A. Penjelasan
Allah SWT melalui ketiga ayat tersebut --yang
kesemuanya termaktub dalam surat an-Nisa'-- menegaskan dan merinci nashih
(bagian) setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Ayat-ayat tersebut
juga dengan gamblang menjelaskan dan merinci syarat-syarat serta keadaan orang
yang berhak mendapatkan warisan dan orang-orang yang tidak berhak
mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskan keadaan setiap ahli waris, kapan ia
menerima bagiannya secara "tertentu", dan kapan pula ia menerimanya
secara 'ashabah.
Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut
merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan dan tata cara yang
berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Oleh sebab itu, orang
yang dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih mudah
mengetahui bagian setiap ahli waris, sekaligus mengenali hikmah Allah Yang Maha
Bijaksana itu.
Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan
mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan
sempurna Dia menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh
kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan
keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka,
menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya
pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan
bahwa ketiga ayat tersebut merupakan salah satu rukun agama, penguat hukum, dan
induk ayat-ayat Ilahi. Oleh karenanya faraid memiliki martabat yang sangat
agung, hingga kedudukannya menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits
berikut, dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah
kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang lain.
Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna
hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih
dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati
orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. " (HR Daruquthni)
Lebih jauh Imam Qurthubi mengatakan,
"Apabila kita telah mengetahui hakikat ilmu ini, maka betapa tinggi dan
agung penguasaan para sahabat tentang masalah faraid ini. Sungguh mengagumkan
pandangan mereka mengenai ilmu waris ini. Meskipun demikian, sangat disayangkan
kebanyakan manusia (terutama pada masa kini) mengabaikan dan melecehkannya."
Perlu kita ketahui bahwa semua kitab tentang
waris yang disusun dan ditulis oleh para ulama merupakan penjelasan dan
penjabaran dari apa yang terkandung dalam ketiga ayat tersebut. Yakni
penjabaran kandungan ayat yang bagi kita sudah sangat jelas: membagi dan adil.
Maha Suci Allah Yang Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum dan syariat-Nya.
Di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya
dalam hati, adakah ayat lain yang berkenaan dengan waris selain dari ketiga
ayat tersebut?
Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat
yang menyebutkan masalah hak waris bagi para kerabat (nasab), akan tetapi
tentang besar-kecilnya hak waris yang mesti diterima mereka tidak dijelaskan
secara rinci. Di antaranya adalah firman Allah berikut:
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu." (al-Anfal: 75)
"... Dan orang-orang yang mempunyai
hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab
Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu
mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu
telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)
Itulah ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan
dengan masalah hak waris, selain dari ketiga ayat yang saya sebutkan pada awal
pembahasan.
Pada ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan
al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk
mendapatkan bagian dibandingkan lainnya yang bukan kerabat atau tidak mempunyai
tali kekerabatan dengannya. Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya
dan kaum Muhajirin.
Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya
Islam, bahwa pada masa itu kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing
disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh Rasulullah saw.,
seperti kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum
Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang
senasab tidak mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam
menjadi agama yang kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan
ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah begitu mengakar dalam hati
setiap muslim. Maka setelah peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah
me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan
persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan kekerabatan.
Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT
dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis
manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni keduanya dengan
rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan
hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya
memberikan hak waris secara imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang
besar, laki-laki ataupun wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang
banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak
waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab.
Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum
muslim yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat tersebut
tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah besar-kecilnya hak waris
para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut mujmal
(global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya nukilkan terdahulu
(an-Nisa': 11-12 dan 176).
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan[1];
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[2],
Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S an-Nisa’ : 11)
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta
yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika
Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris)[3].
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Q.S an-Nisa’
: 12)
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[4].
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara
laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S an-Nisa’ : 176)
Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut,
mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum
laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih
banyak membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga sangat
membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu saya
utarakan beberapa hikmah adanya syariat yang telah Allah tetapkan bagi kaum
muslim, di antaranya sebagai berikut:
- Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
- Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
- Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak dibandingkan kaum wanita.
- Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan papan.
- Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak
hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian antara kaum laki-laki --dua
kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau saja tidak karena rasa takut
membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmah tersebut sebanyak
mungkin. Secara logika, siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar --hingga
harus mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang lebih berhak
untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum Islam telah
menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada
bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat dan
keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa yang
digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru
lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak dibandingkan kaum laki-laki.
Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya kaum
laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung
nafkah keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris,
tetapi tidak memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita
untuk membelanjakan harta miliknya meski sedikit, baik untuk keperluan dirinya
atau keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya. Ketentuan
ini tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan.
Sebab, suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan
keluarganya, khususnya dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
"... Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)
Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut
perlu saya ketengahkan satu contoh kasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan
hukum-hukum-Nya akan terasa lebih jelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini
ialah tentang pembagian hak kaum laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari
bagian kaum wanita.
Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang
anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Ternyata orang tersebut meninggalkan
harta, misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka, menurut ketetapan syariat Islam,
laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak perempuan mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila anak laki-laki tersebut telah dewasa
dan layak untuk menikah, maka ia berkewajiban untuk membayar mahar dan semua
keperluan pesta pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan semua pembiayaan
keperluan pesta pernikahan itu sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian, uang yang
ia terima dari warisan orang tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah menikah ia
mempunyai beban tanggung jawab memberi nafkah istrinya.
Adapun anak perempuan, apabila ia telah dewasa
dan layak untuk berumah tangga, dialah yang mendapatkan mahar dari calon
suaminya. Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp 1 juta. Maka anak perempuan
itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta (satu juta dari harta warisan dan
satu juta lagi dari mahar pemberian calon suaminya). Sementara itu, sebagai
istri ia tidak dibebani tanggung jawab untuk membiayai kebutuhan nafkah rumah
tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang banyak dan hidup dalam kemewahan.
Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang berkewajiban memberi nafkah istrinya,
baik berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan anak perempuan
semakin bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.
Dalam keadaan seperti ini manakah di antara
kaum laki-laki dan kaum wanita yang lebih banyak menikmati harta dan lebih
berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah wanita? Inilah logika keadilan dalam
agama, sehingga pembagian hak laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada hak
kaum wanita.
B. Hak Waris Kaum
Wanita sebelum Islam
Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali
tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua
ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang
membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan,
"Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada
orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu memanggul
senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Mereka mengharamkan
kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya kepada
anak-anak kecil.
Sangat jelas bagi kita bahwa sebelum Islam
datang bangsa Arab memperlakukan kaum wanita secara zalim. Mereka tidak
memberikan hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta
peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka. Barulah setelah Islam datang
ada ketetapan syariat yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan
kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan.
Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan
menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya
sebagai keharusan yang tidak dapat diubah.
Ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw.
--berupa ayat-ayat tentang waris-- kalangan bangsa Arab pada saat itu merasa
tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang
tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan
mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan
dengan kebiasaan dan adat yang telah lama mereka amalkan sebagai ajaran dari
nenek moyang.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah
kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas r.a.. Ia berkata: "Ketika
ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan Allah kepada RasulNya
--yang mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita,
anak-anak, kedua orang tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa
kurang senang terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada keheranan sambil
mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada kaum
wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagian
harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan?
Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan
musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak
perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja Rasulullah melalaikan dan
mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk
mengubahnya.' Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai
Rasulullah, haruskah kami memberikan warisan kepada anak kecil yang masih
ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah
kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak
dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan
musuh?'"
Inilah salah satu bentuk nyata ajaran syariat
Islam dalam menyantuni kaum wanita; Islam telah mampu melepaskan kaum wanita
dari kungkungan kezaliman zaman. Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita
yang sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka
sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan bagian
warisannya). Kendatipun demikian, dewasa ini masih saja kita jumpai pemikiran
yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang berhati buruk.
Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita dalam hal hak waris,
karena hanya memberikan separo dari hak kaum laki-laki.
Anggapan mereka semata-mata dimaksudkan untuk
memperdaya kaum wanita tentang hak yang mereka terima. Mereka berpura-pura akan
menghilangkan kezaliman yang menimpa kaum wanita dengan cara menyamakan hak
kaum wanita dengan hak kaum laki-laki dalam hal penerimaan warisan.
Mereka yang memiliki anggapan demikian sama
halnya menghasut kaum wanita agar mereka menjadi pembangkang dan pemberontak
dengan menolak ajaran dan aturan hukum dalam syariat Islam. Sehingga pada
akhirnya kaum wanita akan menuntut persamaan hak penerimaan warisan yang sama
dan seimbang dengan kaum laki-laki.
Yang sangat mengherankan dan sulit dicerna akal
sehat ialah bahwa mereka yang berpura-pura prihatin tentang hak waris kaum
wanita, justru mereka sendiri sangat bakhil terhadap kaum wanita dalam hal
memberi nafkah. Subhanallah! Sebagai bukti, mereka bahkan menyuruh kaum wanita
untuk bekerja demi menghidupi diri mereka, di antara mereka bekerja di ladang,
di kantor, di tempat hiburan, bar, kelab malam, dan sebagainya.
Corak pemikiran seperti ini dapat dipastikan
merupakan hembusan dari Barat yang banyak diikuti oleh orang-orang yang
teperdaya oleh kedustaan mereka. Kultur seperti itu tidak menghormati kaum
wanita, bahkan tidak menempatkan mereka pada timbangan yang adil. Budaya mereka
memandang kaum wanita tidak lebih sebagai pemuas syahwat. Mereka sangat bakhil
dalam memberikan nafkah kepada kaum wanita, dan mengharamkan wanita untuk
mengatur harta miliknya sendiri, kecuali dengan seizin kaum laki-laki
(suaminya). Lebih dari itu, budaya mereka mengharuskan kaum wanita bekerja guna
membiayai hidupnya. Kendatipun telah nyata demikian, mereka masih menuduh bahwa
Islam telah menzalimi dan membekukan hak wanita.
C. Asbabun Nuzul
Ayat-ayat Waris
Banyak riwayat yang mengisahkan tentang sebab
turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah
saw. dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai
Rasulullah, kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal
sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah
mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit
pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Semoga
Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris
yaitu surat an-Nisa': 11.
Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang
kepada paman kedua putri Sa'ad dan memerintahkan kepadanya agar memberikan dua
per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu mereka
(istri Sa'ad) mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara
kandung Sa'ad.
Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam
ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin Tsabit wafat dan meninggalkan
seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun, seluruh harta peninggalan
Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya.
Ummu Kahhah (istri Abdurrahman) lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw.,
maka turunlah ayat waris sebagai jawaban persoalan itu.
Masih ada sederetan riwayat sahih yang
mengisahkan tentang sebab turunnya ayat waris ini. Semua riwayat tersebut tidak
ada yang menyimpang dari inti permasalahan, artinya bahwa turunnya ayat waris
sebagai penjelasan dan ketetapan Allah disebabkan pada waktu itu kaum wanita
tidak mendapat bagian harta warisan.
D. Kajian terhadap
Ayat-ayat Waris
Pertama:
Firman Allah yang artinya "bagian seorang
anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan," menunjukkan
hukum-hukum sebagai berikut:
- Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian.
- Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.
- Apabila bersama anak (sebagai ahli waris) ada juga ashhabul furudh, seperti suami atau istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah ashhabul furudh. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada dibagikan kepada anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak perempuan satu bagian.
- Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebut mewarisi seluruh harta peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secara sharih (tegas) menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat yang dikutip sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat (artinya) "jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta". Dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.
- Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian mereka sama seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup keturunan anak kandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.
Kedua:
Hukum bagian kedua orang tua. Firman Allah
(artinya): "Dan untuk dua orang ibu-hapak, bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam." Penggalan ayat ini menunjukkan
hukum-hukum sebagai berikut:
- Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yang meninggal mempunyai keturunan.
- Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan bagian ayah.
- Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau lebih), maka ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah mendapatkan lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika misalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaris terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih) ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung pewaris ibu hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya hajib tersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan mereka, dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi, kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu, yang memang tidak memiliki kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.
Ketiga:
Utang orang yang meninggal lebih didahulukan
daripada wasiat. Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya." Secara zhahir wasiat harus
didahulukan ketimbang membayar utang orang yang meninggal. Namun, secara
hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu ditunaikan. Jadi, utang-utang
pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian barulah melaksanakan wasiat bila
memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang diamalkan Rasulullah saw..
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib:
"Sesungguhnya kalian telah membaca firman Allah [tulisan Arab] dan
Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan utang-utang orang yang meninggal,
lalu barulah melaksanakan wasiatnya."
Hikmah mendahulukan pembayaran utang
dibandingkan melaksanakan wasiat adalah karena utang merupakan keharusan yang
tetap ada pada pundak orang yang utang, baik ketika ia masih hidup ataupun
sesudah mati. Selain itu, utang tersebut akan tetap dituntut oleh orang yang
mempiutanginya, sehingga bila yang berutang meninggal, yang mempiutangi akan
menuntut para ahli warisnya.
Sedangkan wasiat hanyalah suatu amalan sunnah
yang dianjurkan, kalaupun tidak ditunaikan tidak akan ada orang yang
menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak melecehkan wasiat dan jiwa
manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli waris), maka Allah SWT
mendahulukan penyebutannya.
Keempat:
Firman Allah (artinya) "orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu." Penggalan ayat ini dengan tegas memberi
isyarat bahwa Allah yang berkompeten dan paling berhak untuk mengatur pembagian
harta warisan. Hal ini tidak diserahkan kepada manusia, siapa pun orangnya,
cara ataupun aturan pembagiannya, karena bagaimanapun bentuk usaha manusia
untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu melaksanakannya secara sempurna.
Bahkan tidak akan dapat merealisasikan pembagian yang adil seperti yang telah
ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.
Manusia tidak akan tahu manakah di antara orang
tua dan anak yang lebih dekat atau lebih besar kemanfaatannya terhadap
seseorang, tetapi Allah, Maha Suci Dzat-Nya, Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. Pembagian yang ditentukan-Nya pasti adil. Bila demikian, siapakah
yang dapat membuat aturan dan undang-undang yang lebih baik, lebih adil, dan
lebih relevan bagi umat manusia dan kemanusiaan selain Allah?
Kelima:
Firman Allah (artinya) "Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
utang-utangmu." Penggalan ayat tersebut menjelaskan tentang hukum waris
bagi suami dan istri. Bagi suami atau istri masing-masing mempunyai dua cara
pembagian.
Bagian suami:
- Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.
- Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.
Bagian istri:
- Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan), maka bagian istri adalah seperempat.
- Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), maka istri mendapat bagian seperdelapan.
Keenam:
Hukum yang berkenaan dengan hak waris saudara
laki-laki atau saudara perempuan seibu. Firman-Nya (artinya): "Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah
dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak
memberi mudarat (kepada ahli waris). "
Yang dimaksud ikhwah (saudara) dalam penggalan
ayat ini (an-Nisa': 12) adalah saudara laki-laki atau saudara perempuan
"seibu lain ayah". Jadi, tidak mencakup saudara kandung dan tidak
pula saudara laki-laki atau saudara perempuan "seayah lain ibu".
Pengertian inilah yang disepakati oleh ulama.
Adapun yang dijadikan dalil oleh ulama ialah
bahwa Allah SWT telah menjelaskan --dalam firman-Nya-- tentang hak waris
saudara dari pewaris sebanyak dua kali. Yang pertama dalam ayat ini, dan yang
kedua pada akhir surat an-Nisa'. Dalam ayat yang disebut terakhir ini, bagi
satu saudara mendapat seperenam bagian, sedangkan bila jumlah saudaranya banyak
maka mendapatkan sepertiga dari harta peninggalan dan dibagi secara rata.
Sementara itu, ayat akhir surat an-Nisa'
menjelaskan bahwa saudara perempuan, jika sendirian, mendapat separo harta
peninggalan, sedangkan bila dua atau lebih ia mendapat bagian dua per tiga.
Oleh karenanya, pengertian istilah ikhwah dalam ayat ini harus dibedakan dengan
pengertian ikhwah yang terdapat dalam ayat akhir surat an-Nisa' untuk
meniadakan pertentangan antara dua ayat.
Sementara itu, karena saudara kandung atau
saudara seayah kedudukannya lebih dekat --dalam urutan nasab-- dibandingkan
saudara seibu, maka Allah menetapkan bagian keduanya lebih besar dibandingkan
saudara seibu. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pengertian kata ikhwah
dalam ayat tersebut (an-Nisa': 12) adalah 'saudara seibu', sedangkan untuk kata
yang sama di dalam akhir surat an-Nisa' memiliki pengertian 'saudara kandung'
atau 'saudara seayah'.
Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu
- Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu atau satu orang saudara perempuan seibu, maka bagian yang diperolehnya adalah seperenam.
- Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dua orang atau lebih, mereka mendapatkan dua per tiga bagian dan dibagi secara rata. Sebab yang zhahir dari firman-Nya [tulisan Arab] menunjukkan adanya keharusan untuk dibagi dengan rata sama besar-kecilnya. Jadi, saudara laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian saudara perempuan.
Makna Kalaalah
Pengertian kalaalah ialah seseorang meninggal
tanpa memiliki ayah ataupun keturunan; atau dengan kata lain dia tidak
mempunyai pokok dan cabang. Kata kalaalah diambil dari kata al-kalla yang
bermakna 'lemah'. Kata ini misalnya digunakan dalam kalimat kalla ar-rajulu,
yang artinya 'apabila orang itu lemah dan hilang kekuatannya'.
Ulama sepakat (ijma') bahwa kalaalah ialah
seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan tidak memiliki keturunan.
Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., ia berkata: "Saya mempunyai
pendapat mengenai kalaalah. Apabila pendapat saya ini benar maka hanyalah dari
Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah,
maka karena dariku dan dari setan, dan Allah terbebas dari kekeliruan tersebut.
Menurut saya, Kalaalah adalah orang yang meninggal yang tidak mempunyai ayah dan
anak. "
Ketujuh:
Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sudah dibayar utangnya dengan tidak membebani
mudarat (kepada ahli waris)". Ayat tersebut menunjukkan dengan tegas bahwa
apabila wasiat dan utang nyata-nyata mengandung kemudaratan, maka wajib untuk
tidak dilaksanakan. Dampak negatif mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini,
misalnya, seseorang yang berwasiat untuk menyedekahkan hartanya lebih dari
sepertiga. Sedangkan utang yang dimaksud berdampak negatif, misalnya seseorang
yang mengakui mempunyai utang padahal sebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik
wasiat atau utang yang dapat menimbulkan mudarat (berdampak negatif) pada ahli
waris tidak wajib dilaksanakan.
Hukum Keadaan Saudara Kandung atau Seayah
Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa': 176
mengisyaratkan adanya beberapa keadaan tentang bagian saudara kandung atau
saudara seayah.
- Apabila seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudara kandung perempuan ataupun seayah, maka ahli waris mendapat separo harta peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal) tidak mempunyai ayah atau anak.
- Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris adalah dua per tiga dibagi secara rata.
- Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki mendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.
- Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara kandung laki-lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi saudara seayah, jika ternyata tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau saudara perempuan yang sekandung.
Dijaman
modern saat ini dengan pesatnya perkembangan teknologi, juga menginspirasi para
ilmuan atau ahli Informasi dan Teknologi muslim pula dalam memberi kemudahan
kepada umat Islam, khususnya dalam hal ini penghitungan bagian warisan menurut hukum
atau ajaran Islam yang sangat berlaku adil dalam konteks dan hakikat adil
sebenar-benarnya, dengan menciptakan sebuah rumus digital, program, atau
aplikasi yang tentunya selalu di evaluasi sesuai dengan perkembangan teknologi
sehingga selalu dapat terus dimanfaatkan melalui media yang sudah tidak asing
lagi dijaman modern saat ini, bisa melalui HP android, laptop, komputer, dll
yang tentunya tidak keluar dari dasar hukumnya yaitu Al-Qur’an dan Hadist,
subhanallah disitulah hebatnya dan kebesaran mukjizat yang diberikan kepada
umat terakhir hamba Tuhan melalui Rasul kita.
Software Islami: aplikasi penghitung harta warisan, atau
dikenal dalam Islam dengan nama Faroidh yang adalah jamak dari faridhoh,
Faridhoh diambil dari kata fardh yang artinya taqdir (ketentuan).
Faroidh secara syar’i adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli
waris. Ilmu mengenai hal itu dinamakan ilmu waris (‘ilmu mawaris) dan ilmu
Faroidh, yaitu ilmu tentang pembagian warisan menurut islam berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadits.
Bagi sebagian orang, mempelajari ilmu Faroidh itu
gampang-gampang susah. Berdasarkan pengalaman sewaktu kuliah di Fakultas
Syariah atau pesantren, dibutuhkan waktu 2 semester untuk mempelajarinya sampai
bisa praktek menghitung harta warisan pada beberapa kasus yang rumit.
Namun saat ini untuk bisa sampai praktek menghitung harta
warisan tidak perlu waktu 2 semester, karena sudah banyak tersedia aplikasi
atau software yang akan memudahkan umat Islam dalam menentukan pembagian
warisan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Postingan ini mungkin dianggap jadul dan kurang menarik bagi
sebagian orang, tapi saya yakin masih banyak juga yang membutuhkannya, terutama
jika dihadapkan dengan permasalahan ini baik diri sendiri atau di sekitar
lingkungan kita. Jadi jika ada yang berminat silahkan download aplikasi penghitung harta warisan berikut ini :
- Software pertama bernama Faraidh buatan Agung Yulianto (disusun berdasarkan kitab fiqih Fiqhus Sunnah karya syaikh Sayyid Sabiq). Walau apilkasinya masih sangat sederhana tapi cukup membantu dalam memecahkan masalah pembagian harta warisan.
- Software ke dua bernama At-Tashil buatan Ahmad Ruswandi dan kaisansoft.com (saat ini sudah sampai versi 4.2). Software ke dua ini lebih lengkap dari yang pertama dengan fitur diantaranya : Bagan Ahli Waris, Perincian dan Ringkasan Ilmu Waris.
Silahkan
download softwarenya : Software Islami: aplikasi penghitung harta warisan.
Semoga
bermanfaat, jangan lupa komentarnya dan isi buku tamunya di pojok kanan atas,
serta jika mengambil tulisan ini sebagai rujukan, cantumkan sumbernya dari blog
ini. Trims. Wassalam.
[1]Bagian
laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban laki-laki lebih
berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah.
(lihat surat An Nisaa ayat 34).
[2]Lebih dari dua
maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan nabi.
[3]Memberi
mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti: a. mewasiatkan lebih
dari sepertiga harta pusaka. b. berwasiat dengan maksud mengurangi harta
warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris,
juga tidak diperbolehkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar baik menunjukkan pribadimu !