Full width home advertisement

Travel the world

Climb the mountains

Post Page Advertisement [Top]



Pentingnya Sebuah Keputusan:
Tel’ah al-Qur'an Surah Ali 'Imran: 159

Oleh: Afiful Ikhwan[*]


A.     Peradaban Islam dalam Pengambilan Keputusan



"Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah- lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (Q.S Al-Imran: 159)

Asbabun-Nuzul Pada waktu kaum muslimin mendapat kemenangan dalam perang Badar, banyak kalangan musyrik yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah ini Rasulullah mengajak sahabatnya berunding. Rasulullah memanggil Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Keduanya dimintai pendapat masing- masing.

Abu Bakar yang pertama kali diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya berkata, "Sebaiknya tawanan perang ini dikembalikan kepada keluarganya dengan membayar tebusan." Yang demikian ini, menurut pendapat Abu Bakar, supaya diketahui bahwa Islam itu lunak, apalagi kehadiran Islam masih sangat dini.

Berbeda halnya dengan Umar bin Khatthab, ia berpendapat tawanan perang ini dibunuh saja semuanya. Bahkan yang diperintahkan membunuh adalah keluarga mereka sendiri. Maksud Umar agar mereka tahu bahwa bahwa Islam itu kuat, sehingga mereka tidak berani lagi menghina dan mencaci-maki Islam.


Dari dua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah kesulitan mengambil keputusan. Akhirnya Allah menurunkan ayat ini, yang intinya menegaskan kepada Rasulullah untuk bersikap lemah-lembut. Jika Rasulullah berkeras hati, maka mereka tidak akan bersimpati kepada Islam, bahkan akan lari dari ajaran Islam.

Pada intinya, ayat ini mendukung pendapatnya Abu Bakar dan menolak pandangan Umar. Di sisi lain ayat ini juga memberi pelajaran kepada Umar --juga semua kaum muslimin-- bila musyawarah sudah memutuskan suatu perkara, maka hendaknya dipatuhi, walaupun keputusan itu bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Keputusan musyawarah harus diterima dengan tawakkal kepada Allah swt, sebab Allah mencintai orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Dengan turunnya ayat di atas maka seluruh tawanan perang Badar dibebaskan sebagaimana saran Abu Bakar.

B.     Kelembutan Dakwah Islam oleh Rasulullah SAW

Kelembutan Rasulullah. Sebagai Uswatun Hasanah, segala sifat dan pribadi Rasul sangatlah mulia. Tiada cacat dan cela. Utamanya dalam akhlaq dan pekertinya, yang sudah dijamin Allah swt.


"Dan Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam: 4)

Salah satu pekerti luhur Rasulullah adalah kelembutannya kepada semua ummatnya. Tidak peduli kepada yang masih membangkang dan melawan maupun kepada yang taat dalam barisan Islam. Semua orang dihadapinya dengan sikap lemah-lembut tapi penuh wibawa dan kharisma. Itulah pembawaan Rasulullah yang agung dan mulia.

Ath-Thabrani meriwayatkan hadits dari Abu Umamah, ia berkata, "Ada seorang wanita yang suka bicara jorok dan kotor kepada para lelaki. Suatu saat wanita yang buruk perangainya ini lewat di depan Nabi sambil memakan roti yang sudah dimasak dalam kuah. Wanita tersebut mulai mengomel, 'Lihatlah kepadanya (Rasulullah). Ia duduk sebagaimana seorang budak sedang duduk. Ia makan sebagaimana budak sedang makan.'

Rasulullah menjawab, 'Budak manakah yang lebih budak daripada diriku ini?' 'Ia makan dan tidak membagikannya untukku,' wanita itu terus mengomel. 'Makanlah ...' Sela Rasulullah 'Berikan makanan itu dengan tanganmu sendiri,' kata wanita tersebut. Beliau kemudian memberinya. 'Berikan kepadaku semua yang ada padamu,' katanya sekali lagi. Atas permintaan ini Rasulullah menuruti maunya. Wanita itu kemudian makan, tetapi lama-kelamaan malu juga ia dengan sendirinya. Setelah peristiwa ini, si wanita tidak pernah berkata kasar kepada siapapun sampai ajal menjemputnya.

Kelembutan Rasulullah dalam menghadapi ummatnya sungguh sangat sempurna sehingga beliau tidak pernah marah, apalagi berlaku kasar kepada siapapun, kecuali mendapati aturan Allah dilanggar secara nyata. Caci-maki, penghinaan, dan pelecehan atas dirinya biasa ditanggapi dengan senyuman. Maafnya lebih lapang dari marahnya.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani (Bukhari dan Muslim) dari Anas bin Malik bahwa ada seorang wanita datang kepada Rasulullah sambil membawa daging domba yang dicampuri racun. Beliau memakan sebagian daging tersebut. Setelah itu wanita tersebut didatangkan lagi kepada Rasul dan ditanya tentang daging yang disuguhkannya. Ia menjawab, "Aku bermaksud membunuhmu."

Para sahabat bertanya kepada Rasulullah, "Apakah engkau tidak membunuhnya?" Rasulullah menjawab, "Tidak." Inilah kepribadian sempurna Rasulullah. Kepada orang yang sudah mengancan nyawanya sekalipun, ia tetap santun dan memberi maaf. Tidak ada dendam. Tidak ada sikap bermusuhan.

Jika kepada orang lain Rasulullah bisa berbuat santun seperti di atas, apalagi kepada keluarganya sendiri. Ia sangat lembut kepada istrinya, putri dan cucu-cucunya. 'Aisyah menceritakan kisahnya ketika hendak memasak buat suaminya, Muhammad saw. Akan tetapi nampaknya ia kalah cepat dengan Hafshah, istri lainnya. Karena cemburu ia memerintahkan kepada budaknya untuk menumpahkan mangkuk Hafshah.

Kata 'Aisyah selanjutnya, "Ketika hafshah hendak meletakkan mangkoknya di tangan Rasul, budak yang kusuruh segera menumpahkan mangkok sehingga makanan di dalamnya berserakan di tanah. Beliau mengumpulkan makanan yang berserakan di tanah, lalu merekapun makan bersama. Aku bangkit menyodorkan mangkokku, lalu disodorkan Nabi kepada Hafshah seraya berkata, 'Ambillah satu bejana untuk digantikan dengan bejanamu, lalu makanlah apa yang ada di dalamnya.'"

'Aisyah kemudian berkomentar, "Aku tidak melihat sesuatu yang ganjil di wajah
Rasulullah saw karena peristiwa itu."

Rasululah tidak hanya lembut kepada para wanita, juga kepada anggota keluarganya. Kepada siapapun ia santun. Tak peduli yang dihadapinya adalah orang yang kasar bahkan sangat membahayakan keselamatan hidupnya.

Alat dakwah. Nampaknya Rasulullah telah mampu menjadikan kelembutan sebagai alat dakwah. Banyak orang yang pada mulanya memusuhi, bahkan pada tingkatan hendak membunuhnya, berubah arah menjadi pendukung setia. Justru di puncak kebencian dan permusuhannya, mereka berbalik menjadi pengikut setelah mengetahui kelembutan dan kemaafan Rasulullah.

Da'tsur adalah salah satu di antara sederet orang yang hendak membunuhnya. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, Da'tsur membuntuti dari dekat. Beberapa kali ia berusaha mengayunkan pedangnya kepada Rasulullah yang sudah berada pada jangkauannya. Akan tetapi Allah menyelamatkan Muhammad dan menggelincirkan Da'tsur. Setiap kali tergelincir Rasulullah menolongnya, tapi setelah mendapat pertolongan Da'tsur bukannya berterima kasih, bahkan justru meneruskan niat jahatnya. Sampai pada kali yang ketiga Da'tsur benar-benar menyerah.

Meskipun Rasulullah sanggup membalas, hal itu tidak dilakukannya. Justru sebaliknya ia memberikan pertolongan seperlunya, kemudian memaafkannya. Da'tsur diperintahkan kembali kepada kaumnya. Ternyata perbuatan Rasulullah ini tidak sia-sia. Di tengah kaumnya Da'tsur banyak bercerita tentang kepribadian agung Rasulullah. Ini adalah promosi gratis yang sangat efektif. Itulah sebenarnya hakekat dakwah.

Dakwah melalui tindakan nyata seperti ini hasilnya lebih efektif dan mengena. Apalagi di jaman sekarang, masyarakat butuh figur yang bisa diteladani. Ummat membutuhkan orang yang tidak hanya pandai bicara dan ceramah di podium. Mereka butuh teladan dan panutan. Krisis figur itu pula yang melanda jaman jahiliyah di awal kedatangan Islam.

Nabi Muhammad tampil dengan pribadi dan akhlaq yang memikat di tengah ummatnya. Meskipun pada permukaannya mereka memusuhi, tapi hati nuraninya sebenarnya mengakui. Orang- orang yang memusuhi Muhammad itu pada dasarnya adalah memusuhi diri mereka sendiri, sebab hati nurani mereka sebenarnya memihak dan bersimpati kepada Muhammad.

Tidak ada alasan untuk memusuhi Muhammad, sebab beliau tidak pernah memusuhi orang, tidak pernah menyakiti hati orang, tidak sombong, jujur dan amanah. Ia juga suka memberi maaf dan berlemah-lembut kepada sesama. Itulah sebabnya setiap kali ada orang yang berniat jelek kepada Muhammad, pasti ada di antara kelompok mereka sendiri yang tampil menentangnya.

Amar ma'ruf dengan kelembutan. Imam Al-Ghazali mencatat kisah menarik dalam kitab Ihya 'Ulumuddin. Dalam buku itu dikisahkan, ada seorang laki-laki
menghadap kepada Khalifah Al-Ma'mun untuk beramar ma'ruf dan nahi munkar dengan cara dan bahasa yang kasar. Ia berkata kepada Khalifah, "Wahai orang yang zhalim... Wahai orang yang durhaka..."

Untungnya yang dikasari ini Khalifah Al-Ma'mun yang dikenal 'alim dan penyantun, sehingga orang tersebut tidak mendapat sanksi apa-apa. Andaikata Al-Ma'mun seorang penguasa yang kasar, bisa jadi orang tersebut dikenai pasal subversif, karena bisa dianggap merongrong kewibawaan kepala negara.

Kepada da'i yang kasar itu Al-Ma'mun berpesan, "Wahai fulan, berkata lembutlah, karena Allah telah mengutus orang yang lebih baik daripada kamu kepada orang yang lebih buruk daripada aku. Akan tetapi perintah Allah kepada utusan ini adalah agar ia bersikap lemah-lembut. Utusan itu adalah Nabi Musa dan Harun. Keduanya lebih baik dari pada kamu. Adapun orang yang diseru kepada kebenaran itu adalah Fir'aun, yang lebih jelek daripada aku."

Kepada Musa dan harun Allah berfirman:



"Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah mudahan ia ingat atau takut." (QS. Thaha: 42-44)

Dalam ayat ini diguakan haruf tarajji', pengharapan (la'alla), yang artinya 'mudah-mudahan'. Hal ini memberi penekanan bahwa meskipun yang dihadapi sosok manusia super durhaka model Fir'aun, juru dakwah tidak boleh pesimis, apalagi berputus asa. Juru dakwah harus tetap yakin akan keberhasilan dakwahnya. Adapun bila kemudian mereka tetap tidak sadar, maka urusannya dikembalikan kepada Allah SWT. Dia-lah yang paling berkompeten dalam urusan hidayah.

"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al-Qashash: 56)


[*] Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana S3 Program Doktor MPI di UIN Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar baik menunjukkan pribadimu !

Bottom Ad [Post Page]