I. PENDAHULUAN
Era
reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan
termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar yang sedang
digulirkan saat ini adalah manajemen negara, yaitu dari manajemen berbasis
pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini
telah diwujudkan dalam bentuk "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah" yang kemudian diikuti pedoman
pelaksanaannya berupa "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonomi. Konsekwensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut
adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat
otonomi. Karena itu, manajemen pendidikan berbasis pusat yang selama ini telah
dipraktekkan perlu diubah menjadi manajemen berbasis sekolah (MBS).
Selain
alasan normatif, secara empirik MBS memang perlu diterapkan karena di lapangan
menunjukkan kenyataan-kenyataan sebagai berikut.
1. Manajemen berbasis pusat selama ini telah
memiliki banyak kelemahan, antara lain: keputusan pusat sering kurang sesuai
dengan kebutuhan sekolah; administrasi berlebihan yang dikarenakan lapis-lapis
birokrasi yang terlalu banyak telah menyebabkan kelambanan dalam menangani
setiap permasalahan, sehingga menyebabkan kurang optimalnya kinerja sekolah; dalam
kenyataan, administrasi telah mengendalikan kreasi; proses pendidikan
dijalankan dengan undermanaged sehingga menghasilkan tingkat efektivitas dan
efisiensi yang rendah; pendekatan sarwa-negara (state-driven) telah menempatkan
sekolah pada posisi yang marginal, sehingga sekolah tidak memiliki keberanian
moral (prakarsa) untuk berinisiatif; sekolah tidak mandiri; terjadi penyumbatan
dan bahkan pemasungan demokrasi; sekolah tidak peka dan jeli dalam menangkap
dan mengungkap permasalahan, kebutuhan, dan aspirasi pendidikan dari masyarakat;
dan manajemen berbasis pusat tidak saja menumpulkan daya kreativitas sekolah, tetapi
juga mengikis habis rasa kepemilikan warga sekolah terhadap sekolahnya.
2. Sekolah paling memahami permasalahan
disekolahnya. Karena itu, sekolah merupakan unit utama yang harus memecahkan
permasalahannya melalui sejumlah keputusan yang dibuat "sedekat" mungkin
dengan kebutuhan sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki kewenangan (otonomi),
tidak saja dalam pengambilan keputusan, akan tetapi justru dalam mengatur dan
mengurus kepentingan sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
warga sekolah sesuai dengan payung kebijakan makro pendidikan nasional.
3. Perubahan di sekolah akan terjadi jika
semua warga sekolah ada "rasa memiliki" yang berasal dari kesempatan
berpartisipasi dalam merumuskan perubahan dan keluwesan untuk
mengadaptasikannya terhadap kebutuhan individu sekolah. Rasa memiliki ini pada
gilirannya akan meningkatkan pula rasa tanggungjawab. Jadi, makin besar tingkat
partisipasi warga sekolah dalam pengambilan keputusan, makin besar rasa
memiliki terhadap sekolah, dan makin besar pula rasa tanggungjawabnya. Yang
demikian ini berarti bahwa "perubahan" lebih disebabkan oleh dorongan
internal sekolah dari pada tekanan dari luar sekolah.
4. Telah lama pengaturan yang bersifat
birokratik lebih dominan dari pada tanggungjawab profesional, sehingga kreativitas
sekolah pada umumnya dan guru pada khususnya terpasung dan bahkan terbunuh. Tidak
jarang pula dijumpai bahwa formalitas sering jauh melampaui hakiki. Yang lebih
parah lagi guru-guru kehilangan "jiwa kependidikannya". Mendidik
tidak lebih dari sekadar pengenalan nilai-nilai, yang hasilnya hanya berupa
pengetahuan nilai (logos) dan belum sampai pada penghayatan nilai (etos), apalagi
sampai pengamalannya. Akibatnya, menurut Aburizal Bakrie (1999), proses belajar
mengajar di sekolah lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh
guru, dibanding daya kreasi, nalar, dan eksperimentasi peserta didik untuk
menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Tidak ada keterbukaan dan demokrasi. Tidak
ada toleransi pada kekeliruan akibat kreativitas berpikir, karena yang benar
adalah apa yang dipersepsikan benar oleh guru, sehingga yang terjadi hanyalah
memorisasi dan "recall" dan tidak dihargainya kreativitas dan
kemampuan peserta didik. Padahal, pembelajaran yang sebenarnya semestinya lebih
mementingkan pada proses "pencarian jawaban" dibanding "memiliki
jawaban".
II. PEMBAHASAN
Pengertian
Istilah
manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis,
dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya
melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan. Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia
dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang);
input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, limitasi yang terwujud
dalam bentuk ketentuan-ketentuan. Pengertian manajemen tersebut, menurut
Poernomosidi Hadjisarosa, 1997) dapat dilukiskan seperti pada Gambar 1 berikut,
dengan keterangan: SDM-M (sumberdaya manusia manajer) mengatur sumber daya
manusia pelaksana (SDM-P) melalui input manajemen yang terdiri dari (T = Tugas;
R = Rencana, P = Program; T3 = Tindakan Turun Tangan; K = Kesan) agar SDM-P
menggunakan jasa manusianya (Jm) untuk bercampur tangan terhadap sumber daya
selebihnya (SD-slbh), sehingga proses dapat berlangsung dengan baik untuk
menghasilkan output.
Berbasis
berarti "berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sekolah
adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
yang bertugas memberikan "bekal kemampuan dasar" kepada peserta didik
atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan
profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk
barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja).
Sumber:
Poernomosidi Hadjisarosa, 1997
Dari
uraian tersebut dapat dirangkum bahwa "manajemen berbasis sekolah" adalah
pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri)
oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah
dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok
kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan (partisipatif)". Catatan: kelompok kepentingan yang
terkait dengan sekolah meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa,
konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para
profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan. Lebih ringkas
lagi, manajemen berbasis sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut (David, 1989):
manajemen berbasis sekolah = otonomi manajemen sekolah + pengambilan keputusan
partisipatif.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian
yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak
tergantung (Undang-Undang No.22 Th.1999 tentang Pemerintahan Daerah). Istilah
otonomi juga sama dengan istilah "swa", misalnya swasembada, swakelola,
swadana, swakarya, swalayan, dan swa-swa lainnya. Jadi otonomi sekolah adalah
kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja
kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu
kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai
perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara
pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi yang efektif, kemampuan
memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan
bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Untuk
mencapai otonomi sekolah, diperlukan suatu proses yang disebut "desentralisasi".
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan pendidikan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemeritah Dati I ke Dati II, dari
Dati II ke sekolah, dan bahkan dari sekolah ke guru, tetapi harus tetap dalam
kerangka pendidikan nasional. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa
pendidikan yang diatur secara "sentralistik" menghasilkan fenomena-fenomena
seperti berikut: lamban berubah/beradaptasi, bersifat kaku, normatif sekali
orientasinya karena terlalu banyaknya lapis-lapis birokrasi, tidak jarang
birokrasi mengendalikan fungsi dan bukan sebaliknya, uniformitas telah memasung
kreativitas, dan tradisi serta serimoni yang penuh kepalsuan sudah menjadi
kebiasaan. Kecil itu indah, adalah merupakan esensi desentralisasi. Menurut
Bailey (1991), organisasi yang cakupan, pemerintahan, manajemen, dan ukurannya
kecil, mudah beradaptasi. Karena itu, desentralisasi bukan lagi merupakan hal
penting untuk diterapkan, tetapi sudah merupakan keharusan. Dengan
desentralisasi, maka: (1) fleksibilitas pengambilan keputusan sekolah akan
tumbuh dan berkembang dengan subur, sehingga keputusan dapat dibuat "sedekat"
mungkin dengan kebutuhan sekolah; (2) akuntabilitas/pertanggunggugatan terhadap
masyarakat (majelis sekolah, orangtua peserta didik, publik) dan pemerintah
meningkat; dan (3) kinerja sekolah akan meningkat (efektivitasnya, kualitasnya,
efisiensinya, produktivitasnya, inovasinya, provitabilitasnya, kualitas
kehidupan kerjanya, dan moralnya).
Pengambilan
keputusan partisipatif (David, 1989) adalah suatu cara untuk mengambil
keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana
warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong
untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan
dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal ini dilandasi oleh
keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan
keputusan, maka yang bersangkutan akan ada "rasa memiliki" terhadap
keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan
berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar
tingkat pertisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki,
makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin
besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam pengambilan
keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan relevansinya dengan
tujuan pengambilan keputusan sekolah.
Dengan
pengertian diatas, maka pengembangan manajemen berbasis sekolah semestinya mengakar
di sekolah, terfokus di sekolah, terjadi disekolah, dan dilakukan oleh sekolah.
Untuk itu, penerapan manajemen berbasis sekolah memerlukan konsolidasi
manajemen sekolah.
Tujuan
Manajemen
berbasis sekolah bertujuan untuk "memberdayakan" sekolah, terutama
sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua siswa,
dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan
sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang
bersangkutan.
Ciri-ciri
sekolah yang "berdaya" pada umumnya: tingkat kemandirian tinggi/tingkat
ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; memiliki
jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dsb.);
bertanggungjawab terhadap hasil sekolah; memiliki kontrol yang kuat terhadap
input manajemen (T,R,P,L,T3,K) dan sumber dayanya; kontrol terhadap kondisi
kerja; komitmen yang tinggi pada dirinya; dan dinilai oleh pencapaian
prestasinya. Selanjutnya, bagi sumber daya manusia sekolah yang berdaya, pada
umumnya, memiliki ciri-ciri: pekerjaan adalah miliknya, dia bertanggung jawab, dia
memiliki suara bagaimana sesuatu dikerjakan, pekerjaannya memiliki kontribusi, dia
tahu posisinya dimana, dia memiliki kontrol terhadap pekerjaannya, dan
pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh-contoh
tentang hal-hal yang dapat memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian
tanggung jawab, pekerjaan yang bermakna, memecahkan masalah pekerjaan secara "teamwork",
variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya
sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui
bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi
yang efektif, umpan balik bagus, sumber daya yang dibutuhkan ada, dan warga
sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat
tertinggi (Slamet PH, 2000; Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2000).
Pergeseran
Pendekatan Manajemen Pendidikan
Seiring
dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) dan bukti-bukti empirik tentang kurang
efektif dan efisiensinya manajemen berbasis pusat, maka Departemen Pendidikan
Nasional melakukan penyesuaian-penyesuaian, salah satunya adalah melakukan
pergeseran pendekatan manajemen, yaitu dari pendekatan manajemen berbasis pusat
menjadi manajemen berbasis sekolah, seperti dilukiskan pada Gambar 2 (Slamet PH,
2000).
Berikut
disampaikan penjelasan terhadap pergeseran pendekatan manajemen berbasis pusat
menuju MBS.
a. Dari Sub-Ordinasi Menuju Otonomi
Pada
manajemen berbasis pusat, sekolah merupakan sub-ordinasi dari pusat, sehingga
sifat ketergantungannya sangat tinggi. Sekolah tidak berdaya dan tidak memiliki
kemandirian, sehingga kreativitas dan prakarsanya terpasung dan beku. Pada MBS,
sekolah memiliki otonomi (kemandirian) untuk berbuat yang terbaik bagi
sekolahnya. Ketergantungan pada tingkat pusat makin kecil, sehingga sekolah
harus dewasa dan meyakini bahwa perubahan pendidikan tidak akan terjadi jika
sekolahnya sendiri tidak berubah. Tentu saja kemandirian ini menuntut kemampuan
sekolah untuk mengatur dan mengurus sekolahnya menurut prakarsanya sendiri
berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Dari Pengambilan Keputusan Terpusat
Menuju Pengambilan Keputusan Partisipatif
Berbeda
dengan pengambilan keputusan pada manajemen berbasis pusat yang ditandai oleh
one man show, lamban hasilnya, dan sering tidak pas hasilnya dengan kebutuhan
sekolah, maka pengambilan keputusan pada MBS melibatkan warga sekolah, yang
selain cepat hasilnya, juga sesuai hasilnya dengan kebutuhan sekolah. Pelibatan
partisipan dalam pengambilan keputusan tentu saja disesuaikan dengan relevansi,
keahlian, yurisdiksi, dan kompatibilitas keputusan dengan kepentingan
partisipan.
c. Dari Ruang Gerak Kaku Menuju Ruang
Gerak Luwes
Akibat
banyaknya tugas dan fungsi, wewenang, tanggungjawab, kewajiban dan hak sekolah
yang ditangani oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep, maka ruang gerak sekolah kaku
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi maupun untuk memenuhi
kebutuhannya. Pada pendekatan manajemen yang baru, ruang gerak sekolah sangat
luwes karena apa yang selama ini dilakukan oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep, sebagian
besar kini diserahkan ke sekolah.
d. Dari Pendekatan Birokrasi Menuju
Pendekatan Profesionalisme
Pada
pendekatan birokrasi, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas apa yang
dianggap benar dan baik oleh pimpinannya. Pada pendekatan profesionalisme, apa
yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas profesionalisme. Karena itu, peranan
keahlian sangat penting dalam membimbing tingkah laku warga sekolah, bukan
kekuasaan.
e. Dari Manajemen Sentralistik Menuju
Manajemen Desentralistik
Pada
model lama, pusat memiliki kewenangan yang berlebihan, sehingga terjadilah
pemusatan kekuasaan di pusat. Pemusatan kekuasaan ini telah menimbulkan dampak
negatif pada sekolah, yaitu selain sekolah tidak berdaya, banyak keputusan-keputusan
yang tidak efektif dan efisien. Karena kecil kewenangan yang dimiliki oleh
sekolah, maka tidak jarang sekolah acuh tak acuh terhadap masalah-masalah yang
dihadapi. Sedang pada manajemen desentralistik, banyak kewenangan Pusat, Wilayah,
dan Kandep yang diserahkan ke sekolah. Dengan pendekatan ini, maka sekolah akan
lebih berdaya dan keputusan-keputusan yang dibuatnya akan lebih efektif dan
efisien.
f. Dari Kebiasaan Diatur Menuju Kebiasaan
Motivasi Diri
Pola
perilaku lama yang sering menunggu perintah dan kebiasaan diatur (dorongan
eksternal) akan berubah menjadi pola perilaku baru yang bercirikan motivasi
diri (dorongan internal). Perubahan ini tentu saja akibat dari otonomi (kemandirian)
sekolah yang diberikan oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep. Struktur organisasi
yang berjiwa otonomi akan mendorong sekolah untuk berinovasi dan berimprovisasi
dari dalam diri sekolah, bukan dari tekanan luar.
g. Dari Over regulasi Menuju Deregulasi
Terlalu
banyaknya regulasi pendidikan (overregulasi) termasuk juklak dan juknis telah
membuat sekolah seperti robot yang hanya menunggu perintah, tumpul, telah
membunuh kreativitas sekolah, terutama gurunya. Deregulasi pendidikan akan
mampu menumbuhkan daya kreativitas dan prakarsa sekolah, dan membuat sekolah
sebagai pusat perubahan. Deregulasi juga mampu memberikan kelenturan sekolah
dalam mengelola sekolahnya.
h. Dari Mengontrol Menuju Mempengaruhi
Jika
manajemen pola lama lebih cenderung menekankan pada "mengkomando" dan
"mengontrol" , maka manajemen berbasis sekolah lebih menekankan pada "mempengaruhi".
"Mengontrol" lebih cenderung pada output, sehingga jika terjadi
kesalahan, menjadi terlanjur. Sedang "mempengaruhi" lebih cenderung
menekankan pada input dan poses, sehingga terhindar dari kemungkinan terlanjur
salah.
i. Dari Mengarahkan Menuju Memfasilitasi
Pada
manajemen berbasis pusat lebih menekankan pada pemberian "pengarahan",
yang sering diwujudkan dengan kata-kata "kita harus kesana", "kita
harus mengerjakan itu", dengan maksud agar pekerjaan cepat selesai. Sedang
pada MBS lebih menekankan pada pemberian "fasilitasi", misalnya:
"bagaimana menurut pendapat anda untuk mengerjakan ini?"
j. Dari Menghindari Resiko Menuju Mengolah
Resiko
Jika
pada pola manajemen tradisional lebih menekankan untuk "menghindari resiko",
maka pada pola manajemen baru lebih menganjurkan "mengambil resiko". Hal
ini didasari oleh kenyataan bahwa orang-orang yang berani mengambil resiko
cenderung lebih maju dari pada orang yang suka menghindari resiko.
k. Dari Menggunakan Uang Semuanya Menuju
Menggunakan Uang Seefisien Mungkin
Pola
anggaran lama yang menekankan pada "uang harus dihabiskan semua", akan
bergeser menjadi "gunakan uang secukupnya", akan meningkatkan
efisiensi sekolah. Tentu saja hal ini akan menuntur "restrukturisasi"
anggaran pola lama.
l. Dari Individu yang Cerdas Menuju "Teamwork"
yang Kompak dan Cerdas
Tidak
jarang sekolah memiliki individu-individu yang cerdas. Pada MBS, individu-individu
yang cerdas ini harus diajak memperhatikan kinerja sekolah secara keseluruhan, dan
disadarkan bahwa hanya melalui "teamwork" yang kompak dan cerdaslah
yang akan mampu meningkatkan kinerja sekolah.
m. Dari Informasi Terpribadi Menuju Informasi
Terbagi
Informasi
sering hanya dimiliki oleh sejumlah warga sekolah, khususnya kepala sekolah, wakil-wakilnya,
dan beberapa guru. Informasi ini umumnya juga tidak disebarluaskan kesemua
warga sekolah (terpribadi). Di masa mendatang, informasi harus tersebar/terbagi
secara merata keseluruh warga sekolah. Tentu saja yang dimaksud di sini bukan
setiap ada informasi baru harus disampaikan kesemua warga sekolah, namun
informasi diberikan kepada mereka yang memang berhak menerimanya.
n. Dari Pendelegasian Menuju Pemberdayaan
Manajemen
pendidikan kita sampai saat ini masih diwarnai oleh praktek-praktek
pendelegasian tugas dan fungsi serta tanggungjawab semata, tanpa diikuti
penyerahan kewenangan, sehingga sekolah tidak berdaya. Mulai sekarang, Pusat, Wilayah,
dan Kandep harus memberdayakan sekolah, yaitu melalui penyerahan tugas dan
fungsi, tanggungjawab, hak dan kewajiban, yang disertai kewenangan untuk
mengambil keputusan. Karena, hanya sekolahlah yang merupakan "pusat
perubahan" yang sebenarnya, terutama sumberdaya manusianya. Sebagus apapun
kebijakan dari Pusat, Wilayah, dan Kandep, namun jika sekolah tidak berubah, maka
tidak akan pernah ada perubahan.
o. Dari Organisasi Hirarkis Menuju
Organisasi Datar
Sampai
saat ini organisasi pendidikan khususnya organisasi sekolah masih diatur dengan
lapis-lapis manajemen yang rumit, sehingga sekolah lamban adaptasi dan
antisipasinya terhadap perubahan-perubahan, dan kurang tanggap terhadap isu-isu
kritis/strategis yang menyangkut kemajuan sekolah. Mulai saat ini, organisasi
sekolah harus dibuat lebih datar agar lebih responsif dan antisipatif, tidak
saja terhadap isu-isu strategis/kritis yang dihadapi oleh sekolah, bahkan
terhadap perubahan-perubahan sosial
Model
MBS Ideal
Dalam
artian yang sesungguhnya, sebenarnya sulit memberikan contoh manajemen berbasis
yang "uniformitas" dan "konformitas" sekaligus, karena
dalam kenyataan juga tidak mudah menemukan sekolah yang karakteristik "kancah"nya
sama. Model MBS berikut merupakan model yang pada umumnya memiliki ciri-ciri
universal, sehingga setiap sekolah yang akan mengadopsi model ini perlu
mengadaptasikannya/menyesuaikannya dengan karakteristik kancah di sekolah
masing-masing. Model MBS berikut pada dasarnya ditampilkan menurut pendekatan
sistem (berfikir sistem), yaitu output-proses-input. Urutan ini dipilih dengan
alasan bahwa setiap kegiatan sekolah akan dilakukan, termasuk kegiatan
melakukan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat), semestinya
dimulai dari "output" yang akan dicapai, kemudian ke "proses",
dan baru ke "input" yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Namun,
langkah-langkah pemecahan persoalannya ditempuh dengan mengikuti urutan yang
berlawanan dengan arah analisis SWOT.
Karena
MBS telah merupakan jiwa dan semangat sekolah, maka setiap penjelasan berikut
telah menginklusifkan otonomi dan partisipasi ke dalamnya, meskipun tanpa
menyebut istilah otonomi dan partisipasi. Artinya, setiap pembahasan butir-butir
berikut selalu dijiwai oleh otonomi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan
sekolah. Secara ringkas, MBS dapat diuraikan seperti berikut (Slamet PH, 2000; Direktorat
Pendidikan Menengah Umum, 2000).
1. Output
Output
sekolah diukur dengan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah pencapaian/prestasi
yang dihasilkan oleh proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari
efektivitasnya, kualitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, kualitas
kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya (lihat Gambar 3), dengan keterangan
seperlunya seperti berikut.
Efektivitas
adalah ukuran yang menyatakan sejauhmana sasaran (kuantitas, kualitas, waktu) telah
dicapai. Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi
hasil yang diharapkan.
Kualitas
adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa, yang menunjukkan
kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau yang tersirat. Mutu
barang atau jasa dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling
berhubungan seperti disain, operasi produk atau jasa dan pemeliharaannya.
Produktivitas
adalah hasil perbandingan antara output dibagi input. Baik output maupun input
adalah dalam bentuk kuantitas. Kuantitas input berupa tenaga kerja, modal, bahan,
dan energi. Kuantitas output dapat berupa jumlah barang atau jasa, tergantung
pada jenis pekerjaan.
Gambar
3: Kinerja Sekolah
Efisiensi
dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu efisiensi internal dan efisiensi
eksternal. Efisiensi internal menunjuk kepada hubungan antara output pendidikan
(pencapaian belajar) dan input (sumberdaya) yang digunakan untuk memroses/menghasilkan
output pendidikan (Coombs & Hallak, 1987). Efisiensi internal biasanya
diukur dengan biaya-efektivitas. Setiap penilaian biaya-efektivitas selalu
memerlukan dua hal, yaitu penilaian ekonomik untuk mengukur biaya masukan (input)
dan penilaian hasil pembelajaran (prestasi belajar, lama belajar, angka putus
sekolah). Sedang efisiensi eksternal adalah hubungan antara biaya yang
digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif (individual, sosial,
ekonomik, dan non-ekonomik) yang didapat setelah pada kurun waktu yang panjang
diluar sekolah. Analisis biaya-manfaat merupakan alat utama untuk mengukur
efisiensi eksternal.
Inovasi
adalah proses yang kreatif dalam mengubah input, proses, dan output agar dapat
sukses dalam menanggapi dan mengantisipasi perubahan-perubahan internal dan
eksternal sekolah. Inovasi selalu memberikan nilai tambah terhadap input, proses,
maupun output yang ada.
Kualitas
kehidupan kerja adalah kinerja sekolah yang ditunjukkan oleh ukuran tentang
bagaimana warga sekolah merasakan hal-hal seperti: pekerjaannya, kemanfaatannya,
kondisi kerjanya, kesan dari anak buah terhadap bapak/ibu buah, kawan/kolega
kerjanya, peluang untuk maju, pengembangan, kepastian, keselamatan dan keamanan,
dan imbal jasanya.
Moral
kerja adalah tingkat baik buruknya warga sekolah terhadap pekerjaannya yang
ditunjukkan oleh etika kerjanya, kedisiplinannya, kejujurannya, kerajinannya, komitmennya,
tanggungjawabnya, hubungan kerjanya, daya adaptasi dan antisipasinya, motivasi
kerjanya, dan jiwa kewirausahaannya (bersikap dan berpikir mandiri, memiliki
sikap berani mengambil resiko, tidak suka mencari kambing hitam, selalu
berusaha menciptakan dan meningkatkan nilai sumberdaya, terbuka terhadap umpan
balik, selalu ingin mencari perubahan yang lebih baik, tidak pernah merasa puas
dan terus menerus melakukan inovasi dan improvisasi demi perbaikan selanjutnya,
dan memiliki tanggungjawab moral yang baik).
2. Proses
Proses
merupakan berubahnya "sesuatu" menjadi "sesuatu yang lain".
Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut "input",
sedang sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala
mikro (sekolah), proses yang dimaksud adalah: (a) proses pengambilan keputusan,
(b) proses pengelolaan kelembagaan, (c) proses pengelolaan program, dan (d) proses
belajar mengajar.
Proses
Pengambilan Keputusan
Proses
pengambilan keputusan partisipatif merupakan salah satu "inti" MBS. Esensi
proses pengambilan keputusan partisipatif (Cangemi, 1985) adalah untuk mencari "wilayah
kesamaan" antara kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah
(stakehorder) yaitu kepala sekolah, guru, siswa, orangtua siswa, dan pemerintah/yayasan).
Wilayah kesamaan inilah yang menjadi modal dasar untuk menumbuhkan "rasa
memiliki" bagi semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah dan
ini dapat dilakukan secara efektif melalui pelibatan semua kelompok kepentingan
dalam proses pengambilan keputusan. Pelibatan kelompok kepentingan dalam proses
pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan
relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan.
Menurut
Cangemi (1985), paling tidak ada tiga pertanyaan yang harus dijawab oleh kepala
sekolah sewaktu akan menerapkan pengambilan keputusan partisipatif: (1) bagaimana
cara menentukan, dalam setiap kasus, apakah cocok dan produktif jika
pengambilan keputusan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (2) kemudian, jika
proses pengambilan keputusan perlu melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, pertanyaan
kedua adalah: bagian yang mana dari proses pengambilan keputusan yang perlu
melibatkan kelompok-kelompok kepentingan?; (3) pertanyaan ketiga adalah cara
yang mana (apa) yang paling efektif untuk melibatkan mereka dalam proses
pengambilan keputusan?
Tentunya
tidak semua wilayah (zona) pengambilan keputusan harus melibatkan semua
kelompok kepentingan. Ada wilayah-wilayah yang memang merupakan hak prerogatif
pimpinan untuk diputuskan secara sendirian dan bawahan harus menerimanya tanpa
syarat. Kalaupun pimpinan melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, maka hal
ini harus dipikirkan secara mendalam dan terkontrol pelaksanaannya.
Ada
empat petunjuk untuk mengidentifikasi pengambilan keputusan yang harus
melibatkan para kelompok kepentingan, yaitu relevansi, kompetensi, yurisdiksi, dan
kompatibilitas tujuan. Pertama, adalah tingkat relevansinya. Sekiranya
keputusan yang akan diambil relevan dengan kebutuhan kelompok kepentingan
tertentu (kelompok yang bakal terkena dampak keputusan), maka pengambilan
keputusan sebaiknya melibatkan kelompok kepentingan tersebut. Kedua, adalah uji
keahlian. Artinya, kelompok kepentingan yang akan berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan, harus memiliki sesuatu untuk dikontribusikan. Mereka
harus memiliki kompetensi untuk ikut serta dalam memecahkan persoalan-persoalan
yang terkait dengan kepentingannya. Ketiga, uji yurisdiksi. Sekolah didirikan
untuk menjalankan fungsinya melalui struktur-herarkis. Karena itu, ada batas-batas
yurisdiksi yang memang tidak semua kelompok kepentingan harus terlibat dalam
pengambilan keputusan. Pelibatan yang tidak proporsional secara yurisdiksi akan
cenderung membuat frustasi dan kemarahan yang tidak berdasar. Keempat, uji
kompatibilitas tujuan. Apabila kompatibilitas tujuan dari semua kelompok
kepentingan diinginkan, maka pelibatan mereka dalam proses pengambilan
keputusan sangat diperlukan.
Disamping
empat petunjuk pelibatan para kelompok kepentingan dalam pengambilan keputusan,
ada delapan model yang dapat diadopsi oleh kepala sekolah berkaitan dengan
pengambilan keputusan partisiptatif.
1. Pemberitahuan
Di
sini kepala sekolah mengambil keputusan secara sendirin. Dia tidak mencari
informasi dan tidak mencari nasehat dari orang lain. Dia mempercayakan pada
pengalamannya sendiri dan penelitiannya sendiri, dan semata-mata mengumumkan
keputusannya. Gaya ini cocok untuk keputusan-keputusan yang terletak diluar
zona kepedulian karyawan.
2. Pengumpulan Informasi
Disini
kepala sekolah menggunakan kelompok kepentingan tertentu hanya untuk tujuan
pengumpulan informasi (penelitian masalah). Partisipan tidak diundang untuk
datang bersama-sama dan bahkan tidak tahu siapa saja yang dimintai informasi. Melalui
pembicaraan telpon atau laporan tertulis, kepala sekolah mencoba menarik
kontribusi dari kelompok kepentingan tertentu agar supaya dapat mengambil
keputusan oleh dirinya sendiri. Gaya semacam ini hanya berlaku secara terbatas
untuk keputusan-keputusan marjinal diluar zona kepedulian karyawan.
3. Pengumpulan Informasi dan Pembahasan
Di
sini kepala sekolah berusaha mengumpulkan informasi dan memferifikasinya dengan
mengundang secara bersama-sama para kelompok kepentingan yang dapat
berkontribusi terhadap informasi awal yang telah dikumpulkan. Sewaktu informasi
ini dicek-silang dan diklarifikasi, kolegialitas antar kelompok kepentingan
tidak terlalu didorong/dimunculkan. Dari informasi cek-silang ini, kemudian
Kepala Sekolah akan menggunakannya untuk masukan bagi pengambilan keputusan
yang akan dilakukan oleh dirinya sendiri.
4. Pengumpulan
Pendapat dan Pembahasan
Di
sini kepala sekolah meminta bawahannya untuk menginterpretasi informasi yang
telah dibagi-bagikan kepada mereka. Dia memanfaatkan mereka untuk menjelaskan
makna data-data yang telah dibagi-bagikan keseluruh kelompok. Pendapat-pendapat
yang diusulkan mungkin beragam dan tidak bisa menghasilkan saran-saran umum
terhadap Kepala Sekolah untuk memecahkan persoalan. Lagi-lagi, sepala sekolah
mengambil keputusan oleh dirinya sendiri tetapi dalam hal ini dia telah
mendorong pertukaran pendapat secara bebas sewaktu dilakukan cek-silang antar
kelompok kepentingan. Kondisi ini cocok jika setiap kelompok kepentingan dapat
dipercaya untuk bagi-bagi pendapat dan memiliki keahlian yang sesuai dengan
keputusan yang akan diambil.
5. Debat,
Dialog, dan Proteksi Ekuitas/Kesamaan
Dalam
model ini, kepala sekolah tidak hanya mendorong pertukaran pendapat secara
bebas, tetapi juga untuk meyakinkan bahwa individu-individu yang menawarkan
pendapat harus berdebat untuk mempertahankan pendapatnya. Melalui interaksi ini
kemudian dilakukan penilaian terhadap pendapat-pendapat tersebut sehingga
ditemukan pendapat yang relatif lebih baik. Karena semua pendapat harus
dilontarkan, maka peran kepala sekolah adalah melindungi pendapat-pendapat dari
kelompok minoritas dan memberhentikan mereka yang telah habis waktunya dalam
curah/debat pendapat. Dalam peran ini, kepala sekolah tetap akan mengambil
keputusan oleh dirinya sendiri, namun dia akan dipengaruhi secara signifikan
oleh argumen-argumen yang disampaikan oleh para partisipan.
6. Demokrasi
Model
pengambilan keputusan semacam ini pada dasarnya menggunakan sistem "voting".
Kepala sekolah menyerahkan sebagian besar wewenang pengambilan keputusannya, sehingga
dia akan berpartisipasi dalam diskusi tersebut dan dia akan memberikan suaranya
melalui "voting", dan oleh karena itu keputusan final akan ditentukan
oleh suara mayoritas. Teknik ini cocok untuk pengambilan keputusan yang
kontroversial, dimana konsensus sukar dicapai.
7. Konsensus
Di
sini kepala sekolah mendorong munculnya pendapat-pendapat yang beragam dan dia
bertindak sebagai parlementarian untuk menjamin hak-hak yang sama dari semua
peserta yang terlibat dalam diskusi. Segera setelah kelompok diskusi mengarah
kepada kesepakatan, dia meringkasnya dan mengklarifikasi isu-isu tersebut. Dia
memimpin diskusi, tetapi dia tidak menempatkan pendapatnya di atas peserta
diskusi. Dia berusaha membawa kelompok diskusi kearah persetujuan terhadap
alternatif terbaik, yaitu alternatif yang dapat diterima oleh kelompok secara
keseluruhan. Ini tidak berarti bahwa setiap peserta akan puas secara total
terhadap keputusan, akan tetapi paling tidak setiap peserta seyogyanya puas
terhadap keputusan tersebut karena inilah keputusan terbaik yang dapat
dicapainya.
8. Delegasi
Dalam
kondisi-kondisi tertentu, suatu keputusan tidak harus ditangani oleh kepala
sekolah, karena keputusan tersebut tidak relevan baginya maupun bagi sekolahnya.
Dia tidak memiliki keahlian untuk berkontribusi dan karena itu dia
mendelegasikan keputusan kepada bawahannya (guru, konselor, BP3, dsb.). Dia
tidak berpartisipasi. Dia tidak mengganggu hasil akhir keputusan, namun bisa
saja dia merupakan salah seorang yang menunjukkan adanya permasalahan.
a. Pengelolaan Kelembagaan
Sekolah,
sebagai lembaga pendidikan, harus dikelola secara profesional agar menjadi "sekolah
belajar" (learning school) yang mampu menjamin kelangsungan hidup dan
perkembangannya. Menurut Bovin (1998), untuk menjadi sekolah belajar, maka
sekolah harus:
1).memberdayakan
sumber daya manusianya seoptimal mungkin,
2).memfasilitasi
warga sekolahnya untuk belajar terus dan belajar kembali,
3).mendorong
kemandirian (otonomi) setiap warganya,
4).memberikan
tanggungjawab kepada warganya,
5).mendorong
setiap warganya untuk "mempertanggungugatkan" (accountability) terhadap
hasil kerjanya,
6).mendorong
adanya teamwork yang kompak dan cerdas dan shared value bagi setiap warganya,
7).merespon
dengan cepat terhadap pasar (pelanggan),
8).mengajak
warganya untuk menjadikan sekolahnya customer focused,
9).mengajak
warganya untuk nikmat/siap berhadap perubahan,
10).mendorong
warganya untuk berfikir sistem, baik dalam cara berfikir, cara mengelola, maupun
cara menganalisis sekolahnya,
11).mengajak
warganya untuk komitmen terhadap "keunggulan kualitas",
12).mengajak
warganya untuk melakukan perbaikan secara terus-menerus, dan
13).melibatkan
warganya secara total dalam penyelenggaraan sekolah.
b. Proses Pengelolaan Program
Pengelolaan
program merupakan pengkoordinasian dan penyerasian program sekolah, yang
meliputi: (1) perencanaan, pengembangan, dan evaluasi program sekolah, (b) pengembangan
kurikulum, (c) pengembangan proses belajar mengajar, (d) pengelolaan sumberdaya
manusia (guru, karyawan, konselor, dsb.), (e) pelayanan siswa, (f) pengelolaan
fasilitas, (g) pengelolaan keuangan, (h) perbaikan program, dan (i) pembinaan
hubungan antara sekolah dan masyarakat.
c. Proses Belajar Mengajar
Sedang
proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar yang dilakukan melalui
interaksi perilaku pengajar dan perilaku pelajar, baik di ruang maupun di luar
kelas. Karena proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar, maka
penekanannya bukan sekadar penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos),
tetapi merupakan internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan
berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta dipraktekkan oleh pelajar (etos).
Selain
itu, proses belajar mengajar semestinya lebih mementingkan proses pencarian
jawaban dari pada memiliki jawaban. Karena itu, proses belajar mengajar yang
lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh pengajar adalah kurang
efektif. Proses belajar mengajar yang efektif semestinya menumbuhkan daya
kreasi, daya nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi-eksperimentasi untuk
menemukan kemungkinan-kemungkinan baru (meskipun hasilnya keliru), memberikan
keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan demokrasi, dan
memberikan toleransi pada kekeliruan-kekeliruan akibat kreativitas berfikir.
Secara
ringkas, proses belajar mengajar (sebagai sistem) dapat dilukiskan seperti pada
Gambar 4 berikut.
3. Input
Input
adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk
berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud tidak harus berupa barang, tetapi
juga dapat berupa perangkat dan harapan-harapan sebagai pemandu bagi
berlangsungnya proses. Berikut disampaikan sejumlah input dengan uraian
seperlunya.
Visi
Setiap
sekolah yang akan menerapkan manajemen berbasis sekolah harus memiliki visi. Visi
adalah wawasan yang menjadi sumber arahan bagi sekolah, dan digunakan untuk
memandu perumusan misi sekolah. Dengan kata lain, visi adalah pandangan jauh
kedepan kemana sekolah akan dibawa atau gambaran masa depan yang diinginkan
oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan dapat dijamin kelangsungan hidup
dan perkembangannya.
Gambar
4: Proses Belajar Mengajar Sebagai Sistem
Misi
Misi
adalah tindakan untuk merealisasikan visi. Karena visi harus mengakomodasi
semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah, maka misi dapat juga
diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi masing-masing dari semua kelompok kepentingan
yang terkait dengan sekolah. Dalam merumuskan misi, harus mempertimbangkan
tugas pokok sekolah dan kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan
sekolah.
Tujuan
Tujuan
merupakan penjabaran misi. Tujuan merupakan "apa" yang akan dicapai/dihasilkan
oleh sekolah yang bersangkutan dan "kapan" tujuan akan dicapai. Tujuan
dirumuskan untuk jangka waktu 1-3 tahuan.
Sasaran
Sasaran
adalah penjabaran tujuan, yaitu sesuatu yang akan dihasilkan/dicapai oleh
sekolah dalam jangka waktu satu tahun, satu catur wulan, atau satu bulan. Agar
sasaran dapat dicapai dengan efektif, maka sasaran harus dibuat spesifik, terukur,
jelas kriterianya, dan disertai indikator-indikator yang rinci.
Struktur
Organisasi
Mengingat
fungsi dasar sekolah berubah, dari subordinasi menjadi otonomi, dari
pengambilan keputusan tunggal menjadi pengambilan keputusan partisiptatif, sudah
tentu perubahan ini berdampak pada struktur organisasi yang telah ada, serta
peran dari kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah.
Input
Manajemen
Kepala
sekolah mengatur dan mengurus sekolahnya melalui sejumlah input manajemen. Kelengkapan
dan kejelasan input manajemen akan membatu kepala sekolah mengelola sekolahnya
dengan baik. Berikut adalah sejumlah input manajemen, dengan keterangan
seperlunya (Poernomosidi Hadjisarosa, 1997):
1. Tugas
Kepala
sekolah harus jelas memberikan tugas-tugas kepada bawahannya, yang dilengkapi
ketentuan-ketentuan mengenai fungsi, wewenang, tanggungjawab, kewajiban dan hak.
2. Rencana
Rencana/rancang-bangun
adalah diskripsi produk untuk keperluan pembuatan/pembangunan (diskripsi
disebut kualifikasi untuk sumberdaya manusia, spesifikasi untuk sumberdaya
selain sumber daya manusia). Rencana juga mengandung isi diskripsi kegiatan
untuk keperluan penyelenggaraan, dalam arti, cukup lengkap untuk berlangsung. Dalam
pendidikan, rencana yang dimaksud adalah rencana pengembangan sekolah.
3. Program
Program
adalah alokasi sumberdaya kedalam kegiatan-kegiatan, menurut jadwal-waktu dan
menunjukkan tatalaksana yang sinkron. Dengan kata lain program adalah bentuk
dokumen untuk menggambarkan langkah-langkah untuk mewujudkan sinkronisasi dalam
ketatalaksanaan, sebagai salah satu konsekwensi dari koordinasi.
4. Limitasi/Ketentuan-Ketentuan
Input
manajemen yang menyangkut limitasi, yaitu yang muncul dalam berbagai bentuk
ketentuan, seperti yang menyangkut kualifikasi, spesifikasi dan metoda ataupun
prosedur, manual, dan peraturan-perundangan. Input manajemen yang berupa
limitasi ini pada dasarnya merupakan aturan main atau rule of the game yang
perlu diikuti oleh semua warga sekolah agar pengembangan sekolah berjalan
lancar untuk mencapai tujuannya.
5. Pengendalian/Tindakan
Turun Tangan
Input
manajemen yang menyangkut pengendalian/pengawasan, yaitu yang muncul dalam
wujud Tindakan Turun Tangan (T3), untuk meyakinkan bahwa tujuan/sasaran sekolah
yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Sumberdaya
Sumberdaya
merupakan jenis input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses
pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya, proses pendidikan di sekolah tidak
akan berlangsung, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumber
daya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya
selebihnya, dengan penegasan bahwa sumber daya selebihnya tidak mempunyai arti
apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumberdaya manusia.
1. Sumber
Daya Manusia
Sumberdaya
manusia merupakan hasil ciptaan-Nya yang paling sempurna dan karenanya harus
didudukkan pada posisi tertinggi dalam setiap kehidupan organisasi termasuk
organisasi yang disebut sekolah. Karena itu, sumberdaya manusia (kepala sekolah,
guru, siswa, dll.) merupakan jiwa sekolah dan merupakan satu-satunya sumberdaya
aktif, dan sumberdaya selebihnya merupakan sumberdaya pasif. Pada dasarnya, agar
sekolah dapat berjalan secara efektif dan efisien, diperlukan kesiapan
sumberdaya manusia. Kesiapan sumberdaya manusia = kesiapan kemampuan + kesiapan
kesanggupan. Kesiapan kemampuan menyangkut persyaratan kualifikasi dan kesiapan
kesanggupan menyangkut pemenuhan kepentingan sumberdaya manusia.
2. Sumber
Daya Selebihnya
Sumber
daya selebihnya dapat dikelompokkan menjadi: peralatan, perlengkapan, perbekalan,
bahan/material/sumber daya alam, uang, dan perangkat-perangkat lainnya, yang
diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah
6. Strategi
Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah
Pada
dasarnya, mengubah pendekatan manajemen berbasis pusat menjadi manajemen
berbasis sekolah bukanlah merupakan one-shot and quick-fix, akan tetapi
merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua
unsur yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan persekolahan. Oleh
karena itu, strategi utama yang perlu ditempuh dalam melaksanakan manajemen
berbasis sekolah adalah sebagai berikut (Slamet PH, 2000; Direktorat Dikmenum, 2000).
1. Mensosialiasikan konsep manajemen
berbasis sekolah keseluruh warga sekolah, yaitu guru,siswa, wakil-wakil kepala
sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait lainnya (orangtua murid, pengawas,
wakil kandep, wakil kanwil, dsb.) melalui seminar, diskusi, forum ilmiah, dan
media masa. Hendaknya dalam sosialisasi ini juga dibaca dan dipahami sistem, budaya,
dan sumber daya sekolah yang ada secermat-cermatnya dan direfleksikan
kecocokannya dengan sistem, budaya, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk
penyelenggaraan manajemen berbasis sekolah.
2. Melakukan analisis situasi sekolah dan
luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh
sekolah dalam rangka mengubah manajemen berbasis pusat menjadi manajemen
berbasis sekolah. Tantangan adalah selisih (ketidaksesuaian) antara keadaan
sekarang (manajemen berbasis pusat) dan keadaan yang diharapkan (manajemen
berbasis sekolah). Karena itu, besar kecilnya ketidaksesuaian antara keadaan
sekarang (kenyataan) dan keadaan yang diharapkan (idealnya) memberitahukan
besar kecilnya tantangan (loncatan).
3. Merumuskan tujuan situasional yang akan
dicapai dari pelaksanaan manajemen berbasis sekolah berdasarkan tantangan nyata
yang dihadapi (butir 2). Segera setelah tujuan situasional ditetapkan, kriteria
kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya ditetapkan. Kriteria inilah yang
akan digunakan sebagai standar atau kriteria untuk mengukur tingkat kesiapan
setiap fungsi dan faktor-faktornya.
4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu
dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti
tingkat kesiapannya. Untuk mencapai tujuan situasional yang telah ditetapkan, maka
perlu diidentifikasi fungsi-fungsi mana yang perlu dilibatkan untuk mencapai
tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi
yang dimaksud meliputi antara lain: pengembangan kurikulum, pengembangan tenaga
kependidikan dan nonkependidikan, pengembangan siswa, pengembangan iklim
akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah-masyarakat, pengembangan
fasilitas, dan fungsi-fungsi lain.
5. Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi
dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and
Threat). dilakukan dengan maksud mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari
keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai tujuan situasional yang telah
ditetapkan. Analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap
fungsi, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal. yang dinyatakan
sebagai: kekuatan, bagi faktor yang tergolong internal; peluang, bagi faktor
yang tergolong faktor eksternal. Sedang tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya
tidak memenuhi ukuran kesiapan, dinyatakan bermakna: kelemahan, bagi faktor
yang tergolong faktor internal; dan ancaman, bagi faktor yang tergolong faktor
eksternal.
6. Memilih langkah-langkah pemecahan (peniadaan)
persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap
menjadi fungsi yang siap. Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan
ada ketidaksiapan fungsi, maka tujuan situasional yang telah ditetapkan tidak
akan tercapai. Oleh karena itu, agar tujuan situasional tercapai, perlu
dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi.
Tindakan yang dimaksud lazimnya disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang
hakekatnya merupakan tindakan mengatasi makna kelemahan dan/atau ancaman, agar
menjadi kekuatan dan/atau peluang, yakni dengan memanfaatkan adanya satu/lebih
faktor yang bermakna kekuatan dan/atau peluang.
7. Berdasarkan langkah-langkah pemecahan
persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya membuat
rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, beserta program-programnya
untuk merealisasikan rencana tersebut. Sekolah tidak selalu memiliki sumber
daya yang cukup untuk melaksanakan manajemen berbasis sekolah idealnya, sehingga
perlu dibuat sekala prioritas jangka pendek, menengah, dan panjang.
8. Melaksanakan program-program untuk
merealisasikan rencana jangka pendek manajemen berbasis sekolah. Dalam pelaksanaan,
semua input yang diperlukan untuk berlangsungnya proses (pelaksanaan) manajemen
berbasis sekolah harus siap. Jika input tidak siap/tidak memadai, maka tujuan
situasional tidak akan tercapai. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
adalah pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan pengelolaan proses
belajar mengajar.
9. Pemantauan terhadap proses dan evaluasi
terhadap hasil manajemen berbasis sekolah perlu dilakukan. Hasil pantauan
proses dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan penyelenggaraan dan
hasil evaluasi dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan
situasional yang telah dirumuskan. Demikian kegiatan ini dilakukan secara terus-menerus,
sehingga proses dan hasil manajemen berbasis sekolah dapat dioptimalkan.
III. PENUTUP
Mengubah
manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis sekolah (transisi) merupakan
proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak. Transisi ini memerlukan
penyesuaian-penyesuaian, baik sistem (struktur)nya, kulturnya, maupun figurnya,
dengan tuntutan-tuntutan baru manajemen berbasis sekolah. Oleh karena itu, kita
tidak bermimpi bahwa perubahan ini akan berlangsung sekali jadi dan baik
hasilnya. Dengan demikian, fleksibiltas dan eksperimentasi-eksperimentasi yang
menghasilkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam penyelenggaraan manajemen
berbasis sekolah perlu didorong.
DAFTAR
PUSTAKA
Aburizal
Bakrie. 1999. Mengefektifkan Sistem Pendidikan Ganda. (Makalah
Disampaikan pada Rapat Kerja Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional, 29 Maret 1999)
di Jakarta.
Bailey,
William J. 1991. Schhol-Site Management Applied. Lancaster-Basel: Technomic
Publishing CO.INC.
Direktorat
Dikmenum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Bovin,
Olle. 2000. Towards A Learning Organization. Geneva: International
Labour Office.
Cangeni,
Joseph P. & Casimir J. Kowalski & Jeffry C. Claypool. 1984. Participative
Management. New York: Philosophical Library.
David,
Jane L. Synthesis of Research on School-Based Management. (Educational
Leadership, Volume 46, Number 8, May 1989).
Dewan
Perwakilan Rakyat. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat.
Dewan
Perwakilan Rakyat. 2000). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah
Otonomi. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat.
Direktorat
Pendidikan Menengah Umum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku
1). Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Departemen Pendidikan
Nasional.
Poernomosidi
Hadjisarosa. 1997. Naskah 1: Butir-Butir untuk Memahami Pengertian Mengenali
Hal Secara Utuh dan Benar (Bahan Kuliah STIE Mitra Indonesia).
Slamet
PH. 2000. Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah
Disampaikann dalam Seminar Regional dengan Tema "Otonomi Pendidikan dan
Implementasinya dalam EBTANAS" pada Tanggal 8 Mei 2000 di Universitas
Panca Marga Probolinggo, Jawa Timur.
Slamet
PH (2000). Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah pada
Acara Seminar dan Temu Alumni Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Yogyakarta dengan Tema "Pendidikan yang Berwawasan Pembebasan: Tantangan
Masa Depan" pada Tanggal 27 Mei 2000 di Ambarukmo Palace Hotel, Yogyakarta.
Sumarno
dkk. (2000). Otonomi Pendidikan. Kertas Kerja yang Dibahas di
Universitas Negeri Yogyakarta dalam Rangka Memberi Masukan kepada Menteri
Pendidikan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar baik menunjukkan pribadimu !