Full width home advertisement

Travel the world

Climb the mountains

Post Page Advertisement [Top]



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dewasa ini banyak kejadian-kejadian yang kerap muncul dan memberi sohck terapi bagi seseorang yang turut mersakan dapat dari kejadian tersebut. Hal ini didominasi dengan pengaruh globalisasi pemikiran-pemikiran para ahli dan ideologi seseorng yang cenderung individualis. Ini semua sangat berpengaruh bagi kehidupan sehari-hari terutama orang yang memiliki peradaban yang tinggi dan memiliki moralitas agam yang cukup kuat. Seperti halnya umat Islam, akhir-akhir ini digemparkan tentang istilah hukum bagi sesuatu ataupun hal yang belum begitu dimengerti ole khayalak umum. Karena hal ini belum jelas tercantum dan dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Al- Hadits, melainkan datri beberapa kesepakan petinggi-petinggi isalam yang juga kerap disebut ulama. Maka dari itu oarang harus pandai memilih dan memilah apa yang ia mau dapatkan. Tidak menutup kemungkinan suatu hal itu yang ia anggap sudah benar dan halal untuk didapat tetapi tetapi sesungguhnya hal itu di larang dan haram untuk di dapat. Maka dari itu kata oarang tua kita “orang hidup itu jangan semaunya sendiri, tetapi harus punya tata krama dan panutan”, dari situ dapat disimpulkan bahawa dalam memeahami kaidah islam yaitu yang termaktub dalam fiqhiyah kita aharus mempunyai oang yang kits buat teladan yang sepenuhnya orang tersebut lebig bisa mendalami dan lebih memahami kaidah-kaidah fiqhiyah yang soheh di dalam menghadsapi munculnya beberapa temuan hukum yang kontemporer yang sesuai dengan kemajuan zaman.

A.     Rumusan Masalah
  1. Apa saja istilah fiqhiyah yang kerap muncul pada masyarakat golongan umum?
  2. Siapa saja para mujtahid itu dan apa saja tingkatany?
  3. Seberapa besar pengaruhnya dalam perkembangan tarikh tasry?
B.     Tujuan Masalah
  1. Agar mengetahui kaidah istilah fiqhiyah yang sesuai dan benar
  2. Agar mengetahui bebrapa mujtahid dan tingkatanya

BAB II
PEMBAHASAN

 A. Beberapa istilah-istilah fiqhiyah yang sering didapati oleh khyalak umum.
            Sebagai mana dimaklumi bahwa hukum islam terbagi dalam berbagai bidang, seperti ibadah, jinayah, maumalah dan laian-lain. Dalam bidang ini terbagi atas 3 macam hukum yakni taklifi, takhyiri dan wadl’iy. Berdasarkan pengamatan terhadap satuan hukum yang sejenis illahnya dalam hal ini ketentuan hukujm  itu melarang melakukan sesuatu yang membawa kerusakan, maka dilakukanlah ijtihad para ulama’ untuk merumuskan dalam perumusan yang umum yang dapat mencangkup satuan-satuan hukum yang di maksud[1]

BEBERAPA MACAM ISTILAH FIQHIYAH DAN PEMBAGIANYA
1. Maslahah Mursalah.
 a. Pengertian
Maslahah mersalah menurut lughoh /  bahasa yaitu manfaat atau perbaikan. Juga dapat berarti , suatu perbuatan yang mengandung nilai baik dan bermanfaat.
Sedangkan menurut beberapa ulama’ ushul ada bermacam macam ta’rif yang diberikan diantaranya;
Imam Ar-Razi menta’rifkan bahwa maslahah adalah suatu perbutan yang bermanfaat yang telah diperintah oleh musyarri’ (Allah) kepada hambanya tentang pemeliharaan Agamanya, jiwanya, akalnya, keturunanya, dan harta bendanya.
Imam Al-Ghazali menta’rifkan bahwa mashalah mursalah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak mudharat.
Menurut Muhammad Hasbi Ash Shidiqi maslahah ialah memelihara tujuan syara’ dengan jalan menolak swgala sesuatu yang merusakan makhluk.
      Dari ketiga ta’rif diatas rupanya mempunyai tijuan yang sama yaitu, maslahah tiada lain hanyalah memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu, menolak madharat dan meraih yang maslahahnya.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
 b. pembagian maslahah
            Ulma’ ushul membagi membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu:
1. Maslahah Dharuniyah, yaitu segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia, diniyah maupun duniawiayah, dalam arti apabila dharuriyah itu tidak berdiri (tidak terwujud) rusaklah kehidupan manusia di dunia ini. Maslahah dharuriyah tersebut meliputi ;
-         Memelihara agama
-         Memelihara jiwa
-         Memelihara keturunan
-         Memelihara harta benda
-         Memelihara akal.
            Untuk memelihara kokohnya Agama maka disyariatkan ibadah kepada Allah untuk membersihakan jiwa seorang hamba karena menjalankan semua perintah agama Nya dengan dasar iman di dadanya. Sebagaiman firman Allah SWT….
ﻭﻤﺍﺨﻠﻘﺖﺍﻠﺠﻦ  ﻭﻹﻨﺲ ﺇﻵﻠﻴﻌﺒﺪﻭﻦ
Artinya; Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melaiankan supaya mereka menyembaha Ku.

2. Maslahah Hajiyat, yaitu segala bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap terwujud akan tetapi dapat menhindarkan kesulitan dan menghikangkan kesempitan. Termasuk dalam hal hajiyat ini, memeilhara kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama luaslah gerak langkah hidup manusia. Melarang atau mengharamkan rampasan dan penodongan masuk juga kedalam lingkungan hijayat.
3. Maslahah Tahsiniyah adalah mempergunakan segala yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasan yang baik dan semua dicakup oleh bagian mahasinul akhlak. Tahsiniyah ini, juga masuk dalam lapangan ibadah, adat, mua’amalah dan bidang uqubat.
            Adapun maslahah mursalah ialah kebaikan yang tidak disebut atau dijelaskan syara’ untuk mengerjakanya ataupun meniggalkanya dan kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari keburukan. Dalam prakteknya maslahah ini tidak banyak berbeda dengan ihtisan.[2]

2. AL- IHTIHSAN
a. pengertian
            Menurut bahasa istihsan adalah segala sesuatu yang dianggap baik, ihtisan itu barasal dari kata hasana yang berarti baik atau indah. Sedangkan menurut istilah ihtihasan diartikan yaitu berpindah dari sesuatu hukum yang sudah diberikan kepada sebandingnya ke hukum lain karena adanya suatu sebab yang dipandang lebih kuat atau lebih baik.
b. Kehujjahn Ihtihsan.
            Ada dua pendapat dari ulama’ ushul tentang kehujjahan ihtihsan, diantaranya.
 Madzab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa ihtihsan dapat menjadi hujjah, alasan mereka adalah pada firman Allah
ﻮﱠﺘﺒﻌﻮﺍ ﺃﺤﺴﻦ ﻤﺍﺃﻨﺰﻞ ﺇﻠﯦﮑﻤ ﻤﻦ ﺮﺑﮑﻤ
Artinya; Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari tuhanmu (Azzumar, 55)
            Ayat ini menunjukan bahwa Allah SWT menganjurkan kepada kita untuk mengikuti segala sesuatu yang lebih baik menurut Al-Qur’an. Kemudian anjuran ini bersifat amar yang berarti wajib dikerjakan, oleh karena itu maka ihtihsan dipandang sebagai hujjah dalam menetrapkan hukum-hukum syara’
 Madzab syafi’i menganggap ihtihsan tetap tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum-hukum syara’. Dengan keras Imam Syafi’i membantah penggunaan ihtihsan sebagai hujjah, dengan kaidah beliau yang terkenal:
ﻤﻦ ﺍﺴﺘﺤﺴﻦ ﻑﻘﺪ ﺸﺮﻉ
Artinya; Barang siapa yang menetapakan hukum dengan dalil ihtihsan berarti membuat syari’at baru.
            Imam syafi’i beralasan dengan firman Allah:
ﺃﯦﺤﺴﺐ ﺍﻹﻨﺴﺍﻦ ﺃﻦ ﯦﺘﺮﻚ ﺴﺪﻯ
artinya ; Apakah manusia itu mengira bahwa ia dibiarkan begitu saja (tanpa ada pertanggung jawaban). (Al- Qiyamah 36).
Imam syafi’i mengomentari ayat ini, bahwasanya Allah SWT tidak membiarkan manusia itu begitu saja sia-sia. Tetapi Allah memerintahkn sesuatu kepadanya dan melarang sesuatu dan sekaligus menjelaskan kedudukan perintah dan larangan itu melalui Al-Qur’an yang Ia turunkan kepada Nabi Nya secara qat’i. alasan lain yang dikemukakan Imam Syafi’i ialah, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah memberi fatwa dengan dalil atau dasar ihtihsan, sebab semua perkataan Rasul adalah wahyu.[3]
c.pembagian ihtihsan
Ihtihsan pada dasarnya dibagi menjadi dua :
I. Segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang masih terpakai, ini ada beberapa
bagian ;
1. Dari qiyas yang jelas menuju qiyas yang tidak jelas
2. Dari ketentuan nash yang umum menuju hukum yang khusus.
3. Dari hukum yang umum kepada hukum pengecualian.
II. Segi sandaran dasar ihtihsan.
1. Dasar yang berupa qiyas, seperti contoh diatas
2. Dasar yang berupa nash; seperti larangnan menjual barang yang tidak atau belum ada yang dikeluarkan Nabi SAW, akan tetapi beliau memperbolehkan salam.
3. Dasar yang berupa kebiasaan [4]

3. IJTIHAD.
a. pengertian.
Ijtihad adalah usaha dengan sungguh-sungguh menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan Nash (Al-Qur’an dan Al-Hadits).
Mujtahid adalah orang-orang para ahli fiqh yang berusaha dengan sungguh-sungguh dengan seluruh keanggupanya untuk menghasilkan hukum syara’ dengan jalan mengistimbatkan dari Al-Qur’an dan Asunnah[5].
b. Pembagian Ijtihad
            Pada garis besarnya pelaksanaan ujtuhad di bagi dua yakni ijtihad fardiyah dan ijtihad jama’iyah.
1. Ijtihad fardiyah, yakni Ijtihad yang dilakukan oleh orang-perorangan, tanpa melibatkan persetujuan atau pertimbangan mujtahid lain
2. Ijtihad Jma’iyah, yakni Ijtihad dengan melibatkan fihak (mujtahid) lain untuk bermusyawarah menetapkan hukum suatu persoalan.
c. Hal yang boleh dan tidak boleh diijtihadi
            Hukum- hukum yang telah ada nash yang qot’i stubutnya dan dalalahnya, baik dari kitabullah maupun sunnah rasulallah mutawatiroh, tidak dapat dilakukan ijtihad lagi, demikian hal-hal yang sudah ada batasan-batasan dari syara’tidak dapat di ijitihadi lagi karena sudak menjadi ketetapan. Sedangkan sesuatu yang tidak ada nashnya, tidak ada pula ijma’ sahabat atasnya dan tidak pula diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama, maka diperlukanlah ijtihadnya[6].

4. TARJIH.
a. Pengertian.
            Secara lughoh atau bahasa tarjih yaitu menjadikan suatu timbangan. Sedangkan menurut istilah adalah menguatkan salah satu hukum atas hukum yang lainya. Karena banyaknya dalil- dalil tentang hukum-hukum syara’ sehingga terkadang secara lahirnya tidak sama satu sama lain, maka perlu dipertimbangkan yang lebih kuat. Apabila ada dua dugaan yang berlawanan, maka menurut kebiasan yang rasional tentu akan memilih dugaan yang lebih luas. Demikian pula hasi ljtihad para muttahid terkadang kelihatan bertentangan satu sama lain, maka orang yang menarjih itu harus pandai memilih pendapat itu sehingga dapat disimpulkan atau diambil hasil yang menirut kajianya lebih kuat.[7]
            Jadi ahli tarjih bukan membuat atau menetapkan hukum baru dengan sewenang-wenang, tapi hanya mencari mana dari dalil-dalil dan pendapat-pendapat yang ada yang lebih kuat setelah ditinjau dari berbagai sisi. Memilih diantaranya yang ada itu tidak boleh didasri oleh kemauan dan kepentingan hawa nafsu, tetapi harus secara bertangung jawab dalam rangka mencari kebenaran yang dikehendaki dan dituntunkan oleh[8] Allah SWT.
b. Macam-macam tarjih
            Ada empat cara dalam bertarjih, yakni : jurusan sanad, jurusan matan dan jurusan hal-hal diluarnya.
I. Tarjih dari jurusan sanad.
-         Tarjih dengan melihat banaknya perowi yang meriwayatkanya
-         Tarjih dari jutusan ketelitianya
-         Tarjih dari jurusan kepercayaanya.
II. Tarjih daru jurusan matan.
-         Mendahulukan matan haqiqi dari pada matan majaz
-         Mendahulukan yang menunjukan dua jalan dari yang menunjukan satu jalan
-         Mendahulukan amar atau perintah dari pada ibahah
III. Tarjih Dari Jurusan Diluar Hadits
-         Mendahulukan hadits yang didukung oleh dalil lain
-         Mendahulukan yang berdasar kepada perkatan dari pada perbuatan
-         Mendahulukan dalil yang menyerupai dhohirnya[9]

B. PARA IMAM MUJTAHID DAN TINGKATANYA.
            Kemampuan dan minat seseorang terbatas. Bahkan ada orang yang sudah puas dengan menigikut saja. Sejalan dengan kemampuan dan minat para mujtahid membagi beberapa tingkatan dari pada kemampuan dan minat tersebut yang dipunyai. Berikut ini di paparkan tingkatan mujtahid serta nama para mujtahid yang masuk dalam kategori tinggakatanya tersebut.
a. mujtahid mutlaq mustaqil.
Adalah seorang yang mampu membuat kaidah sendiri dalam membuat kesimpulan-kesimpulan hukum fiqh. Atau ketika berfatwa terhadap suatu masalah, mereka menggunakan kaidah-kaidah yang mereka ciptakan sendiri sebagai hasil dari pemahaman mereka yang mendalam terhadap Al-Qur’an dan Sunnah. Yang termasuk dalam kriteria ini adalah; Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H),Al- Malik bin Anas bin Abi amir Al-Ashbahi (93-179 H), Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (150-204 H), dan Al-Imam Ahmad bin Hambal asy Syaibani (164-241).
b. Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil.
Mereka adalah ulama’ yamg memenuhui kriteria sebagi mujtahid mustaqil, akan tetapi akan tetapi ia tidak membuat kaidah-kaidah sendiri dalam menyimpulkan masalah-masalah fiqihnya. Mereka tetap masih menggunakan kaidah-kaidah yang dipakai imam madzab masing-masing dalam ijtihadnya. Yang termasuk diantarnya adalah para murid imam mazhab seperti: Abu Yusuf, Muhammad Zufar dari kalangan mazhab Al-Hanfiyah. Ibnu Qosim, Asyhab dan Asad ibnu Furat dari kalangan mazhab Al Malikiyah. Al-Buwaithi, Al-Muzanni dari kalangan mazhab asy-syafi’iyah. Abu Bakar Al-Atsram, Abu Bakar Al-Mawardi dari kalangan mazhab Al-Hambaliyah.[10]
c. Mujtahid Muqoyyad.
Yaitu meeka para imam mujtahid yang terikat pada suatu mazhab, sekalipun ia sendiri dapat menilai dalil-dalil atau jalan yang ditempuh oleh imam mazhab itu dengan tidak keluar dari kaidah kesepakatan imam mazhab tersebut. Yang termasuk dalam kategori tingatan ini adlah: Al-Hashafi, Al-Thahawi, Al-Abrahi, Ibnu Abi Zaid Al-Qirawani, Abi Ishaq Al-Syiraji, dan Al-Qadli Abu Ya’ala.[11]
d. Mujtahid Tarjih.
Yaitu mereka para ulama’ yang mamou mentarjih (menguatkan) salah satu pendapat dari imam madzhab dari pendapat imam-imam lain, atau daapat mentarjih pendapat dari salah satu imam madzab dari pendapat para muridnya atau pendapat imam lainya. Jadi mereka hanya mengambil satu riwayat dari beberapa riwayat. Yang termasuk dalam kategori tingkatan ini adalah: Al-Qauduri, Al-Murghainani (pengarang kitab al-hidayah) dari kalangan madzab Al-Hanafiyah. Imam Al-Kholil dari kalangan mazab Al- Malikiyah. Al- Rafi’i, Al- Nawawi dari kalangan madzab Al- Syafi’iyah. Al- Qadli Alaudin, Abu al-Khotob Mahfudz bin Ahmad Al-Kalwadzani Al-Bagdati dari kalangan madzab Al- Hambaliyah.[12]

C. PENGARUH DIDALAM PERKEMBANGAN TARIKH TASYRI
            Pada pemaparan masalah diatas banyak sekali pengaruhnya dalam perkembangan dan kemajuan tasyri’ islam. Maka dengan senantiasa kepada mereka yang lebih mempunyai ilmu yang matang dan tinggi harus selau terus melakukan pengembangan sampai hayat mereka. Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman yang serba modern, para mujtahid berusaha menafsirkan dan membuat kesepekatan baru dari pada Al-Qur’an terkait dengan semakin pesatnya tingkat kemajuan zaman dan makin banyanya masalah-masalah yang timbul.
            Dalam penafsiran ini muhammad abduh senantiasa berusaha mencari persesuaian antara Al- Qur’an dan teori-teori ilmu pengetahuan modern. Beliau berpendapat bahwa Al- Qur’an tidak mungkin mangandung ajaran-ajaran yang berlawanan dengan hakikat ilmu. Bahkan, Al- Qur’an mencangkup teori-teori ilmu pengetahuan modern.
            Dalam pewujudan pembaharuan dan pengembangan serta pembentukan hukum ini, para mujtahid tidak terikat oleh salah satu madzab. Mereka mengambil pendapat dari beberapa ulma’ ahli hukum yang lebih sesuai kemaslahatanya umat dan masyarakat di alam modern.[13]

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
            Bahwasanya disetiap bertambahnya tat cara dalam kehidupan maka bertambah pula masalah maupun problematika yang muncul. Maka dari itu harus pandai-pandai mengambil sikap dan langkah yang cepat dan tepat dalam penagambilan sebuah kesepakatan. Dari pemaparan beberapa statemen diatas dapat ditarik benang merahnya yaitu, pemahaman tentang istilah fiqh beserta garis hukumya yang sesuai dengan kaidahnya. Dan haruslah dengan cermat dan teliti, karena persamaan dan berbedaan pendapat kerap sekali menuai pro dan kontra. Maka dari itu fahami secara mendetail agar masalah serta kadar hukumnya dapat diketahui secara jelas dan gamblang


DAFTAR PUSTAKA

Mu’in Drs. Dkk, Ushul Fiqh II, DEPAG RI, Jakarta 1986
H. A. Abdul Majid MA. Ushul Fiqh, Garuda Buana Indah, Pasuruan 1994
Amirudin, H. Zen, Drs, M.Si. Ushul Fiqh,  eLKAF, Surabaya. 2006
Sarwat ahmad, Lc. www.dimensi islam.com, entri 21-01-2008
Tafsir Ahmad, Prof DR, Materi Pendidikan Agama Islam, PT. Remaja            Rosdakarya, Bandung 2001

[1] Mu’in Drs. Dkk, Ushul Fiqh II DEPAG RI, Jakarta 1986
[2] H. A. Abdul Majid MA. Ushul Fiqh, Garuda Buana Indah, Pasuruan 1994 hl. 89
[3] Ibid hl 102-106
[4] Ibid hl. 109
[5] Amirudin, H. Zen, Drs, M.Si Ushul Fiqh Elkaf hl. 189
[6] Ibid hl. 191-193
[7] Amirudin, H. Zen, Drs, M.Si hl 194
[8] Ibid hl 196
[9] op cit hl. 197-198
[10] Sarwat ahmad, Lc. www.dimensi islam.com
[11] Mu’in Drs. Dkk, Ushul Fiqh II DEPAG RI, Jakarta 1986
[12] Sarwat ahmad, Lc. www.dimensi islam.com
[13] Tafsir Ahmad, Prof DR, MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung 2001, hl 339

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar baik menunjukkan pribadimu !

Bottom Ad [Post Page]