terjadi di dalamnya banyak pengulangan, namun ini tidak menjemukan dan segala masalah keajaiban yang terdapat di dalam Al-Qur’an itu tidak akan pernah habis, (2) Dari satu sisi mendorong manusia untuk berpegang kepada Al-Qur’an sebagai tali pengikat yang teguh dalam upaya mencari kebahagiaan yang hakiki, kekal dan abadi, (3) Dilihat dari kebutuhan yang mendesak bahwa Al-Qur'an itu mengatur kesempurnaan masalah-masalah agama, dunia maupun akhirat. Keseluruhan itu membutuhkan ilmu Syar’iyah dan pengetahuan masalah keagamaan dan itu semua tergantung pada ilmu yang terdapat dalam Al-Qur’an (kitab Allah) .

2.      Epistimologis Ilmu Tafsir
Epistemologis dipahami sebagai sarana untuk meneliti prosedur-prosedur metodologis yang dibangun oleh beragam asumsi dengan cara mengkritisi serta mempertanyakan atau menguji kembali pengetahuan itu sendiri.
Sejarah perkembangan tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap muffassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan muffassir yang lainnya, namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ke tiga dari penulisan kitab-kitab tafsir sampai tahun 1960, para muffasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunan dalam mushhaf.

Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah :
1.      Metode Tahlily adalah suatu metode tafsir yang muffassirnya berusaha menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana tercantum di dalam mushhaf. Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang muffassir tahlily diuraikan bermula dari arti kosa kata (asbab al-nuzul), munasabah dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain. Terlepas dari benar atau tidaknya pendapat di atas, namun yang jelas kemukjizatan Al-Qur'an tidak ditunjukkan kecuali kepada mereka yang tidak percaya.
2.      Metode Mawdhu'iy. "Istanthiq Al-Qur'an" ("ajaklah Al-Qur'an berbicara" atau "biarkan ia mengeluarkan maksudnya") – konon ini pesan Ali Bin Abi Tholib. Pesan ini antara lain mengharuskan penafsir untuk merujuk kepada Al-Quran dalam rangka memahami kandungannya. Dari sinilah Metode Mawdhu'iy dimana muffassirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Qur'an dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh .

Sedangkan A. Chozin Nasuha membagi sumber tafsir Al-Qur’an menjadi : (1) Sumber normatif terdiri atas tiga bagian, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Informasi dari sahabat Nabi. (2) Sumber empiris terdiri atas tiga bagian juga, yaitu Sumber kerasulan Nabi Muhammad secara makro (hudan), Sumber kenyataan ayat al-Qur’an yang turun di Makkah dan sebagian lagi turun di Madinah, Sumber kenyataan adanya cicilan satu persatu ayat al-Qur’an, baik turun di Makkah atau di Madinah. (3) Sumber metodologis terdiri atas empat macam, yaitu metoda naqli, metoda aqli, metoda isyari, metoda gabungan.
1.1. Al-Qur’an sebagai sumber tafsir.
Ayat-ayat al-Qur’an ada yang redaksinya ringkas, dan ada yang redaksinya menguraikan. Seperti kisah Nabi Adam atau kisah Nabi Musa, yang muncul singkat dalam satu tempat, tetapi dalam tempat lain kisah-kisah itu, diuraikan dari segi lain. Dengan demikian, beberapa ayat-ayat itu datang dengan redaksi yang saling melengkapi. Dalam tempat lain, ada ayat al-Qur’an yang turun memakai sighat umum dan dalam tempat lain, ayat itu turun memakai shighat takhsis.
Dari segi lain ada pula ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatan bertentangan dalam menerangkan satu kasus. Misalnya, kisah penciptaan Adam itu berbeda-beda, ada ayat yang menyebutkan dari turab, dari thin, dari hama masnun, dan dari shalshal. Padahal kata-kata itu satu sama lain memiliki makna yang berbeda. Dengan tiga contoh tadi berarti tafsir ayat al-Qur’an memerlukan penafsiran dengan ayat al-Qur’an yang lain.
1.2. Al-Hadits sebagai sumber tafsir.
Para sahabat Nabi selalu mendatangi Rasulullah Saw. untuk mencari penjelasan tentang isi al-Qur’an, terutama tentang masalah yang berkaitan dengan agama. Rasulullah sendiri banyak menjelaskan masalah hukum yang ada di dalam al-Qur’an, baik dengan bentuk perkataan, atau perbuatan dan atau dengan pengakuan (taqrir). Utsman ibn Affan dan Abdullah ibn Mas’ud jika mendengar al-Qur’an dari Rasulullah Saw. sepuluh ayat, maka mereka selalu mohon penjelasan lebih dahulu, baru mereka ajarkan kepada orang lain.
Dari segi lain, Umar ibn al-Khattab berkata, bahwa: Ayat al-Qur’an yang turun akhir adalah ayat tentang riba. Tetapi Rasulullah Saw. sendiri wafat sebelum ayat itu dijelaskan maksudnya. Dengan demikian, penjelasan Rasulullah Saw. adalah sumber penafsiran bagi ayat-ayat al-Qur’an.
1.3. Informasi sahabat Nabi sebagai sumber tafsir.
Sumber ini dijadikan bahan tafsir al-Qur’an, yang datang sesudah hadits Nabi. Demikian karena, (a) Para sahabat Nabi menyaksikan berbagai kasus ketika ayat itu turun. (b) Mereka memiliki bahasa Arab yang fasih, dan baligh. (c) Mereka mengetahui berbagai kebudayaan yang terjadi pada zaman sebelum Islam, dan mereka faham pula terhadap sejarah tokoh, suku, politik, dan interaksinya masing-masing. (d) Bagi mereka yang tidak memliki pengetahuan sejarah, mereka memiliki insting ke-Arab-an yang tinggi yang tumbuh dari pergaulan. Oleh karena itu, informasi dari sahabat Nabi dapat dijadikan sebagai sumber tafsir al-Qur’an.

Kasus Empirisyang makro sebagai sumber tafsir.
Masalah iniberasal dari misi para rasul Allah yang dalam proses perumusannya berhubungan secara timbal balik dengan wahyu. Entitas sunnah para rasul telah terjadi dalam jangka waktu yang amat panjang, yaitu sejak dari Nabi Adam, Nabi Nuh dan nabi-nabi lainnya sampai pada zaman Nabi Isa, yang tersebar di berbagai kawasan. Ia merupakan sunnah kenabian (kerasulan) yang mencakup unsur struktur (perjuangan) dan unsur kultur (syari’at). Untuk memahami sumber tafsir itu, memerlukan pendekatan historis bagi kehidupan masa lalu (syara’ man qablana) dan pendekatan antropologis dan sosiologis terhadap sunnah nabi-nabi dan ijtihad untuk masa kini. Itulah penafsiran yang oleh Ushul al-Tafsir disebut siyaqiyah atau kontekstualisasi.
Dalam Surat al-Syura ayat 13 Allah menerapkan, syari’at agama samawi kepada umat Muhammad, itu adalah agama samawi yang dulu dipesankan kepada Nabi Nuh, dan dikembangkan oleh umatnya, yang dalam kisah disebut Shabiah. Dari Nabi Nuh, syari’at samawi diwasiatkan kepada Nabi Ibrahim. Nabi ini memiliki banyak putera, diantaranya dua orang yang diutus menjadi rasul Allah, yaitu Nabi Ishaq di Palestina dan Nabi Ismail di Makkah. Agama Ibrahim yang dikembangkan oleh Ishaq di Palestina, Allah pesankan kepada Nabi Musa dengan nama Agama Yahudi, dan Allah pesankan pula kepada Nabi Isa dengan nama Agama Nasrani. Sedangkan Agama Ibrahim yang dikembangkan oleh Nabi Ismail, Allah pesankan kepada Nabi Muhammad dengan nama Agama Islam.
Sehubungan Agama Nuh, komunitas umatnya sudah punah, maka agama samawi yang ada sekarang hanya agama Ibrahim, yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam. Pada zaman sahabat Nabi dan zaman berikutnya, Agama Nuh dan Ibrahim banyak dikutip oleh para mufasir untuk tafsir al-Qur’an. Mereka hanya mengambil teks tentang kisah yang oleh Ulum al-Qur’an disebut Israiliyat. Mereka belum mengambil konteks kebudayaan dan peradaban dari nabi-nabi dan pengikutnya, yang bisa dijadikan sebagai “buku besar”. Dengan demikian, mufasir dulu hanya mengambil buku kecil dari Agama Nuh dan Ibrahim, dan belum mengambil buku besarnya. Dengan kata lain, para mufasir waktu itu hanya mengambil teks normatif saja dan belum mengambil konteks yang ada pada teks itu.
            Kasus Empiris yang messo sebagai sumber tafsir.
Kasus ini berasal dari kehidupan umat, yang kisahnya dikaitkan dengan turunnya Al-Qur’an, yaitu gerakan keagamaan yang sudah ada di semenanjung Arabia, terutama di Makkah dan Madinah (Yatsrib). Gerakan itu sebagai kelanjutan Agama Ibrahim yang disebut AganaHanif, dan pengikutnya disebut Hunafa.
Di Makkah gerakan ini dipopulerkan oleh Zaid ibn ‘Amr ibn Nufail, Waraqah ibn Naufal, Abdullah ibn Jahsy, Ka’ab ibn Lu’ai ibn Ghalib, dan Abdul Muthallib. Di Madinah, gerakan ini dipopulerkan oleh Rahib Abu Amir, dan banyak lagi tokoh yang anak cucunya bergabung bersama Rasulullah Saw. sebagai Sahabat Anshor. Selain tokoh-tokoh tadi, gerakan ini dipopulerkan pula oleh Umayyah ibn Abi al-Shalt, Zuhair ibn Abu Salma, dan banyak lagi tokoh-tokoh Hunafa, di luar Makkah dan Madinah.Mereka tidak mau menyembah patung, tidak mau makan riba, mengharamkan zina, tidak mau membunuh orang tanpa alasan, dan lain-lain. Mereka menjalankan puasa, khitan, melakukan ibadah haji dan umrah, percaya pada kebangkitan akhirat, dan lain sebagainya. Setelah itu, Allah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, sumber empiris yang messo ini, sebagai jembatan bagi turunnya satu persatu ayat al-Qur’an. Al-Qur’an turun kepada Rasulullah secara bertahap selama hampir 23 tahun.13 tahun turun di Makkah, dan 9 tahun turun di Madinah. Secara empiris, ayat-ayat al-Qur’an yang turun di dua kawasan itu berbeda, dan keduanya mempunyai ciri-ciri yang bisa dipelajari.
Ciri-ciri ayat yang turun di Makkah adalah (1) Dalam surat itu ada ayat sujud. (2) Terdapat kata-kata “kalla”. (3) Panggilan Yaa ayyuhannaas. (4) Dalam surat itu, ada kisah para nabi dan umat masa lalu, kecuali Surat al-Baqarah dan Ali Imran. (5) Di awal surat itu ada huruf muqathta’ah kecuali Surat al-Baqarah dan Ali Imran, yang diawali dengan Alim Laam Miim. (6) Ayat dan suratnya pendek-pendek (ringkas), mengajak iman kepada Allah, hari kiamat, bicara tentang sorga dan neraka, mengajak berpegang pada akhlaq dan istiqamah dalam kebaikan, menentang orang-orang musyrik, dan banyak bersumpah. Sedangkan ciri-ciri surat yang turun di Madinah antara lain; (1) Semua suratnya ada izin berperang, (2) Surat itu berbicara tentang hukum, kewajiban, qanun kelembagaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan. (3) Surat itu menyebut orang munafiq, kecuali Surat al-Ankabut. (4) Dalam surat itu ada ayat yang menentang ahli kitab. (5)
Ciri-ciri ayatnya panjang, dan merinci argumentasi, dan menyajikan dalil tentang hakikat agama. Demikian sumber tafsir empiris yang dilihat dari segi teks. Sumber ini oleh Ushul al-Tafsir disebut buku kecil.
Ketika al-Qur’an turun, penduduk Makkah yang mayoritas Suku Quraisy itu terbagi menjadi dua kelompok. Satu, masyarakat yang taat kepada agama Ibrahim, dan dua masyarakat yang oleh sejarah disebut jahiliyah. Masyarakat yang disebut akhir ini kehidupannya bebas, menindas dan merampok orang lain, bahkan terkadang terjadi perkelahian di antara mereka.
Thaha Husein menilai bahwa masyarakat itu sebagai kehidupan yang keras dan kasar. Kegiatan mereka, baik kelompok pertama atau kelompok kedua adalah berdagang, ke luar kota sebagaimana dijelaskan oleh al-Qur’an Surat al-Quraisy ayat 2. Kebiasaan orang-orang Quraisy adalah bepergian pada musim dingin dan pada musim panas. Musim dingin, mereka berangkat ke Syam untuk berdagang, dan pada musim panas mereka berangkat ke Yaman untuk berdagang pula.
Berbeda dengan Madinah yang tidak ada dominasi suku, karena penduduknya terdiri atas suku-suku Aus, Khazraj, Bani Nazhir, Bani Quraizhah, dan beberapa suku lain yang lebih kecil. Meskipun begitu, pencaharian kehidupan mereka umumnya sama yaitu bercocok tanam (petani). Agama yang berkembang bervariasi, seperti Yahudi, Nasrani, Millah Ibrahim (al-Hanif), dan mereka mengenal komunitas lain seperti Majusi dan Zindiq.
Semua kepercayaan tersebut memiliki wujud eksistensi di kota itu.
Makkah sebagai awal turunnya al-Qur’an dan Madinah sebagai locus kejayaan Islam, yang kemudian tertransformasi dalam tubuh penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Meski begitu, dua kota itu memiliki pola kehidupan, ritual-ritual, klaim, dan afiliasi yang satu sama lainnya berbeda.
Di samping itu, slogan-slogan yang biasa mereka angkat, serta syair-syair orasi, dan hikmah aforisma yang mereka senandungkan, tidak sama. Dari segi keagamaan, Madinah lebih bervariasi, sedangkan dari segi syair dan orasi keilmuan (sastrawan), Makkah lebih menonjol.
Dengan demikian, tafsir al-Qur’an yang akan diangkat dari buku kecil seperti tersebut di atas, dan digabungkan dengan buku besar ini, memerlukan pendekatan keilmuan yang komprehensip. Keilmuan itu bisa mengambil bantuan geografis, linguistik, sastra, filosofis, serta pendekatan sejarah, antro-pologis, dan sosiologis. Dengan kata lain, buku besar ini perlu dipakai untuktafsir al-Qur’an.
            Kasus Empiris mikro sebagai sumber tafsir.
Dalam kitab Ulum al-Qur’an masalah Asbab al-nuzul selalu diuraikan dengan panjang lebar, karena memiliki posisi yang amat penting bagi tafsir al-Qur’an. Al-Wahidi (w. 427 H) mengatakan bahwa: Tidak mungkin para mufasir bisa mengetahui penafsiran ayat al-Qur’an, tanpa memperhatikan kisah dan penjelasan turunnya ayat itu. Karena masalah sudah jelas maka tidak banyak diuraikan lagi di sini.
Perbedaan antara Ulum al-Qur’an dan Ushul al-Tafsir adalah pada tekanannya. Ulum al-Qur’an memanfaatkan nuzul al-Qur’an dari segi struktur sejarahnya, sedangkan Ushul al-Tafsir memanfaatkan asbab nuzul dari segi kultur empiriknya.
3.1. Sumber Metodologi Naqli.
Cara kerja metoda ini adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lagi, atas petunjuk Rasulullah Saw. Atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan Sunnah Rasulullah Saw. atas petunjuk dari sahabat Nabi. Atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan memakai penjelasan sahabat Nabi, atas petunjuk dari para tabi’in. Kalau para mufasir itu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lagi atas kemauan sendiri, maka itu tidak bisa disebut tafsir naqli.
Definisi ini agak berbeda dengan para mufasir IAIN pada umumnya. Alasannya sederhana, yaitu karena melihat catatan bahwa tafsir naqli selalu disajikan memakai sanad. Meskipun begitu, seandainya mufasir itu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lagi dengan menyajikan kerangka berfikir yang jelas, maka ada ulama yang menerima sebagai tafsir naqli, seperti kitab Adlwa al-Bayan Fi Idlah al-Qur’an Bi al-Qur’an karya al-Syinqithiy (w. 1393 H). Kitab ini oleh al-Rumi dinilai tafsir naqli abad 14 Hijriyah.
3.2.   Sumber Metodologi Aqli.
Sumber ini adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memakai akal sebagai kerangka berfikirnya. Sumber ini pertama kali dilakukan oleh Mu’tazilah, antara lain Al-Jahizh (l59-263 H) dalam kitabnya, Al-Hayawan Jilid 5. Sumber ini semakin lama semakin banyak modelnya, sejak dari pendekatan tekstualistik, naturalistik sampai fenomenolgis, bahkan pendekatan emansipatoris.
3.3.   Sumber Metodologi Isyari.
Sumber ini adalah tafsir yang berusaha menjelas-kan makna ayat-ayat al-Qur’an dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat yang tampak bagi seorang shufi dalam suluk-nya. Dengan kata lain, metoda ini adalah tafsiran ayat-ayat al-Qur’an, memakai perasaan shufistik, dan bukan dilakukan oleh perasaan setiap orang.
Tafsir shufi terbagi menjadi dua, (1) Tafsir yang didasarkan pada teori pemahaman shufistik yang suatu saat ta’wilnya bertentang dengan makna lughawi. (2) Tafsir Isyari yang didasarkan pada amalan shufi. Biasanya, tafsir yang kedua ini bisa ditolerir oleh mufasir lughawi.
3.4.   Sumber Metodologi Gabungan.
Metoda ini mengabungkan cara penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an atas dasar pendekatan naqli dan aali seperti dilakukan oleh Al-Thabari dalam tafsirnya, Jami’ al-Bayan, atau menggabungakan metoda naqli dan dzauqi seperti dilakukan oleh Al-Alusi dalam tafsirnya, Ruh al-Ma’ani atau seperti Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an karya Sayyid Quthub yang menggabungkan antara rasio dan perasaan (emosi). Metoda ini oleh Fahd al-Rumi disebut manhaj tadzawwuqi.

3.      Aksiologis Ilmu Tafsir
Aksiologi dalam filsafat ilmu berbicara tentang kegunaan dari sebuah ilmu. Untuk apa ilmu itu dipelajari ? Apa nilai manfaat buat kehidupan manusia ?
Maka aksiologis Ilmu tafsir tidak terlepas dari tujuan Al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur'an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hidayah, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil.
Dalam berbagai versinya Al-Qur'an sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan, Zhulumât (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, Nûr petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat.
Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia.
Dalam upaya penggalian prinsip dan nilai-nilai Qur'ani yang berdimensi keilahian dan kemanusiaan itulah penafsiran dihasilkan. Sementara tujuan pokok Al-Qur’an seperti dipaparkan Quraish Shihab adalah :
a.       Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
b.      Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalam menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
c.       Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.
Merujuk pada pengertian di atas, maka disiplin ilmu tafsir memiliki urgensi yaitu untuk mengetahui isi kandungan Al-Qur'an dengan memahami makna-makna yang ada di dalamnya. Melaksanakan ajaran Islam tidaklah akan berhasil kecuali dengan memahami dan menghayati Al-Qur’an terlebih dahulu, serta berpedoman atas nasihat dan petunjuk yang tercakup didalamnya. Untuk itulah diperlukan tafsir, yang merupakan “kunci” pemahaman kita terhadap Al-Qur’an.
Seseorang yang membaca Al-Qur’an seharusnya mempelajari aturan-aturan tentang hukum-hukum Al-Qur’an, sehingga dapat memahami kehendak Allah SWT, dan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya. Maka dengan cara itu niscaya pembaca akan mengetahui manfaat dari bacaannya dan dapat mengamalkan apa yang telah dibaca.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
  1. Ilmu tafsir merupakan salah satu bagian dari ulumul quran.
  2. Dalam sudut pandang ontologis Ilmu tafsir, maka yang menjadi objek kajiannya adalah Al-Qur'an dari sudut penguraian dan penjelasan maknanya.
  3. Dalam sudut pandang epistimologis, secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ke tiga dari penulisan kitab-kitab tafsir sampai tahun 1960, para muffasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunan dalam mushhaf. Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir adalah Metode Tahlily dan Metode Mawdhu'iy.
  4. Dalam tataran aksiologis Ilmu tafsir tidak terlepas dari tujuan Al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur'an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hidayah, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Melaksanakan ajaran Islam tidaklah akan berhasil kecuali dengan memahami dan menghayati Al-Qur’an terlebih dahulu, serta berpedoman atas nasihat dan petunjuk yang tercakup didalamnya. Untuk itulah diperlukan tafsir, yang merupakan “kunci” pemahaman kita terhadap Al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syurbasyi (1999), Study Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Kalam Mulia, Jakarta.
Badruddin Al-Zarkasyi (1957), Al-Burhan fi 'Ulum Al-Quran, Al-Halabi, Mesir.
Hamka (1982), Tafsir Al-Azhar Juz 1, Pustaka Panjimas, Jakarta.
Inu Kencana Syafiie (2007), Pengantar Filsafat, Refika Aditama, Bandung.
Nasuha A. Chozin, Pembentukan ilmu ushul At-Tafsir, (makalah) dalam http://artikel.uinsgd.ac.id/
Quraish Shihab dkk (2001), Sejarah dan Ulumul Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta.
Quraish Shihab (1994), Membumikan Al-Qur’an, Mizan Media Utama, Bandung.
Sudarsono (2001), Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan (2006), Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Al Kautsar, Jakarta.
Syeikh Muhammad Abdul Adzim Al-Zarqani (2001), Manahil Al-‘Urfan Fi’Ulum Al-Qur’an, Gaya Media Pratama, Jakarta.
*) Penulis adalah mahasiswa semester akhir PPs Strata 2 di IAIN Tulungagung - Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar baik menunjukkan pribadimu !

Bottom Ad [Post Page]