Full width home advertisement

Travel the world

Climb the mountains

Post Page Advertisement [Top]


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia sebagai individu maupun makhluk sosial kepribadian senantiasa mengalami warna warni kehidupan. Ada kalanya senang, tentram dan gembira. Tetapi pengalaman hidup membuktikan bahwa manusia juga kadang kadang mengalami hal-hal yang pahit, gelisah, frustasi dan sebagainya, ini menunjukan bahwa manusia senantiasa mengalami dinamika kehidupan.
Berbagai macam cara dilakukan agar manusia dapat menyalurkan rasa senang, tenang dan gembira atau dengan kata lain agar manusia memperoleh kebahagiaan dan terhindar dari hal-hal yang mengecewakan. Mampu tidaknya seseorang dalam mencapai keinginannya tergantung dari vitalitas, temperamen, watak serta kecerdasan seseorang. Vitalitas merupakan semangat hidup, pusat tenaga seseorang, ia merupakan dasar kepribadian dan merupakan unsur penting yang ikut menentukan kemampuan berprestasi, dan bersifat dinamis. Setiap orang memiliki vitalitas yang berbeda ada yang kuat ada juga lemah.[1]
Kepribadian juga merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Ia akan ikut menentukan sukses tidaknya seseorang. Kepribadian meskipun ia merupakan faktor yang penting dalam kejiwaan dan berada pada tataran rohani namun wujudnya dapat terlihat pada tingkah laku dan sikap hidup seseorang.
Beberapa ahli psikologi telah banyak mengemukakan teori tentang kepribadian antara lain William James, ia berpendapat bahwa kepribadian merupakan unsur kesatuan yang berlapis-lapis. Terdiri dari The Material Self atau diri materi, The Social Self atau diri sosial, The Spiritual Self atau diri rohani dan Pure Ege atau ego murni atau Self of Selves.
Sementara itu Sigmund Freud menyatakan bahwa kepribadian itu terdiri atas tiga system yaitu id, ego dan super ego. Id merupakan kepribadian yang berhubungan dangan prnsip kesenangan atau pemuasan biologis, sedang ego merupakan bagian kepribadian yang berhubungan dengan lingkungan dasarnya adalah kenyataan dan super ego merupakan bagian kepribadian yang berhubungan dengan norma sosial, moral dan rohani.[2]
Di kalangan intelektual Muslim masalah psikologi sudah banyak dibahas oleh para ahli diantaranya Al-Farabi, Ibnu Sina, Ikhwan Ash Shafa, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al Jauzi.[3]
Psikologi Islam juga membahas tentang syakhsiyah atau personality atau kepribadian. Dalam literature klasik seperti Al-Gazali telah membahas tentang keajaiban hati[4] dan Ibnu Maskawaih ditemukan pembahasan tentang akhlak yang maksudnya mirip dengan syakhsiyah. Bedanya syakhsiyah dalam psikologi berkaitan dengan tingkah laku yang didevaluasi sedangkan akhlak adalah tingkah laku yang dievaluasi.[5] Karena itu kepribadian muslim selain mendiskripsikan tentang tingkah laku seseorang juga menilai baik buruknya.
Makalah ini akan membahas tentang struktur kepribadian muslim meliputi substansi jasmani, substansi ruhani dan substansi nafsani, juga akan membahas pergulatan psikologis dan ciri-ciri kepribadian muslim.

B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimana pengertian kepribadian?
  2. Bagaimana kepribadian muslim dalam perspektif psikologi pendidikan Islam?
  3. Bagaimana maksud dan apa saja struktur kepribadian muslim?
  4. Bagaimana ciri – ciri  kepribadian muslim?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian kepribadian.
2.      Untuk mengetahui kepribadian muslim dalam perspektif psikologi pendidikan Islam.
3.      Untuk mengetahui maksud dan apa saja struktur kepribadian muslim.
4.      Untuk mengetahui ciri – ciri  kepribadian muslim.


BAB II
PEMBAHASAN
KEPRIBADIAN MUSLIM

A.    Pengertian Kepribadian
Kepribadian dalam bahasa Arab disebut as-syakhshiyyah, berasal dari kata syakhshun,  artinya, orang atau seseorang atau pribadi. Kepribadian bisa juga diartikan identitas seseorang (haqiiqatus syakhsh). Kepribadian atau syakhshiyyah seseorang dibentuk oleh cara berpikirnya (aqliyah) dan caranya berbuat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau keinginan-keinginannya (nafsiyah).[6]
Kepribadian berasal dari kata Personality (bahasa Latin) yang berarti kedok atau topeng. Yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain-pemain panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak atau pribadi seseorang. Hal itu dilakukan oleh karena terdapat ciri-ciri yang khas, yang hanya dimiliki oleh seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian yang baik, ataupun yang kurang baik. Secara filosofis dapat dikatakan bahwa pribadi adalah ”aku yang sejati” dan kepribadian merupakan “penampakan sang aku” dalam bentuk prilaku tertentu.
Disini muncul gagasan umum bahwa kepribadian adalah kesan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang diperoleh dari apa yang dipikir, dirasakan, diperbuat yang terungkap mealui perilaku.
Selanjutnya berdasarkan pengertian kata-kata tersebut para ahli mengemukakan definisinya sebagai berikut:
  1. Woodworth: Kualitas dari seluruh tingkah laku seseorang.
  2. Morrison: Keseluruhan dari apa yang dicapai seseorang individu dengan jalan menampilkan hasil- hasil kultural dari evolusi social.
  3. Hartmann: Susunan yang terintegrasikan dari ciri-ciri umum seseorang individu sebagaimana yang dinyatakan dalam corak khas yang tegas yang diperhatikannya kepada orang lain.[7]
  4. William James: kepribadian ialah unsur kesatuan yang berlapis lapis dari diri materi, diri sosial, diri ruhani dan ego murni.
  5. Sigmond Freud: kepribadian adalah terdiri atas tiga sistem yaitu id, ego dan super ego.
  6. Sementara itu John Hocke telah mengemukakan teori tabula, rasa atau papan lilin yang siap untuk digambari, berbeda dengan Islam yang menempatkan fitrah sebagai potensi dasar kejiwaan.[8]
  7. Para intelektual Muslim: mendefinisikan kepribadian yakni merupakan bentuk integrasi antara system kalbu, akal dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku.[9]

B.     Psikologi dan Kepribadian Muslim
Para psikolog memandang kepribadian sebagai struktur dan proses psikologis yang tetap, yang menyusun pengalaman-pengalaman individu serta membentuk berbagai tindakan dan respons individu terhadap lingkungan tempat hidup.[10] Dalam masa pertumbuhannya, kepribadian bersifat dinamis, berubah-ubah dikarenakan pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, ataupun pendidikan. Kepribadian tidak terjadi secara serta merta, tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang. Dengan demikian, apakah kepribadian seseorang itu baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perjalanan kehidupan seseorang tersebut.[11]
Substansi nafsani memiliki tiga daya yaitu (1) kalbu atau fitrah ilahiyah, akal atau fitrah insani dan nafsu atau firah hayawaniah. Kepribadian pada dasarnya merupakan perpaduan antara ketiga daya tersebut, hanya saja biasanya ada salah satu diantaranya yang mendominasi yang lain.[12]
Al Kindi mendefinisikan jiwa adalah an nafs nathiqah substansinya bersifat ilahi rabbani yang berasal dari cahaya (nur) sang pencipta.[13] Oleh karena itu jiwa atau hati harus senantiasa dihidupkan dengan cahaya ilahi. Dalam Islam hati yang hidup adalah sumber kebaikan dan kematian hati adalah sumber keburukan. Akar semua kebaikan dan kebahagiaan seorang hamba adalah kesempurnaan hidup dan cahayanya. Hati yang sehat dan hidup akan bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan.[14]
Kepribadian seorang Muslim berarti menuntut agar jiwanya selalu hidup dengan nur ilahi. Inilah yang membedakan antara kepribadian menurut konsep Islam. Kepribadian Islam merupakan ciri khas, watak maupun karakter umat Islam. Kepribadian Muslim atau sering disebut akhlak Islami yaitu prilaku seorang Muslim yang merupakan perpaduan harmonis antara kalbu, akal dan fitrah insani.
Kepribadian bagi seorang Muslim ialah yang senantiasa menjaga hatinya untuk selalu taat kepada Allah dan berbahagia karena dekat kepada Allah sehingga memperoleh sinarnya dengan  senantiasa mengerjakan ibadah dan amal saleh lainya.. sedangkan hati yang kotor dan ingkar kepada Allah yang muncul dari anggota badanya adalah sifat keji adalah bekas hati yang kotor dan gelap tanpa sinar.[15]
Dalam hal ini Hasan al Basri berkata : Kebagusan Akhlak ialah manis mukanya, memberi kelebihan dan mencegah kesakitan. Sedang Al Washili berkata akhlak yang baik ialah menyenangkan manusia pada waktu suka dan duka. Dan Sahal al Tsauri berkata akhlak yang baik ialah sekurang-kurangnya menanggung penderitaan orang lain, tidak membalas kezaliman orang lain, memintakan ampunan kepada Allah terhadap orang yang berbuat zalim dan belas kasih kepadanya.[16]
Jika dilihat dari definisi definisi tersebut maka menurut pendapat penulis maka hal-hal seperti tersebut adalah buah dari akhlak karena akhlak itu sendiri adalah system kerja rohani yang terdapat dalam jiwa manusia.
Kadang-kadang dalam kondisi tertentu terjadi perubahan tingkah laku. Hal ini disebabkan karena salah satu substansi jiwa mendominasi yang lainnya. Jika dalam interaksi seseorang didominasi oleh nafsu maka yang muncul ialah sifat pendusta, egois, bakhil, suka mengancau dan amarah. Hal ini dalam psikologi Islam dinamakan jiwa yang sedang sakit. Tetapi apabila yang mendominasi akal dan kalbu maka yang muncul adalah sifat-sifat terpuji dan ma’rifat kepada Allah, inilah yang akan mendatangkan kebahagiaan.[17]
Hasil kerja kalbu atau kepribadian yang didominasi dengan kalbu akan menghasilkan kepribadian mutmainah wujudnya kepribadian atas dasar iman, Islam, dan ikhsan. Sedangkan kepribadian yang didominasi dengan akal akan menghasilkan kepribadian lawwamah, suatu kepribadian yang berdasarkan sosial moral dan rasional. Dan kepribadian yang didominasi oleh nafsu menghasilkan kepribadian amarah, ia bersifat produktif, kreatif dan konsumtif.[18]
Oleh karena itu kepribadian ada yang menarik dan ada yang tercela. Kepribadian yang menarik ialah kepribadian yang memiliki sifat-sifat positif seperti rajin, sabar, pemurah dan suka menolong. Sedangkan kepribadian yang tercela yaitu kepribadian yang negatif seperti pemalas, pemarah, kikir, sombong dan sebagainya.

C.    Struktur Kepribadian Islam
Wacana psikologi Islam tentang struktur dan kepribadian sangat erat pembahasannya dengan substansi manusia. Substansi jiwa menurut para filosof maupun psikolog Islam terdiri atas tiga bagian yaitu jasmani, rohani dan nafsani atau nafsu. Substansi jasmani berupa organisme fisik manusia ia lebih sempurna dibanding makhluk-makhluk yang lain bersifat lahiriyah yang memiliki unsur-unsur  tanah, udara, api, dan air[19] ia akan hidup jika diberi daya hidup atau al bayah[20].
Substansi ruh adalah substansi yang merupakan kesempurnaan awal. Al Gazali menyebutnya lathifah yang halus dan bersifat ruhani. Ruh sudah ada ketika tubuh belum ada dan tetap ada meskipun jasadnya telah mati. Fathur Rahman menyatakan bahwa ruh adalah amanah, karena itu ia memiliki keunikan dibanding dengan makhluk yang lain. Dengan amanah inilah ia menjadi kalifah di muka bumi[21]. Substansi nafsani berarti jiwa, nyawa atau ruh, konotasinya ialah kepribadian dan substansi psiko fisik manusia. Nafs ini merupakan gabungan dari jasad dan ruh. Karena itu nafs adalah potensi jasadi dan rohani. Ia berupa potensi aktualisasinya akan membentuk suatu kepribadian Muslim yaitu merupakan perpaduan harmonis antara kalbu, akal dan nafsani.
Struktur kepribadian Islam merupakan perpaduan harmonis antara kalbu, akal, dan nafsani.
1.      Al Qalb atau kalbu merupakan materi organik yang memiliki system kognisi yang berdaya emosi. Al Gazali menyatakan bahwa kalbu memiliki insting yang disebut al nur al ilahy dan al bashirah al bathinah (mata batin)[22]. Kalbu dalam arti jasmani adalah jantung (heart) bukan hati (lever). Kalbu dalam artian rohani ialah menunjukan kepada hati nurani (conscience) dan ruh (soul)[23]. Kalbu ini berfungsi sebagai pemandu, pengontrol dan pengendali struktur nafs yang lain. Apabila kalbu ini berfungsi normal maka manusia menjadi baik sesuai dengan fitrah aslinya. Karena kalbu memiliki nature ilahiyah yang dipancarkan dari Tuhan. Ia tidak saja mampu mengenal fisik dan lingkungannya tetapi juga mampu mengenal lingkungan spiritual ketuhanan dan keagamaan
Mengenai kalbu ini Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula, ingatlah bahwa ia adalah kalbu” [24].
Menurut Huzaifah, hati terbagi menjadi empat yaitu hati yang bersih, yaitu (1) hatinya orang beriman dan mendapat sinar (2) hati yang tertutup yaitu hatinya orang kafir, hati yang buta dan tidak melihat kebenaran (3) hati yang terjungkir yaitu hatinya orang munafik yaitu melihat kebenaran tetapi kemudian mengingkarinya (4) hati yang memiliki dua bekal yakni bekal iman dan bekal kemunafikan, ia tergantung dari mana yang paling dominan[25]. Orang yang kalbunya disinari Tuhan maka ia akan memiliki kepribadian yang kuat, teguh dan tidak mudah putus asa. Dan apabila ia memiliki nafsu muthmainah ia akan tenang dan optimis karena ia yakin rahmat Tuhan  pasti akan diberikan.
Agar kalbu selalu mandapat sinar Ilahiyah menurut imam Al Gazali maka harus berilmu dan iradah (kemauan). Dengan ilmu manusia akan mengetahui segala urusan dunia dan akhirat, dan menurut al Gazali kalbu berfungsi untuk memperoleh kebahagiaan akhirat. Secara psikologis kalbu memiliki daya emosi (al infialy) dan kognisi.
2.      Akal secara estimologi memiliki arti al imsak (menahan) al Ribath (ikatan) al Bajr (menahan) al Naby (melarang) dan manin (mencegah)[26].
Berdasarkan makna ini maka yang disebut orang berakal adalah orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya terikat maka rasionalitinya mampu bereksistensi. Dengan akal seseorang mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang menguntungkan dan merugikan. Akal mampu memperoleh pengetahuan dengan daya nalar (al Nazhr) dan daya argumentatif.
Melalui akal manusia bisa bermuhasabah yakni menunda keinginan tidak terburu-buru mengerjakannya sehingga menjadi jelas olehnya kelayakannya untuk dikerjakan atau ditinggalkan.
Menurut al Hasan jika pekerjaan tersebut dimotivasi untuk mengharap ridho Allah maka kerjakanlah, tetapi jika tidak karena Allah lebih baik ditunda dahulu. Dan jika motivasinya untuk memperoleh ridha Allah maka harus berfikir dahulu apakah dalam mengerjakan sesuatu itu ia memperoleh pertolongan atau tidak, jika tidak sebaiknya ditunda terlebih dahulu. Dan apabila sudah mendapat kepastian akan pertolongan Allah maka kerjakanlah sehingga ia akan mendapat keberuntungan.
Muhasabah juga bisa dilakukan setelah selesai mengerjakan sesuatu, yakni apakah yang dikerjakan sudah ikhlas karena Allah, sesuai dengan ketentuan Allah. Apakah waktu mengerjakan lepas kendali atau tidak, bagus akibatnya atau tidak. Dengan muhasabah orang akan selamat dan bisa menjadi lebih baik perilkunya dan kepribadiannya.
Sebagaimana Plato, Al Zukhaily berpendapat bahwa jiwa rasional itu bertempat di kepala sehingga yang berfikir adalah akal bukan kalbu. Antara akal dan kalbu sama sama memperoleh daya kognisi tetapi cara dan hasilnya berbeda. Akal mampu mencapai pengetahuan rasional tetapi tidak yang supra rasional, sehingga ia mampu mencapai kebenaran tetapi tidak mampu merasakan hakekatnya[27]
Menurut Al Gazali agar manusia dapat senantiasa berdekatan dan mendapat nur ilahy maka ia harus berilmu dan mempunyai iradah (kemauan). Dengan ilmu seseorang akan mengetahui segala urusan dunia dan akhirat serta segala sesuatu yang berhubungan dengan akal. Dengan kemauan dan akal seseorang akan mengetahui cara-cara untuk memperbaiki serta mencari sebab sebab yang berhubungan dengan hal itu. Al Gazali berpendapat bahwa orang yang sakit nafsunya selalu menginginkan makanan yang enak[28].
Hal ini memberi pengertian kepada kita bahwa jika orang tersebut sehat maka secara akal berarti semua makanan asalkan sehat dan halal dan toyyiban pasti akan terasa enak (lezat). Dengan demikian nafsu untuk selalu menginginkan hal hal yang enak enak akan dapat dikurangi atau dilawan dengan kondisi sehat.
Al Gazali juga berpendapat bahwa ilmu yang diperoleh dalam hati akan memiliki kekuatan untuk melihat dan dapat membedakan aneka bentuk. Pandangan batin dan pandangan lahir sesungguhnya sama sama memiliki kebenaran, tetapi berbeda derajatnya. Hati laksana pengendara sedang akal laksana kendaraan. Buruknya hati atau pengendara akan lebih membahayakn dari pada buruknya kendaraan itu sendiri. Namun demikian akal tetap diperlukan untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan. Akal yang sehat akan mempengaruhi tindakan dan emosi seseorang juga kepribadiannya.
Akal terbagi menjadi dua yaitu akal dharuri dan akal muktasabah. dharuri yaitu akal yang dapat mengetahui secara mudah. Akal muktasabah ialah akal yang baru mengetahui dengan cara diusahakan, akal muktasabah terbagi dua yaknu muktasabah duniawi ialah akal yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan keduniawiyan. Akal muktasabah ukhrawi yakni akal yang digunakan untuk mencapai akhirat[29].
Secara psikologis orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih dan akal yang sempurna maka ia akan mampu mengaktualisasikan diri dalam hidup dan kehidupan, yakni melihat realitas secara cermat, tepat apa adanya dan lebih efisien[30]. Ia dapat menerima keadaan dirinya dan orang lain secara professional, yakni mengakui segala kelebihan dan keterbatasan masing-masing, dengan demikian ia akan bisa menerima masukan-masukan dari orang lain secara alamiah tanpa paksaan[31]
3.      Nafsani
Nafsu merupakan daya nafsani, ia memiliki dua kekuatan yaitu, al-Ghadhabiyah dan al-Syahwaniyah. Al-Ghadhabiyah adalah suatu daya  yang berpotensi untuk menghindari segala hal yang membahayakan. Ghadab dalam psikoanalisa disebut defenci (pertahanan, pembelaan dan penjagaan), yaitu suatu tindakan untuk melindungi egonya sendiri terhadap kesalahan, kecemasan, dan rasa malu atas perbuatannya sendiri, sedang syahwat dalam psikologi disebut appetite yaitu hasrat atau keinginan atau hawa nafsu, prinsipnya adalah kenikmatan. Apabila keinginannya tidak dipenuhi maka terjadilah ketegangan, prinsip kerjanya adalah sama dengan prinsip kerja binatang, baik binatang buas yang suka menyerang maupun binatang jinak yang cenderung pada nafsu seksual.
Nafsu merupakan struktur di bawah sadar dalam kepribadian manusia, apabila manusia didominasi oleh nafsunya, maka ia tidak akan dapat bereksistensi baik di dunia maupun diakhirat. Karena itu apabila kepribadian seseorang didomonasi oleh nafsu maka prinsip kerjanya adalah mengejar kenikmatan dunia, tetapi apabila nafsu tersebut dibimbing oleh kalbu cahaya ilahi maka ghadabnya akan berubah menjadi kemampuan yang tinggi derajatnya[32]
Jika nafsu tersebut dikuasai oelh cahaya ilahi yang muncul adalah sifat-sifat kebaikan, tetapi jika nafsu itu dikuasai oleh syaitan maka yang muncul adala sifat-sifat syaitaniyah dan ini disebut hati yang sakit ,hati yang  sakit bisa sembu apabila ia kembali kepada cahaya ilahi tetapi akan lebih sakit apabila ia dikuasai oleh nafsu syaitan.
Dalam ilmu jiwa orang yang terganggu mentalnya tidaklah mudah diukur atau diperiksa dengan alat-alat kesehatan, untuk mengetahuinya biasanya hanya bisa dilihat gejalanya seperti tindakannya, tingkah laku dan pikirannya, seperti gelisah, iri hati, sedih yang tidak beralasan, hilangnya rasa kepercayaan diri, pemarah, keras kepala, merosot kecedasannya, suka memfitnah, mengganggu orang lain dan sebagainya.
Kesehatan mental juga berpengaruh terhadap kesehatan badan, akhir-akhir ini dalam ilmu kedokteran ditemukan istilah psychomtic yaitu penyakit yang disebabkan oleh mental, misalnya tekanan darah tinggi, tekanan darh rendah, exceem, sesak nafas, dan sebagainya[33]
Obat dari berbagai penyakit mental dan yang disebabkan oleh mental adalah berfungsinya system kerja yang harmonis antara kalbu, akal, dan nafsu. Dan ini hanya bisa dilakukan melalui latihan-latihan kejiwaan secara terus menerus.
Harmonisnya jiwa memungkinkan seseorang dapat berhubungan secara harmonis ditengah masyarakat. Untuk itu diperlukan The Art of Interction yaitu seni berhubungan yang baik menuju akhlak yang baik, sebagai landasan utama kebahagian umat, akhlak yang baik juga merupakan faktor utama dalam memperbaiki kepribadian seseorang[34]
Dalam ilmu tasawuf jiwa yang bersih dan jiwa kotor termasuk dalam nafsu. Dan mereka membagi nafsu menjadi 3 bagian :
1.           Nafsu amarah, ia senantiasa cenderung maksiat, baik maksiat lahir maupun maksiat bathin. Orang yang didominasi oleh nafsu amarah maka wujud kepribadiannya ialah tamak, serakah, keras kepala, angkuh, dan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji lainnya seperti free sexs, suka berkelahi dan sebagainya.
2.           Nafsu lawamah, ia sudah mendapat nur ilahi dan suka beribadah tetapi masih sering melakukan maksiat bathin kemudian bersegera beristighfar dan berusaha memperbaikinya. Orang yang berkepribadian lawamah maka senantiasa akan mengevaluasi diri (self correction) untuk menjadi lebih baik.
3.           Nafsu muthmainah, suatu kepribadian yang bersumber dari kalbu manusia, di dalamnya selalu terhindar dari sifat-sifat yang tercela dan tumbuh sifat-sifat yang terpuji dan selalu tenang. Kecenderungannya ialah beribadah, mencintai sesama, bertambah tawakal, dan mencari ridho Allah dan bersifat teosentris. Menurut Ibnu Kholdum bahwa ruh kalbu itu disinggahi oleh ruh akal. Ruh akal ini substansinya mampu mengetahui apa saja di alam amar. Ia menjadi tidak mampu mencapai pengetahuan disebabkan adanya hijab, apabila hijab itu hilang maka ia akan mampu menemukan pengetahuan[35]. Bahkan sebagian ahli tasawuf yang lain membagi nafsu menjadi 7 bagian, yaitu : nafsu amarah, nafsu lawamah, nafsu malhamah, nafsu muthmainah, nafsu al rodhiyah, nafsu mardhiyah, dan nafsu kamilah.

D.    Pergulatan Psikologis
Dalam kepribadian manusia terkandung sifat-sifat hewan dan sifat-sifat malaikat yang terkadang timbul pergulatan antara dua aspek kepribadian manusia tersebut. Adakalanya, manusia tertarik oleh kebutuhan dan syahwat tubuhnya, dan adakalanya ia tertarik oleh kebutuhan spiritualnya.
Al-Qur’an mengisyaratkan pergulatan psikologis yang dialami oleh manusia, yakni antara kecenderungan pada kesenangan-kesenangan jasmani dan kecenderungan pada godaan-godaan kehidupan duniawi. Jadi, sangat alamiah bahwa pembawaan manusia tersebut terkandung adanya pergulatan antara kebaikan dan keburukan, antara keutamaan dan kehinaan, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi pergulatan antara aspek material dan aspek spiritual pada manusia tersebut dibutuhkan solusi yang baik, yakni dengan menciptakan keselarasan di antara keduanya.
Disamping itu, Al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa manusia berpotensi positif dan negatif. Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat daripada potensi negatifnya. Hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dibanding daya tarik kebaikan.[36]
Potensi positif dan negatif manusia ini banyak diungkap oleh Al-Qur’an, di antaranya ada dua ayat yang menyebutkan potensi positif manusia, yaitu Surah at-Tin [95] ayat 4:

4.  Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .

Dan Surah al-Isra’ [17] ayat 70:

70.  Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.
[862]  Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.

Di samping itu, banyak juga ayat Al-Qur’an yang mencela manusia dan memberikan cap negatif terhadap manusia. Di antaranya adalah manusia amat aniaya serta mengingkari nikmat (Q.S. Ibrahim [14]: 34) manusia sangat banyak membantah (Q.S. al-Kahfi [18]: 54), dan manusia bersifat keluh kesah lagi kikir (Q.S. al-Ma’arij [70]: 19).[37]
Sebenarnya, dua potensi manusia yang saling bertolak belakang ini diakibatkan oleh perseteruan di antara tiga macam nafsu, yaitu nafsu ammarah bi as-suu’ (jiwa yang selalu menyuruh kepada keburukan), lihat Surah Yusuf [12] ayat 53; nafsu lawwamah (jiwa yang amat mencela), lihat Surah al-Qiyamah [75] ayat 1-2; dan nafsu muthma’innah (jiwa yang tenteram), lihat Surah al-Fajr [89] ayat 27-30.[38] Konsepsi dari ketiga nafsu tersebut merupakan beberapa kondisi yang berbeda yang menjadi sifat suatu jiwa di tengah-tengah pergulatan psikologis antara aspek material dan aspek spiritual.[39]

E.     Pola dan Ciri – Ciri Kepribadian Muslim
Kepribadian merupakan “keniscayaan”, suatu bagian dalam (interior) dari diri kita yang masih perlu digali dan ditemukan agar sampai kepada keyakinan siapakah diri kita yang sesungguhnya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT telah menerangkan model kepribadian manusia yang memiliki keistimewaan dibanding model kepribadian lainnya.
Di antaranya adalah Surah al-Baqarah [2] ayat 1-20. Rangkaian ayat ini menggambarkan tiga model kepribadian manusia, yakni kepribadian orang beriman, kepribadian orang kafir, dan kepribadian orang munafik.[40]
Berikut ini adalah sifat-sifat atau ciri-ciri dari masing-masing tipe kepribadian berdasarkan apa yang dijelaskan dalam rangkaian ayat tersebut, adapun sesuai dengan tema pada kali ini, fokus pada ciri atau sifat kepribadian muslim sesuai Al-Qur'an dan Sunnah, yang merupakan dua pusaka Rasulullah Saw yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Pribadi muslim yang dikehendaki oleh Al- Qur'an dan sunnah adalah pribadi yang shaleh, pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah Swt.  Ada sepuluh profil atau ciri khas yang harus lekat pada pribadi muslim, yaitu:


1.      Salimul Aqidah
Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan- ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: 
@è% ¨bÎ) ÎAŸx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ
'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam' (QS Al-An’am [6] :162). 
2.      Shahihul ‘Ibadah
Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah satu perintah Rasul Saw yang penting, dalam satu haditsnya; beliau menyatakan: 'shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.' Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3.      Matinul Khuluq
Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. 
4.      Qowiyyul Jismi
Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. 
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
'Mu'min yang kuat lebih aku cintai daripada mu'min yang lemah' (HR. Muslim).
5.      Mutsaqaful Fikri
Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful fikri) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan Al-Qur'an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berpikir, dalam firman Allah SWT: 

Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: 'pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: 'Yang lebih dari keperluan.' Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS 2:219).
6.      Mujahadatun Linafsihi
Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatun linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. 
Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya:
Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).

7.      Haritsun 'ala Waqtihi
Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur'an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya. Allah Swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, Yakni 24 jam sehari semalam. 
Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: 'Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu'. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memenej waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. 
Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah: “memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8.      Munazhzhamun fi Syu'unihi
Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur'an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya. 
9.      Qodirun 'alal Kasbi
Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi. 
10.  Naafi'un Lighoirihi
Bermanfaat bagi orang lain (nafi'un lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya.
HR. Bukhari Muslim: "Khoirunnas Anfa 'uhum linnas", yang artinya: sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.[41]

Gambaran manusia mukmin dengan segenap ciri yang terdapat dalam Al-Qur’an ini merupakan gambaran manusia paripurna (insan kamil) dalam kehidupan ini, dalam batas yang mungkin dicapai oleh manusia. Allah menghendaki kita untuk dapat berusaha mewujudkannya dalam diri kita, Rasulullah saw telah membina generasi pertama kaum mukminin atas dasar ciri-ciri tersebut. Beliau berhasil mengubah kepribadian mereka kaum jahilin secara total serta membentuk mereka sebagai mukmin sejati yang mampu mengubah wajah sejarah dengan kekuatan pribadi dan kemuliaan akhlak mereka.[42] Singkatnya, kepribadian orang beriman dapat menjadi teladan bagi orang lain.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kepribadian atau watak, ciri khas atau karakter seseorang yang secara eksis dan terus menerus dipertahankan, meskipun demikian kepribadian bisa berubah ubah sesuai dengan faktor yang mempengaruhi.
Dalam Islam kepribadian Muslim identik dengan akhlak Islam, ia merupakan perpaduan harmonis antara system kalbu, akal dan nafsu yang menimbulkan tingkah laku dan merupakan ciri khas umat Islam. Karena itu ciri khas kepribadian Muslim ialah yang selalu menjaga hatinya untuk taat kepada Allah sehingga senantiasa mendapat sinarnya dan menjauhi segala larangannya yang merupakan kotoran-kotoran manusia.
Struktur kepribadian Muslim meliputi tiga substansi, yaitu jasad atau jasmani, ruh atau ruhani dan nafsani atau jiwa, jiwa itu sendiri terdiri dari kalbu, akal dan nafsu. Sedangkan nafsu terdiri dari nafsu amarah, lawamah dan muthmainah. Semuanya ini merupakan struktur kepribadian Islam, yang jika system kerjanya bagus semua akan membentuk kepribadian kamil atau manusia paripurna yang tenang, selalu berbuat kebaikan, tawakal dan terhindar dari sifat sifat tercela.
Dan ciri – ciri kepribadian muslim ada 10: Aqidah yang bersih, Ibadah yang benar, Akhlak yang kokoh, Kekuatan jasmani, Intelek dalam berpikir, Berjuang melawan hawa nafsu, Pandai menjaga waktu, Teratur dalam suatu urusan, Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri dan Bermanfaat bagi orang lain.
Tetapi kenyataanya sering ada gangguan-gangguan kejiwaan yang dapat menurunkan derajat kepribadianya atau kesehatan mentalnya. Untuk menyembuhkannya harus melalui latihan latihan mental secara terus menerus seperti sabar ,taubat , tawakal, ridha dan sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA

Afifi, AE, Filsafat Mistik Ibnu Arabi, terj Syahrir Mawi dan Nandi Rahman, judul: A Mystical Philosophy of Muhyidin Ibnu Arabi, Jakarta, Media Pratama, 1995
Al Jauriah, Ibnu Qoyyim, Keajaiban Hati, Jakarta, Pustaka Ahzam, 2000
Al Gazali, Imam, Ihya Ulumuddin, Bab Keajaiban Hati, terj. H. Ismail Yakub, Jakarta, Faisan, 1984
Al Gazali, Muhammad, Abu Hamid, Ihya Ulumu al Din, Beirut, Dar a Fikr, 1980
Al Kindi, Al Qaul fi an Nafs dalam Risail al Kindi al Falasifat, TP, TT
Ali Rajab, Mansur, Ta’am Mulat Fi Falsafah al Akhlaq, Mesir, Maktabah al Anjalu al Ibn Kholdum, Abd Rahman, Muqaddimah min Kitab al Ibar wa Diwan al Mubtada’ wa al Khabar fi Ayyam al Arab wa al Ajam wa al Bar bar, Beirut, Dar al Fikr, Mishroyah, 1961
An Nabhani, Syekh Taqiyuddin, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah,  jilid I, TT
Asyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Telaah atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslaw, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002
Bastaman, Djumhana, Hanna, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta , Pustaka Pelajar, 1997
Bukhary, Imam, Shahih al Bukhary Juz I, Semarang, Thaha Putra, TT
De Bali Tj, The History of The Philosophy in Islam, New York, Dowh Publication Inc, 1967
Fauzi, Ahmad, Drs, H, Psikologi Umum, Bandung, Pustaka Setia, 1999
Ibn Abd Allah Muhammad Ibn Ismail Ibn al Mughirah Ibn Bardhahal al ya’fi al
Intan, Ciri – Ciri Pribadi Muslim, dalam http://kmmtp.lifeme.net/t45-ciri-ciri-pribadi-muslim diakses pada: Kamis 03 Nov 2011, Pkl. 22.54 wib
Maisyaroh, Siti, Dalam pengertian kepribadian muslim, http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2191444-pengertian-kepribadian-muslim/ dikases pada: Kamis, 03 Nov 2011. Pkl. 21.13 WIB
Maslaw, Abraham, Motivasi dan Kepribadian, terj Nurul Iman jilid I, Bandung, Pustaka Binaan Pressindo, 1993
Mujib, Abdul, M.Ag, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filasofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung, Tri Genda Karya, 1993
Mujib, Abdul, M.Ag dan Yusuf Mudzakir, M.Si, Nuansa Nuansa Psikologi Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001
Najali, Utsman, Muhammad Dr., Jiwa dalam Pandangan Para Filsafat Muslim, terj. Gari Saloom, S.Psi, Bandung, 2002
Said Basil, Victor, Manhaj al Babs an al Ma’rifah inda al Gazali, Beirut, Dar al Kutub, TT
Sayyid Mujtaba Musafi Hari, Psikologi Islam, Bandung, Pustaka Hidayah, 1990
Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Zakiah Derajat Dr. Kesehatan Mental, Jakarta, Gunung Agung , 1970
Zidadat, Maan, dkk, al Mansu’at al Falasafiyah al Arabiyah, Arab, Imam al Araby, 1986


[1] H. Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, Bandung, Pustaka Setia, 1999, hlm. 133
[2] Ibid, hlm. 132
[3] Dr. Muhammad Utsman Najali, Jiwa dalam Pandangan Para Filsafat Muslim, terj. Gari Saloom, S.Psi, Bandung, 2002, hlm. 16
[4] Lihat Abu Hamid Muhammad Al-Gazali, Ihya Ulumu al Din, Beirut, Dar a Fikr, 1980
[5] Mansur Ali Rajab, Ta’am Mulat Fi Falsafah al Akhlaq, Mesir, Maktabah al Anjalu al Mishroyah, 1961, hlm.13
[6] Syekh Taqiyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah,  jilid I , hlm. 5
[7] Siti Maisyaroh, dalam pengertian kepribadian muslim, http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2191444-pengertian-kepribadian-muslim/ dikases pada: Kamis, 03 Nov 2011. Pkl. 21.13 WIB
[8] Drs. H. Ahmad Fauzi, Psikologi Umum, hlm. 116
[9] Abdul Mujib, M.Ag dan Yusuf Mudzakir, M.Si, Nuansa Nuansa Psikologi Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 58
[10] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 359
[11] Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 186
[12] Abdul Mujib, M.Ag dan Yusuf Mudzakir, M.Si, Nuansa Nuansa Psikologi Islam.., hlm. 59
[13] Al Kindi, Al Qaul fi an Nafs dalam Risail al Kindi al Falasifa, hlm. 274
[14] Ibnu Qoyyim al Jauriah, Keajaiban Hati, Jakarta, Pustaka Ahzam, 2000, hlm. 35
[15] Imam al Gazali, Ihya Ulumuddin,Bab Keajaiban Hati, terj. H. Ismail Yakub, Jakarta, Faisan, 1984, hlm.5
[16] Ibid.., hlm. 142
[17] Abdul Mujib, M.Ag dan Yusuf Mudzakir, M.Si, Nuansa Nuansa Psikologi Islam…, hlm. 57
[18] Ibid.., hlm. 62
[19] Lihat. De Bali Tj, The History of The Philosophy in Islam, New York, Dowh Publication Inc, 1967, hlm. 131
[20] Abdul Mujib, M.Ag, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filasofik dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung, Tri Genda Karya, 1993, hlm. 11
[21] Abdul Mujib, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam.., hlm. 41-45
[22] Victor Said Basil, Manhaj al Babs an al Ma’rifah inda al Gazali, Beirut, Dar al Kutub, hlm. 155
[23] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta , Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 78
[24] Ibn Abd Allah Muhammad Ibn Ismail Ibn al Mughirah Ibn Bardhahal al ya’fi al Bukhary, Imam, Shahih al Bukhary, Semarang, Thaha Putra, TT, Juz I, hlm. 19
[25] Ibnu Qoyyim al Jauriyah.., hlm. 22
[26] Maan Zidadat, dkk, al Mansu’at al Falasafiyah al Arabiyah, Arab, Imam al Araby, 1986, hlm. 465-466
[27] Abdul Mujib, Nuansa Nuansa Psiokologi Islami..., hlm. 55
[28] Imam al Gazali, Ihya Ulumuddin,Bab Keajaiban Hati.., hlm. 20
[29] Ibid.., hlm. 42
[30] Maslaw, Abraham, Motivasi dan Kepribadian, terj Nurul Iman, Bandung, Pustaka Binaan Pressindo, 1993, jilid I, hlm. 6
[31] asyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Telaah atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslaw, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 88
[32] Afifi, AE, Filsafat Mistik Ibnu Arabi, terj Syahrir Mawi dan Nandi Rahman, judul: A Mystical Philosophy of Muhyidin Ibnu Arabi, Jakarta, Media Pratama, 1995, hlm. 176-177
[33] Zakiah Derajat Dr. Kesehatan Mental, Jakarta, Gunung Agung , 1970, hlm. 23
[34] Sayyid Mujtaba Musafi Hari, Psikologi Islam, Bandung, Pustaka Hidayah, 1990, hlm. 17
[35] Lihat Abd Rahman Ibn Kholdum, Muqaddimah min Kitab al Ibar wa Diwan al Mubtada’ wa al Khabar fi Ayyam al Arab wa al Ajam wa al Bar bar, Beirut, Dar al Fikr, TT, hlm. 476
[36] M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hlm. 378
[37] Ibid., hlm. 372.
[38] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 373-374
[39] Ibid., hlm. 377.
[40] Ibid., hlm. 381-382
[41] Intan, Ciri – Ciri Pribadi Muslim, dalam http://kmmtp.lifeme.net/t45-ciri-ciri-pribadi-muslim diakses pada: Kamis 03 Nov 2011, Pkl. 22.54 wib
[42] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an, hlm. 384.

4 komentar:

Komentar baik menunjukkan pribadimu !

Bottom Ad [Post Page]