Full width home advertisement

Travel the world

Climb the mountains

Post Page Advertisement [Top]



(Sewa Menyewa dan Upah Mengupah)

Sebelum dijelaskan pengertian sewa menyewa dan upah atau ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqih syafi’I berpendapat ijarah berarti upah mengupah.[1] Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah dan yang menerima upah), sedang kan Nor Hasanuddin sebagai penerjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa menyewa.[2]
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab kedalam bahasa Indonesia. Antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti “seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat tinggal selama kuliah”, sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti “para karyawan bekerja dipabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu”.
Secara etimologis al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh yang arti dalam bahasa indonesianya adalah ganti dan upah. Sedangkan menurut Rahmat Syafi’I dalam fiqih Muamalah ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfaat).[3]
Dalam syari’at Islam ijarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.[4] Sedangkan menurut Sulaiman Rasjid mempersewakan ialah akad atas manfaat (jasa) yang dimaksud lagi diketahui, dengan tukaran yang diketahui, menurut syarat-syarat yang akan dijelaskan kemudian.[5]
Berdasarkan hal itu, menyewakan pohon agar dimanfaatkan buahnya hukumnya tidak sah karena pohon itu sendiri bukan keuntungan atau manfaat. Demikian juga menyewakan dua jenis mata uang (emas dan perak), makanan untuk dimakan, barang yang dapat ditakar dan ditimbang. Alasannya semua jenis barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan mengkonsumsi bagian dari barang tersebut. Hukum sewa juga diberlakukan atas sapi, domba atau unta untuk diambil susunya. Akad sewa mengharuskan penggunaan manfaat dan bukan barang itu sendiri.
Suatu manfaat, terkadang berbentuk manfaat atas barang, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Kadangkala dalam bentuk karya seperti karya seorang arsitek, tukang tenun, penjahit.
Apabila akad sewa diputuskan, penyewa sudah memliki hak atas manfaat dan pihak yang menyewakan berhak mengambil kompensasi sebab sewa adalah akad mu’awwadhah timbal balik.[6]
Sedangkan menurut istilah, para ulama’ berbeda-beda mendefinisikan ijarah antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Menurut Hanafiyah
عقد يفيد تمليك منفعة معلومة مقصودة من العين المستأجرة بعوض
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.”
  1. Menurut Malikiyah
تسمية التعاقد على منفعة الآدمي و بعض المنقولان
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.” [7]
  1. Menurut Syafi’iyah
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة قابلة للبذل والإباحة بعوض معلوم
Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”[8]


  1. Menurut Idris Ahmad
Bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.[9]
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa menyewa dan upah mengupah, sewa menyewa adalah:
بيع المنفعة : “menjual manfaat”
Dan upah mengupah adalah:
بيع القوة  : “menjual tenaga atau kekuatan.”

Daftar Pustaka

Ahmad, Idris, 1986. Fiqh al-Syafi’iyah,Jakarta: Karya Indah
Al-Jaziri, Abd. Al-Rahman, 1969. Fiqh ‘Ala madzahibil Arba’ah Juz III, Mesir: Maktabah Tijariyah al-Kubro

Asy-Sarbini, Muhammad, Mughni al-Muhtaj Juz II

Rasjid, Sulaiman, 1994. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo

Sabiq, Sayyid, 2004. Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin, Jakarta: Pena Pundi Aksara

Syafi’I, Rahmat, 2004.  Fiqh Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia






[1] Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah (Jakarta: Karya Indah. 1986) h. 139
[2] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terjemah Nor Hasanuddin (Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2004) h. 203
[3] Rahmat Syafi’I,  Fiqh Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia. 2004) h. 121
[4] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah ……, h.203
[5] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1994) h. 303
[6] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah ……, h.203
[7] Abd. Al-Rahman al-Jaziri, Fiqh ‘Ala madzahibil Arba’ah Juz III (Mesir: Maktabah Tijariyah al-Kubro. 1969) h. 94-97
[8] Muhammad Asy-Sarbini, Mughni al-Muhtaj Juz II , H. 332
[9] Idris Ahmad, Fiqh Syafi’iyah……., h. 139

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar baik menunjukkan pribadimu !

Bottom Ad [Post Page]