Full width home advertisement

Travel the world

Climb the mountains

Post Page Advertisement [Top]


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Mengingat kembali sepintas definisi Al Quran secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan". Kata Al Quran adalah bentuk masdar dari kata kerja qara’a yang artinya membaca. Secara termonologi, Al Quran dapat disimpulkan lafad berbahasa arab yang diturunkan
oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mu’jizat yang diwahyukan
kepadanya melalui perantara Malaikat Jibril, diturunkan secara bertahap, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, bernilai ibadah bagi yang membacanya yang mana dimulai dengan surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan surat An-Nash.[1] Dari pengertian ringkas di atas, bahwa Al Quran memiliki keistimewaan sejarah yang luar biasa mulai dari penurunannya sampai ke tangan umat islam.
Akan tetapi masih banyak dari umat islam tidak mengetahui secara paham bagaimana proses penurunan sampai pada ke tangan mereka bahkan yang berkaitan dengan sejarah pengumpulan Al Quran. Mereka acuh tak acuh dengan hal tersebut sehingga ini membawa kebuntuan baginya dalam memahami Al Quran secara komprehensif.
Oleh karenanya, penyaji merasa perlu untuk membahas tema ini, “Pemeliharaan, Pengumpulan dan Rasm Al Quran”. Diharapkan pembahasan ini memberikan perluasan wawasan bagi mahasiswa dalam memahami proses pengumpulan Al Quran sehingga memberikan penjelasan pemahaman yang lebih baik dari sebelumnya.

 
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................               i
KATA PENGANTAR .................................................................................              ii
DAFTAR ISI  ...............................................................................................             iii
BAB I       PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah .......................................................              1
B.     Rumusan Masalah .................................................................              2
C.     Tujuan Masalah .....................................................................              2
BAB II     PEMBAHASAN
A.    Pengumpulan Al Quran.........................................................              3
1.      Masa Rasulullah...............................................................              4
2.      Masa Khalafaur Rasyiddin..............................................              7
B.     Rasm Al Quran .....................................................................            11
C.     Penyempurnaan Mushaf Al Quran........................................            13
BAB III   PENUTUP
A.          Kesimpulan  .......................................................................            15
B.           Saran ..................................................................................            16
DAFTAR  PUSTAKA



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengumpulan Al Quran
Berbagai macam istilah yang digunakan dalam pengumpulan Al Quran. Mengutip Subhi As-Shalih  bahwa penghimpunan al Quran memiliki dua pengertian. Keduanya disebutkan dalam nash. Dalam al Qiyamah 17 Allah berfirman: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penghimpunannya (di dalam dadanya) dan (membuatmu pandai) membacanya. Kata menghimpunnya (jam’ahu) bermakna penghafalannya. Orang-orang yang hafal Al Quran disebut Jumma’aul Qur’an atau Huffadzul Quran. Makna yang lain dari kata penghimpunan (jam’ahu) ialah penulisan yakni penulisan seluuh Al Quran yang memisahkan masing-masing ayat dan surah atau hanya mengatur susunan semua ayat Al Quran saja dan susunan tiap surah di dalam suatu shahifah tersendiri atau mengatur susunan semua ayat dan surah di dalam beberapa shahifah yang kemudian disatukan sehingga menjadi suatu koleksi yang merangkum semua surah yang sebelumnya telah disusun satu demi satu.[1] Sedangkan menurut Taufiki Adnal Amal ialah unit-unit wahyu yang diterima Muhammad pada faktanya dpelihara dari kemusnaha dengan dua cara utama: menyimpannya ke dalam dada manusia atau menghafalkannya dan merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk menulis. Jadi ketika para sarjana muslim berbicara tentang jam’ul quran pada masa Nabi maka yang dimaksudkan dengan ungkapan ini pada dasarnya ialah pengumpulan wahyu yang diterima Nabi melalui kedua cara tersebut baik sebagian maupun seluruhnya.[2] Mengutip Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni yang diterjemahkan Muhammad Qodirun Nur dalam Ikhtisar Ulumul Quran Praktis mengatakan bahwa kata pengumpulan diartikan menghafal dan mengeluarkan dari dada para sahabat. Diartikan pula penulisan atau pencatatan pada shahaif dan daun-daun Dari uraian di atas intinya sama yaitu memiliki dua arti berupa penghafalan dan penulisan.
Kemudian Al Quran sendiri dikumpulkan pada dua masa yaitu masa Rasulullah dan masa khalafaur Rasyidin. Masing-masing tahap pengumpulan memiliki keistimewaan sendiri. Lebih rincinya ada pada pembahasan di bawah ini.
1.      Masa Rasulullah SAW
a.       Pengumpulan Al Quran dalam Dada
Al Quran diturunkan kepada Nabi yang ummiy. Maka Nabi hanya tercurahkan untuk menghafal dan melahirkannya agar ia dapat dihafal sebagaimana diturunkan kepadanya. Lantas beliau membacakannya kepada manusia agar mereka dapat hafal dan melahirkannya (membacakannya).
Usaha keras Nabi untuk mengahfal Al Quran terbukti setiap mala beliau membaca Al Quran dalam salat sebagai ibadah membaca dan merenungkan maknanya. Maka tidak heran jika Rasul menjadi sayyid para huffazh. Hatinya yang mulia itu penuh dengan Al Quran. Beliau menjadi tempat bertanya bagi setiap muslimin yang kesulitan tentang Al Quran. Demikian pula para sahabat. Mereka selalu berlomba-lomba membaca dan mempelajari Al Quran. Mereka mencurahkan segala kemampuan untuk membaca dan menghafalkannya. Mereka mengajarkan kepada isteri dan anak-anak di rumah mereka. Rasul telah mengobarkan api semangat mereka menghafalkan Al Quran. Beliau mengutus orang-orang tertentu untuk mengajar dan membacakan Al Quran kepada penduduk ke pelosok-pelosok. Dengan demikian pada masa ini tidak terhitung jumlah huffazh.[3] Sedangkan para sahabat yang terkenal pandai mengajarkan bacaan Al Quran ialah: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Durba dan Abu Musa al-Asy’ari.[4]
Sungguh merupakan keistimewaan luar biasa bagi umat Muhammad di mana kitab suci ini dapat dihafal dalam dada mereka karena Allah telah menjaganya dengan pertolongan-Nya. Dia memudahkannya untuk dihafal. Dia menjaganya dari kemungkinan perubahan dan pergantian dengan cara menjaganya dalam dada.[5] Firman-Nya:

Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya. (Al-Hirjr: 9)
b.      Pengumpulan Al Quran pada Tulisan
Keistimewaan yang kedua dari Al-Qur'anul Karim ialah pengumpulan dan penulisannya dalam lembaran. Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur'an beliau memerintahkan kepada mereka menulisnya, untuk memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah 'Azza Wa Jalla, sehingga penulisan tesebut dapat melahirkan hafalan dan memperkuat ingatan.
Penulis-penulis tersebut adalah sahabat pilihan yang dipilih oleh Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan indah tulisannya agar mereka dapat mengemban tugas yang mulia ini. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab; Muadz bin Jabal, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin dan Sahabat-sahabat lain.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwasanya ia berkata: "Al-Qur'an dikumpulkan pada masa Rasul SAW oleh 4 (empat) orang yang kesemuanya dari kaum Anshar; Ubay bin Ka'ab, Mu'adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. Anas ditanya: "Siapa ayah Zaid?" Ia menjawab: "Salah seorang pamanku".[6]
Mereka menuliskan Al Quran pada pelepah kurma, pohon, daun, kulit, tulang. Demikian karena alat tulis sulit didapat di negeri Arab. Memang orang-orang Persia dan Romawi punya tetapi jumlahnya sedikit, tidak bisa tersebar luas sehingga orang-orang Arab menulis dengan apa saja yang dapat mereka pergunakan untuk menulis.
Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a., ia berkata:
كنا عند رسول اللة نؤ القران من الرقاع
Artinya: Kami di sisi Rasulullah Saw. mengumpulkan Al Quran dari kulit.
Maksudnya mengumpulkan Al Quran dengan mengurutkan ayat-ayatnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah dan perintah dari Allah SWT. Oleh karenanya para ulama bersepakat bahwa pengumpulan Al Quran adalah bersifat taufiqi.
Telah diceritakan bahwa Jibril turun membawa satu atau beberapa ayat kepada Nabi Saw. Ia berkata kepada beliau; “Hai Muhammad Allah Swt. memerintahkan kepadamu, supaya kamu meletakkan ayat ini dari surat ini.” Demikian pula Rasulullah berkata kepada para sahabat: “Letakkan ayat itu pada tempat ini.”[7]

2.      Masa Khalafaur Rasyidin
a.       Masa Abu Bakar ash-Shiddiq ra
Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah setelah beliau selesai menyampaikan risalah dan amanah, menasehati umat serta memberi petunjuk. pada agama yang lurus. Setelah beliau wafat kekuasaan dipegang oleh Abu Bakar Siddik ra  
Pada masa pemerintahannya Abu Bakar banyak menghadapi malapetaka, berbagai kesulitan dan problem yang rumit, diantaranya memerangi orang-orang yang murtad (keluar dari agama Islam) yang ada di kalangan orang Islam, memerangi pengikut Musailamah al-Kadzdzab.
Peperangan Yamamah adalah suatu peperangan yang amat dahsyat. Banyak kalangan sahabat yang hafal Al-Qur'an dan ahli bacanya mati syahid yang jumlahnya lebih dari 70 orang huffazh ternama. Oleh karenanya kaum muslimin menjadi bingung dan khawatir. Umar sendiri merasa prihatin lalu beliau menemui Abu Bakar yang sedang dalam keadaan sedih dan sakit. Umar mengajukan usul (bermusyawarah dengannya) supaya mengumpulkan Al-Qur'an karena khawatir lenyap dengan banyaknya khufazh yang gugur, Abu Bakar pertama kali merasa ragu.
Setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai-nilai positifnya ia memandang baik untuk menerima usul dari Umar. Dan Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk melaksanakan tugas yang mulia tersebut, ia mengutus Zaid bin Tsabit dan mengajukan persoalannya, serta menyuruhnya agar segera menangani dan mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushhaf. Mula pertama Zaid pun merasa ragu, kemudian iapun dilapangkan Allah dadanya sebagaimana halnya Allah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.
Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam shahihnya tentang kisah pengumpulan ini. Karena pentingnya maka di sini kami menukilnya sebagai berikut:
"Dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata: "Abu Bakar mengirimkan berita kepadaku tentang korban pertempuran Yamamah, setelah orang yang hafal Al-Qur'an sejumlah 70 orang gugur. Kala itu Umar berada di samping Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar mengatakan "Umar telah datang kepadaku dan ia mengatakan: "Sesungguhnya pertumpahan darah pada pertempuran Yamamah banyak mengancam terhadap para penghafal Al-Qur'an. Aku khawatir kalau pembunuhan terhadap para penghafal Al-Qur'an terus-menerus terjadi di setiap pertempuran, akan mengakibatkan banyak Al-Qur'an yang hilang. Saya berpendapat agar anda memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur'an". Aku (Abu Bakar) menjawab: "Bagaimana aku harus melakukan suatu perbuatan sedang Rasul SAW tidak pernah melakukannya?". Umar r.a. menjawab: "Demi Allah perbuatan tersebut adalah baik". Dan ia berulangkali mengucapkannya sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana ia melapangkan dada Umar. Dalam hal itu aku sependapat dengan pendapat Umar.
Zaid berkata: Abu Bakar mengatakan: "Anda adalah seorang pemuda yang tangkas, aku tidak meragukan kemampuan anda. Anda adalah penulis wahyu dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu telitilah Al-Our'an dan kumpulkanlah....!" Zaid menjawab: "Demi Allah andaikata aku dibebani tugas untuk memindahkan gunung tidaklah akan berat bagiku jika dibandingkan dengan tugas yang dibebankan kepadaku ini".
Saya mengatakan: "Bagaimana anda berdua akan melakukan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasululah SAW?". Abu Bakar menjawab: "Demi Allah hal ini adalah baik", dan ia mengulanginya berulangkali sampai aku dilapangkan dada oleh Allah SWT sebagaimana ia telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.
Selanjutnya aku meneliti dan mengumpulkan Al-Qur'an dari kepingan batu, pelepah kurma dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur'an, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At-Taubah dari Abu Khuzaimah Al-Anshary yang tidak terdapat pada lainnya (yaitu): 

Artinya: Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat baginya apa yang kamu rasakan, ia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan) maka katakanlah: Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung. (At-Taubah: 128-129).[8]
Demikianlah kehati-hatian Zaid dalam menghimpun semua ayat Al Quran. Cara Zaid menghimpun Al Quran untuk dapat diterima harus dibuktikan kebenarannya oleh dua kesaksian yaitu melalui hafalan dan tulisan. Mengutip dari Subhi As-Shalih, Ibnu Hajar menafsirkan kalimat dua kesaksian yaitu sebagaimana yang dikatakan Abu Bakar Umar dan Zaid: “Dudukah kalian berdua di pintu masjid (Nabawi). Setiap orang yang datang kepada kalian membawa dua kesaksian mengenai sesuatu dari kitabullah hendaklah kalian tulis. Akan tetapi Jumhurul Ulama berpendapat kesaksian tertulis harus dibawa oleh dua orang yang adil (yakni orang saleh dan jujur). Di samping itu, masih harus ada lagi dua saksi lain yang adil dari kalangan penghafal Al Quran. As-Sakhawi mengatakan dalam Jamalul-Qurra yang dimaksud ialah dua orang saksi itu menyatakan kesaksiannya masing-masing bahwa catatan ayat-ayat itu ditulis di hadapan Rasulullah.
Selanjutnya, pengumpulan ini selesai dilaksanakan dalam satu tahun di mana selesai beberapa waktu menjelang wafatnya Abu Bakar ra. Hasilnya berada di tangan Abu Bakar sampai wafat. Kemudian pindah ke tangan Umar. Setelah itu disimpan Hafsah binti Umar dan bukan kepada Utsman bin Affan.[9]
Mengutip dari bukunya Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, kelebihan mushaf pada masa Abu Bakar diantaranya ialah:
1)      Penelitian yang sangat berhati-hati, detail, cermat dan sempurna.
2)      Yang ditulis pada mushaf hanya ayat yang sudah jelas tidak dinaskh bacaannya.
3)      Telah menjadi ijmak umat secara mutawatir bahwa yang tercatat itu adalah ayat-ayat Al Quran
4)      Mushaf itu memiliki Qiraah Sab’ah yang dinuqil secara sahih.[10]
b.      Masa Utsman bin Affan r.a
Mengutip dari bukunya Subhi as Shalih, Bukhari mengetengahkan Hadis dengan isnadnya Ibnu Syihab bahwa Anas bin malik memberitahukan kepadanya: Ketika pasukan Syam bersama pasukan Irak berperang membela dakwah agama islam di Armenia dan Adzerbeiszan, Hudzaifah bin Yaman datang mengutarakan kekhawatirannya tentang perbedaan bacaan Al Quran di kalangan muslimin. Utsman kemudian mengirim sepucuk surat kepada Hafsah berisi permintaan mengirimkan mushaf untuk disalin menjadi beberapa naskah. Lalu Hafsah mengirimkan mushaf tersebut. Kemudian Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam untuk bekerja sama menyalinnya. Utsman berpesan kalau terjadi perbedaan antara kalian mengenai sesuatu tentang Al quran maka tulislah menurut dialek Quraisy karena Al quran diturunkan dengan bahasa mereka. Setelah itu mushaf asli dikembalikan kepada  Hafsah sedangkan naskah salinan dikirim ke berbagai kawasan Islam. Bersamaan hal tersebut Utsman memerintahkan supaya semua catatan lain yang bertebaran di kalangan muslimin segera dibakar.[11]

B.     Rasm Al Quran
Rasm Al-Qur’an atau adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan sebutan: Rasm Al-Utsmani, Khalifah Usman bin Affan memerintahkan untuk membuat sebuah mushaf Al-Imam, dan membakar semua mushaf selain mushaf Al-Imam ini.[12]
Mushaf ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para Ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi 6, yaitu:
1.      Al-Hadzf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya`nida` dari tanbih , pada lafadzh  dan dari kata na .
2.      Al-Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jma` ( ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas tulisan wawu) ( ).
3.      Al-hamzah, salah satu kaidahnya berbunyi bahwa apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh “i`dzan( ) dan “u`tumin”( ).
4.      Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata , .
5.      Washal dan Fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang diiringi kata ma ditulis dengan disambung ( ).
6.      Kata yang dapat dibaca dua bunyi. Penulis kata yang dapat dibaca dua bunyi disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Di dalam mushaf `Utsmani, menulis kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, misalnya “maliki yaumiddin”( ). Ayat di atas boleh di baca dengan menetapkan alif (yakni di baca dua alif), boleh juga hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif)
Sedangkan mengenai hukum penulisannya, para ulama berbeda pendapat, diantaranya yaitu:
1.      Sebagian ulama berpendapat bahwa Rasm Al-qur’an itu bersifat tauqifi sehingga wajib diikuti oleh siapa saja ketika menulis Al-quran. Untuk menegaskan pendapatnya mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi pernah bersabda Mu’awiyah, salah seorang sekretatarisnya,”Letakkan tinta. Pegang pena baik-baik. Luruskan huruf ba’.bedakan huruf sin. Jangan butakan huruf min. perbaguslah (tulisan) Allah. Panjangkanlah (tulisan) Ar-Rahman dan perbaguslah (tulisan) Ar-RAhim. Lalu letakkan penamu di atas telinga kirimu, karena itu akan memuatmu lebih ingat”. Al-Qattan dalam bukunya berpendapat bahwa tidak ada suatu riwayat dari Nabi yang dijadikan alasan untuk menjadikan Rasm Utsmani sebagai tauqifi. Rasm Utsmani merupakan kreatif panitia yang telah di bentuk Utsman sendiri atas persetujuannya. Jika di antara panitia itu ada berbeda pendapat dalam menulis mushaf, maka hendaknya di tulis dengan lisan Quraisy karena dengan lisan itu Al-Qur’an turun.
2.      Sebagian besar Ulama berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishtilahi) yang di setujui Utsman dan diterima ummat, sehingga wajib di ikuti dan ditaati siapapun ketika menulis Al-Qur`an. Banyak Ulama terkemuka menyatakan perlunya konsistensi menggunakan Rasm Utsmani. Asyhab berkata ketika ditanya tentang penulisan Al-qur`an, apakah perlu menulisnya seperti yang dipakai banyak orang sekarang, Malik menjawab, “Aku tidak berpendapat demikian. Seseorang hendaklah menulisnya sesuai dengan tulisan pertama”. Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, “Haram hukumnya menyalahi khot Utsmani dalam soal wawu, alif, ya` atau huruf lainnya.”
3.      Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara untuk menuliskan Al-qur’an ayng berlainan dengan Rasm Utsmani.[13]
C.    Penyempurnaan Mushaf Al Quran
Salinan mushaf Utsman tidak bersyakal dan bertitik. Cara penulisan demikian membuka kemungkinan terjadinya berbagai macam bacaan di berbagai kota dan daerah yang mempunyai kekhususannya sendiri-sendiri sesuai adat kebiasaan masing-masing.
Kemudian pada tahun 65 H, masa kekhalifahan Abdul Malik beberapa pembesar pemerintahan mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya perubahan nash-nash Al Quran jika penulisan mushaf dibiarkan tanpa syakl dan titik. Akhirnya mulai difikirkan penciptaan tanda-tanda tertentu yang dapat membantu bacaan dengan baik dan benar. Berkenaan dengan itu beberapa sumber riwayat menyebut nama dua orang tokoh yaitu ‘Ubaidillah bin Ziyad dan al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqani. Diriwayatkan’ubaidillah bin Ziyad memberi perintah kepada orang berasal dari Persia untuk menambahkan huruf alif pada dua ribu kata yang mestinya dibaca panjang. Diberitakan pula al Hajjaj bin Yusuf memperbaiki penulisan Al Quran pada sebelas tempat dan setelah diadakan perbaikan ternyata bacaan menjadi jelas dan mudah dipahami maknanya.
Perbaikan bentuk penulisan ini tidak terjadi sekaligus tetapi berangsur-angsur hingga mencapai puncak keindahannya akhir abad ke-3 Hijriah. Ada yang mengatakan Abul Aswad ad-Duali orang yang pertama kali meletakkan kaidah tat bahasa Arab atas perintah ‘Ali bin Abi Thalib. Pendapat lain penemuan akan cara penulisan Al Quran dengan huruf-huruf bertitik merupakan kelanjutan dari kegiatan Abu Aswad ad-Duali.
Sebagian ahli ulama berpendapat orang yang pertama meletakkan tanda baca berupa titik-tik pada mushaf adalah Yahya bin Ya’mar. Sampai saat ini tidak ada bukti kebenarannya kecuali jika yang dimaksud ia mulai meletakkan tanda baca pada mushaf di kota Muruw. Mengenai Nashr bin ‘Ashim al-laitsi tidak mustahil kalau pekerjaannya dalam meletakkan dasar tanda-tanda bacaan Al Quran merupakan kelanjutan dari pekerjaan dua orang gurunya yaitu Abul Aswad dan Ibnu Ya’mar.
Terlepas dari siapa orang yang pertama melakukan penyempurnaan mushaf tersebut ternyata alangkah banyak rintangan yang menghalangi orang kea rah perbaikan tersebut. Sampai akhir abad ke-3 Hijrah para ulama masih berbeda pendapat mengenai penggunaan tanda-tanda titik. Akan tetapi pada zaman berikutnnya, banyak muslimin yang menyukai sesuatu yang dahulunya ditolak dan ditentang tersebut yaitu penggunaan tanda baca titik dan syakl pada penulisan mushaf dengan alasan malah akan mengkhawatirkan terjadinya salah baca pada orang-orang awam yang tidak mengerti jika tanpa dibubuhi tanda baca.[14]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari hasil pembahasan makalah yang ada di atas, dapat di simpilkan bahwa:
1.      Pengumpulan Al Quran terjadi dua periode, yaitu:
a.       Masa Rasulullah di mana pengumpulan melakukan dua metode yang sering disebut pengumpulan Al Quran dalam dada dan pengumpulan dalam tulisan.
b.      Masa Khulafaur Rasyiddin yaitu pada masa Abu Bakar dikarenakan banyaknya huffadzhul Quran yang meninggal dunia dalam perang Yamamah. Kemudia pada masa kekhalifahan Utsman dikarenakan banyaknya dialek dalam membaca Al Quran.
2.      Rasm Al-Qur’an atau adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Sedangkan mengenai hukum penulisannya ada yang berpendapat tauqifi dan adapula bukan tauqifi.
3.      Karena salinan mushaf Utsman tidak bersyakal dan bertitik, membuka kemungkinan terjadinya berbagai macam bacaan di berbagai kota dan daerah yang mempunyai kekhususannya sendiri-sendiri sesuai adat kebiasaan masing-masing. Kemudian pada masa kekhalifahan Abdul Malik mulai difikirkan penciptaan tanda-tanda tertentu yang dapat membantu bacaan dengan baik dan benar.



B.     Saran
Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan baik dari segi isi maupun tata penulisannya. Oleh karenanya, saran dari para pembaca sangat diperlukan demi kesempurnaan makalah selanjutnya.


DAFTAR RUJUKAN

Adnal Amal,Taufik, Rekonstruksi Sejarah Al Quran, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005

Ali Ash-Shabuni, Syekh Muhammad, Muhammad Qodirun Nur (penerj), Ikhtisar Ulumul Quran Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 2001

As Shalih, Subhi, Membahasa Ilmu-Ilmu Al Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004


[1]  Subhi as Shalih, Membahasa Ilmu-Ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 81
[2]  Taufik Adnal Amal, Rekonstruksi Sejarah Al Quran, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), hal. 150
[3] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad Qodirun Nur (penerj), Ikhtisar Ulumul Quran Praktis, (Jakarta; Pustaka Amani, 2001), hal. 73
[4] Subhi as Shalih, Membahasa Ilmu-Ilmu…, hal. 85
[5] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad Qodirun Nur (penerj), Ikhtisar Ulumul…, hal.77
[7] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad Qodirun Nur (penerj), Ikhtisar Ulumul…, hal. 80
[10] Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Muhammad Qodirun Nur (penerj), Ikhtisar Ulumul…, hal. 86
[11] Subhi as Shalih, Membahasa Ilmu-Ilmu…, hal. 99
[14] Subhi as Shalih, Membahasa Ilmu-Ilmu…, hal.115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar baik menunjukkan pribadimu !

Bottom Ad [Post Page]