Oleh: Afiful Ikhwan*
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama dalam arti manusia hidup dalam interaksi dan interdepedensi sesamanya. Manusia saling membutuhkan sesamanya baik jasmani maupun rohani. Dalam proses interaksi inilah diperlukan nilai-nilai , norma, dan aturan-aturan, karena ia menentukan batasan-batasan dari perilaku dalam kehidupan masyarakat. Jadi dalam hubungan sosial dalam masyarakat itulah secara mutlak adanya nilai-nilai karena tiada nilai-nilai tanpa adanya hubungan sosial. Aturan hidup tersebut tidak selalu diwujudkan secara nyata, tetapi terdapat dorongan dalam diri manusia untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu. Sifatnya abstrak namun dapat dirasakan manfaatnya.
Dalam masyarakat, sebagai suatu Gemeinschafts[1] manusia hidup bersama. manusia sebagai pribadi, dengan sifat-sifat individualitas yang unik bergaul satu sama lain. Kadang-kadang saling mengerti, saling simpati, saling menghormati dan mencintai. Tetapi adapula watak manusia adanya anti pati, salah paham, membenci, mengkhianat dan sebagainya adalah bentuk-bentuk tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang berlaku. Setiap hubungan antar manusia selalu disertai dengan proses penilaian, baik aktif maupun pasif, baik terhadap hubungan sesamanya maupun dengan lingkungan alam semesta. Proses penilaian itu dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar. Realita yang demikian merupakan kecenderungan dan kodrat manusia.
Manusia dalam hubungannya dengan sesamanya dan dengan alam semesta tak mungkin melakukan sikap netral atau apatis. Kecenderungan–kecenderungan untuk simpati, anti pati ataupun netral itu sendiri merupakan suatu sikap. Dan setiap sikap adalah konsekuensi dari pada suatu penilaian, apakah penilaian itu didasarkan azas objektif rasional ataukah subjektif emosional. Di dalam garis penilaian mulai dari pengertian, simpati, kagum, hormat, memuja, cinta, atau sebaliknya salah paham, anti pati, jijik, menghinakan, membenci, bahkan netral sekalipun adalah perwujudan dan pengejawantahan penilaian.
Dalam makalah ini akan dibahas lebih detail masalah bagaimana sistem nilai dalam kehidupan manusia atau bermasyarakat. Baik buruknya dalam kehidupan manusia itu diciptakan oleh manusia itu sendiri (kelompok masyarakat).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Nilai dalam kehidupan?
2. Bagaimana Munculnya Sistem Nilai dalam Kehidupan Manusia?
3. Bagaimana Hubungan Norma dan Nilai dalam Kehidupan Manusia?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Nilai dalam kehidupan.
2. Untuk Mengetahui Munculnya Sistem Nilai dalam Kehidupan Manusia.
3. Untuk Mengetahui Hubungan Norma dan Nilai dalam Kehidupan Manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
SISTEM NILAI DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
A. Pengertian Nilai dalam Kehidupan
Tylor dalam Imran Manan mengemukakan moral termasuk bagian dari kebudayaan, yaitu standar tentang baik dan buruk, benar dan salah, yang kesemuanya dalam konsep yang lebih besar termasuk ke dalam ‘nilai’. Hal ini di lihat dari aspek penyampaian pendidikan yang dikatakan bahwa pendidikan mencakup penyampaian pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai.[2]
Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah penting, maka pemahaman tentang sistem nilai budaya dan orientasi nilai budaya sangat penting dalam konteks pemahaman perilaku suatu masyarakat dan sistem pendidikan yang digunakan untuk menyampaikan sisitem perilaku dan produk budaya yang dijiwai oleh sistem nilai masyarakat yang bersangkutan.
Clyde Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai sebuah konsepsi, eksplisit atau implisit, menjadi ciri khusus seseorang atau sekelompok orang, mengenai hal-hal yang diinginkan yang mempengaruhi pemilihan dari berbagai cara-cara, alat-alat, tujuan-tujuan perbuatan yang tersedia. Orientasi nilai budaya adalah Konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan antar orang dengan lingkungan dan sesama manusia.
Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menjado pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam bentuk abstrak tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola perilaku anggota-anggota suatu masyarakat.[3]
Kluckhohn mengemukakan kerangka teori nilai nilai yang mencakup pilihan nilai yang dominan yang mungkin dipakai oleh anggota-anggota suatu masyarakat dalam memecahkan 6 masalah pokok kehidupan, sebagai berikut:
Masalah pertama, yang dihadapi manusia dalam semua masyarakat adalah bagaimana mereka memandang sesamanya, bagaimana mereka harus bekerja bersama dan bergaul dalam suatu kesatuan sosial. Hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat tersebut dapat mempunyai beberapa orientasi nilai pokok, yaitu yang bersifat linealism, collateralism, dan indiviualism. Inti persoalannya adalah siapa yang harus mengambil keputusan.
· Masyarakat dengan orientasi nilai yang lineal orang akan berorientasi kepada seseorang untuk membuatkan keputusan bagi semua anggota kelompok.
· Masyarakat dengan orientasi nilai yang collateral, orientasi nilai akan berpusat pada kelompok. Kelompoklah yang mempunyai keputusan tertinggi.
· Masyarakat dengan orientasi individualism, semua keputusan dibuat oleh individu-individu. Individualisme menekankan hak tertinggi individu dalam mengambil keputusan-keputusan dalam memecahkan berbagai permasalahan kehidupan.
Masalah Kedua, Setiap manusia berhadapan dengan waktu. Setiap kebudayaan menentukan dimensi dimensi waktu yang dominan yang menjadi ciri khas kebudayaan tersebut. Secara teoritis ada tida dimensi waktu yang dominan yang menjadi orientasi nilai kebudayaan suatu masyarakat, yaitu yang berorientasi ke masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Dimensi waktu yang dominan akan menjiwai perilaku anggota-anggota suatu masyarakat yang sangat berpengaruh dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengejaran kemajuan.
Masalah Ketiga, Setiap manusia berhubungan dengan alam. Hubungan dapat berbentuk apakah alam menguasai manusia, atau hidup selaras dengan alam, atau manusia harus menguasai alam.
Masalah Keempat, Masalah yang mendasar yang dihadapi manusia adalah masalah kerja. Apakah orang berorientasi nilai kerja sebagai sesuatu untuk hidup saja, ataukah kerja untukmencari kedudukan, ataukah kerja untuk menghasilkan kerja yang lebih banyak.
Masalah Kelima, Masalah kepemilian kebudayaan. Alternatif pemilikan kebudayaan yang tersedia adalah suatu kontinum antara pemilikan kebudayaan yang berorientasi pada materialisme atau yang berorientasi pada spiritualisme. Ada kesan bahwa kebudayaan barat sangat berorientasi kepada materialisme sedang kebudayaan timur sangat berorientasi kepada spiritualisme.
Masalah Keenam, Apakah hakekat hidup manusia. Orientasi nilai yang tersedia adalah pandangan-pandangan bahwa hidup itu sesuatu yang baik, sesuatu yang buruk, atau sesuatu yang buruk tetapi dapat disempurnakan.
Ahli lain yang menganalisa nilai inti atau pola orientasi nilai suatu masyarakat adalah Talcots Parson. Dia telah memperkembangkan suatu taksonomi nilai dasar yang dinamakannya ”pattern variables” yang menentukan makna situasi-situasi tertentu dan cara memecahkan dilemma pengambilan keputusan. Lima pattern tersebut adalah:
1. Dasar-dasar pemilihan objek terhadap mana sebuah orientasi berlaku, yaitu apakah pemilihan ditentukan oleh keturunan (ascription) atau keberhasilan (achievement).
2. Kepatutan atau ketak-patutan pemuasan kebutuhan melalui tindakan ekspresif dalam konteks tertentu, yaitu apakah pemuasan yang patut harus disarankan atas pertimbangan perasaan, (affectivity) atau netral perasaan (affective neutrality).
3. Ruang lingkup perhatian dan kewajiban terhadap sebuah objek yaitu apakah perhatian harus jelas dan tegas untuk sesuatu (specificity) atau tidak jelas dan tegas, atau berbaur (diffuseness).
4. Tipe norma yang menguasai orientasi terhadap suatu objek yaitu apakah norma yang berlaku bersifat universal (universlism) atau normanya bersifat khusus (particularism).
5. Relevan atau tidak relevannya kewajiban-kewajiban kolektif dalam konteks tertentu, yaitu apakah kewajiban-kewajiban didasarkan kepada orientasi kepentingan pribadi (self-orientation) atau kepentingan kolektif (collective orientation).
Menurut pandangan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang menggunakan struktur nilai-nilai yang universal yang ada dalam masyarakat manusia. Menurut STA yang dinamakan kebudayaan adalah penjelmaan dari nilai-nilai. Bagian penting adalah adalah membuat klasifikasi nilai yang universal yang ada dalam masyarakat manusia. Dia merasa klasifikasi nilai yang digunakan E. Spranger adalah yang terbaik untuk dipakai dalam melihat kebudayaan umat manusia. Spranger mengemukakan ada 6 nilai pokok dalam setiap kebudayaan, yaitu:
- Nilai teori yang menentukan identitas sesuatu.
- Nilai ekonomi yang berupa utilitas atau kegunaan.
- Nilai agama yang berbentuk das Heilige atau kekudusan.
- Nilai seni yang menjelmakan expressiveness atau keekspresian.
- Nilai kuasa atau politik.
- Nilai solidaritas yang menjelma dalam cinta, persahabatan, gotong royong dan lain-lain.
Keenam nilai ini masing-masing mempunyai logika, tujuan, norma-norma, maupun kenyataan masing-masing.
Menurut STA nilai-nilai yang dominan yang berfungsi menyusun organisasi masyarakat adalah nilai kuasa dan nilai solidaritas.
Didalam hidupnya manusia dinilai atau akan melakukan sesuatu karena nilai. Nilai mana yang akan dituju tergantung kepada tingkat pengertian akan nilai tersebut. Misalnya, seorang yang telah melakukan pembunuhan kemudian ia melakukan pengakuan dosa dihadapan pendeta dan dalam pengakuannya itu ia benar-benar menggambarkan suatu kesalahan atau dosa. Hal ini karena dilatarbelakangi nilai ketuhanan atas nilai baik dan buruk menurut agama, sehingga membunuh itu dosa hukumnya dan yang melakukannya itu salah.
Berbeda dengan orang yang menganggap hal itu suatu pembelaan yang harus ditempuh, maka pembunuhan bukanlah merupakan suatu kesalahan, akan tetapi merupakan kebanggaan yang harus dijunjung seperti budaya ‘carok’ pada etnis Madura (carok merupakan budaya Madura masa silam, yang menjunjung tinggi harga diri keluarga jika kehormatannya diganggu, maka carok adalah penyelesaian yang terhormat)
Di lain pihak, semakin seseorang bersikap setia pada tuntutan-tuntutan moral, semakin ia membuka diri terhadap dunia nilai-nilai dan realitas rohani. Boleh dikatakan bahwa ia menjadi sekodrat dengan mereka. Ia mencintai mereka, dan dengan demikian dapat melihat arti suatu jalan menuju kepada realitas rohani dan nilai yang terutama, yaitu Tuhan. Sehingga ia mengerti arti baik dan buruk atau salah dan benar dalam berperilaku.
Sebelum sesuatu itu ada (sebagai landasan etis) maka nilai baik dan buruk atau dosa dan pahala itu tidak ada, sehingga setiap perbuatan memerlukan sandaran nilai untuk dapat dipertanggung jawabkan atas nilai perbuatan seseorang itu !! Dalam kaidah usul fikihnya ”kullu syain ibahah illa ma dalla daliilu `ala khilaafihi” setiap sesuatu itu adalah kebolehan sehingga sampai ada dalil yang menentukan nilai (haram atau halal).
Jika setiap perbuatan tidak memiliki landasan nilai, maka akan sulit kita menentukan bagaimana kita mengatakan perbuatan itu baik atau buruk, walaupun menurut pandangan etika umum menyatakan perbuatan itu buruk, misalnya orang primitif memiliki kebiasaan tidak memakai baju bahkan hanya memakai koteka (terbuat dari kulit labu untuk menutup kemaluan), dia tidak akan mengerti kalau hal itu dikatakan telah bersalah karena tidak menutup auratnya, mereka justru bingung dengan pernyataan kita, mengapa hal ini salah? baginya tidak masuk akal mengapa orang-orang modern itu melarangnya memakai koteka? kalau hal itu dikatakan tidak etis, etis menurut siapa?
B. Munculnya Sistem Nilai dalam Kehidupan Manusia
Sebuah nilai muncul dari kesepakatan dalam sebuah kaum, kaum primitif memiliki kesepakatan nilai yang menjadi landasan etis untuk mengetahui sesuatu itu baik atau buruk. Dan dalam suatu masyarakat modern setiap tindakannya akan mengacu kedalam perudang-undangan yang telah disepakati bersama dalam sebuah majelis musyawarah yang diperjuangan wakil-wakilnya dalam sebuah parlemen, sehingga menghasilkan sebuah tata hukum positif untuk menilai dan menindak sesuatu boleh atau tidak boleh.
Narkotika, sebelum disepakati sebagai barang haram merupakan benda yang digemari para bangsawan dan para kafilah, artinya barang ini tidak memiliki nilai apa-apa secara hukum (kebolehan) ketika tidak diketahui manfaat dan mudharatnya, sehingga bagi pemakainya merupakan kebolehan (halal) dan tindakannya tidak dikatakan buruk (bersalah). Namun setelah kita sepakat bahwa narkotika itu membahayakan dan menurut hukum positif itu dilarang maka perbuatan si pemakai itu suatu keburukan, bahkan dikatakan sebagai kejahatan yang harus diperangi.
Jadi kesimpulannya adalah setiap perbuatan itu bisa dikatakan baik atau buruk jika perbuatan itu di landasi nilai etis terhadap sesuatu. Bagi orang tidak memiliki landasan dalam tindakannya maka orang tersebut bisa dikategorikan dalam enam gologan yang disebut dalam sebuah hadist, yaitu: (mafhum mukhalafah) yaitu orang yang perbuatannya dibebaskan dari pertanggungjawaban hukum adalah 1) anak kecil (shabiy) sampai baligh (ihtilam), 2) orang tidur (naim) sampai bangun (istiqadh), 3) orang gila (majnun) sampai sadar (yufiqa) [HR Bukhari]; 4) orang yang lupa (nisyan), 5) orang yang tersalah (khata`), dan 6) orang yang dipaksa (mukrah) [HR Ibnu Majah].[4]
Ada beberapa landasan populer yang di gunakan dalam masyarakat dunia antara lain : Etika ketuhanan ( agama. Islam, kristen, hindu, budha, katolik,dll), Etika budaya (etika jawa, sunda, melayu, adat dll), Filsafat (Yunani, Tao, komunis, pancasila, dll), Budaya primitip dll.
Di dalam Islam, pengertian nilai yang dimaksud adalah bahwa manusia memahami apa yang baik dan buruk serta ia dapat membedakan keduanya dan selanjutnya mengamalkannya. Pengertian tentang baik dan buruk tidak dilalui oleh pengalaman, akan tetapi telah ada sejak pertama kali ruh ditiupkan.
“Demi jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) keburukan dan kebaikan” ( QS. 91:7-8)
Pengertian (pemahaman) baik dan buruk merupakan asasi manusia yang harus diungkap lebih jelas, atas dasar apa kita melakukan sesuatu amalan.
Imam Alghazaly menamakan pengertian apriori sebagai pengertian awwali. Dari mana pengertian-pengertian tersebut diperoleh, sebagaimana ucapannya:
“Pikiran menjadi sehat dan berkeseimbangan kembali dan dengan aman dan yakin dapat ia menerima kembali segala pengertian-pengertian awwali dari akal itu. Semua itu terjadi tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan , melainkan dengan nur (cahaya) yang dipancarkan Allah Swt, kedalam bathin dari ilmu ma’rifat. “[5]
Disini, Alghazaly mengembalikannya kedasar pengertian awwali yaitu pengertian ilahiyah, sedang Plato menyebutnya “idea”. Ia mengungkapkan bahwa “idea” hakekatnya sudah ada, tinggal manusia mencarinya dengan cara kontemplasi atau bagi seniman biasa disebut mencari inspirasi. Jelasnya “idea” bukan timbul dari pengalaman atau ciptaan pikiran sehingga menghasilkan idea.
Dan idea-idea ini bersifat murni, tidak mengandung nilai baik atau buruk dan bersifat universal, sebelum turun sampai kepada kesepakatan hukum positif. Misalnya seorang yang mendapatkan ide membuat ilustrasi mengenai lengkuk tubuh manusia adalah murni sebuah ide, tidak ada nilai baik ataupun buruk dalam ide tersebut, kecuali setelah ada kesepakatan bahwa gambar itu mengandung pengaruh yang sangat buruk dalam masyarakat tertentu, akan tetapi sebaliknya gambar itu sekaligus merupakan sesuatu yang baik jika di kaitkan dengan kajian ilmu kedokteran dalam mengungkapkan fakta dalam anatomi tersebut.
Untuk itu agama salah satu jalan menentukan batasan nilai sehingga manusia menjadi mudah dalam menentukan sikap dalam hukum dan tanggung jawab pribadi dan hak orang lain dalam setiap tindakannya. Sebab jika tidak ada asas nilai di khawatirkan segalanya akan menjadi tidak jelas dan menjadikan manusia bertindak semaunya tanpa ada tindakan nilai. Jika hal ini terjadi maka manusia akan bersikap brutal dan berlaku hukum rimba atau menjadi kaum penjajah dan perbudakan.
Hal ini pernah terjadi pada masa penjajahan diseluruh dunia, dimana kaum penjajah menganggap manusia tidak lagi memiliki nilai apa-apa sehingga mereka menjadikan kaum terjajajah sebagai budak yang diperjual belikan dipasar, seperti binatang !!
Demikian pula tanah-tanah yang terhampar dianggap tidak bertuan, dimana saja mereka berpijak disanalah miliknya …..
C. Hubungan Nilai dan Norma dalam Kehidupan Manusia
Sikap menilai atas segala sesuatu adalah didorong oleh faktor-faktor dalam yang sudah merupakan potensi dan kejenuhan manusia. Tetapi bagaimana menilai yang benar, objektif adalah persoalan norma-norma, azas-azas normatif. Kebenaran, kebaikan, kebajikan, kejujuran, cinta sesama, dan sebagainya adalah potensi martabat manusia. Adalah menjadi idealisme manusia untuk merealisasi potensi martabat manusia. Kebaikan manusia diukur dengan kenyataan seberapa jauh dia merealisasi potensi martabat manusia itu di dalam tingkah lakunya. Martabat manusia dan kepribadian seseorang selalu diukur dengan norma-norma yang berlaku dalam arti sejauh mana manusia loyal dengan nilai-nilai yang berlaku. Dengan demikian nilai-nilai dan norma-norma akan membentuk kepribadian manusia. Manusia tak berarti apa-apa tanpa adanya nilai-nilai, norma-norma yang berlaku.
1. Nilai Sosial
Dalam realitas sosial kehidupan bersama, manusia memerlukan aturan hidup agar tercipta keteraturan sosial. Aturan hidup tersebut tidak selalu diwujudkan secara nyata, tetapi terdapat dorongan dalam diri manusia untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu. Ada perasaan-perasaan tertentu jika orang melakukan atau tidak melakukan hal tertentu. Meskipun terlihat abstrak, tetapi dapat dirasakan manfaatnya, bahkan ada yang dapat dihayati secara mendalam dengan intensitas yang tinggi jadi nilai sosial adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, yang berharga, yang mempengaruhi perilaku social dari orang yang memiliki nilai itu.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa nilai sosial memiliki ciri-ciri antara lain : a) merupakan konstruksi masyarakat yang tercipta melalui interaksi antara anggota, b) membantu masyarakat agar berfungsi dengan baik, c) dapat dipelajari atau bukan bawaan dari lahir, d) dapat mempengaruhi emosi, e) dapat mempengaruhi perkembangan pribadi dalam masyarakat, baik secara positif maupun negatif, dll.
Sedangkan fungsi nilai antara lain: a) sebagai seperangkat alat yang siap dipakai untuk menetapkan harga diri pribadi dan kelompok, b) mendorong, menuntun, dan terkadang menekan manusia untuk berbuat baik, c) sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat, d) sebagai arah dalam berfikir dan bertingkah laku secara ideal dalam masyarakat dan, e) menjadi tujuan akhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosialnya.
2. Norma Sosial
Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain dalam kelangsungan hidupnya. Agar kehidupan bersama bisa berjalan teratur, manusia memerlukan aturan-aturan tertentu karena tidak semua orang bias berbuat menurut kehendaknya sendiri. Untuk mencapai keteraturan dan kenyamanan hidup bersama, manusia melakukan kesepakatan tentang apa yang boleh dilakukan, apa yang sebaik tidak boleh dilakukan kepada orang lain. Kesepakatan bersama itulah yang disebut norma social. Jadi norma sosial itu adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai paduan, tatanan, dan kendali tingkah laku yang sesuai dan diterima secara bersama.
Norma-norma, aturan procedural dan aturan perilaku dalam kehidupan social pada hakekatnya adalah bersifat kemasyarakatan. Maksudnya adalah bukan saja karena norma-norma tersebut berkaitan dengan kehidupan social tetapi juga karena norma-norma tersebut adalah pada dasarnya hasil dari kehidupan bermasyarakat. Norma-norma adalah bagian dari masyarakat.
Norma tumbuh dari proses kemasyarakatan, ia menentukan batasan-batasan dari perilaku dalam kehidupan masyarakat. Robert M.Z Lawang membagi norma menjadi dua macam, yaitu adat istiadat (mores) dan kebiasaan (folkway). Sering juga adapt istiadat ini menjadi hokum tertulis yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Adat istiadat maupun hukum memiliki kekuatan mengikat yang tegas. Adapun kebiasaan tidak memiliki kekuatan yang mengharuskan sanksi terhadap pelanggarannya tidak terlalu berat, misalnya cemoohan, ejekan, sinis, atau si pelanggar akan dijauhi oleh yang lain. Biasanya kebiasaan lebih mudah berubah dari pada adat atau hukum.
Norma-norma dalam masyarakat memiliki kekuatan yang mengikat yang berbeda-beda, ada yang lemah dan ada yang kuat. Berdasarkan kekuatan mengikatnya norma dapat dibagi sebagai berikut.
- Cara (Usage); merupakan norma yang menunjuk pada suatu bentuk perbuatan dan memiliki kekuatan yang sangat lemah dibanding dengan kebiasaan.
- Kebiasaan (Folkways); merupakan norma yang memiliki kekuatan yang lebih besar dari cara (usage) dan merupakan perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga dapat dikatakan orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Kebiasaan merupakan perikelakuan yang diterima masyarakat.
- Tata Kelakuan (Mores) ; merupakan norma yang berkembang dari kebiasaan, dimana kebiasaan tersebut tidak semata-mata dianggap sebagai cara berperilaku saja, tetapi bahkan diterima sebagai norma-norma pengatur
- Adat Istiadat (Custom); merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Anggota masyarakat yang melanggarnya akan menderita sanksi yang keras yang kadang-kadang diterima secara tak langsung.
Berdasarkan bidang-bidangnya norma dibagi sebagai berikut:
- Norma Agama, merupakan norma yang mengandung peraturan-peraturan yang sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh seseorang atau masyarakat.
- Norma Kesopanan, merupakan norma yang mengatur seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat.
- Norma Kebiasaan, merupakan tata aturan seseorang atau kelompok dalam melakukan suatu kegiatan yang didasarkan pada tradisi atau perilaku yang berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan.
- Norma Kesusilaan, merupakan salah satu aturan yang berasal dar akhlak atau dari hati nurani sendiri tentang apa yang baik dan apa yang buruk.
- Norma Hukum, merupakan tata aturan yang paling tegas sanksi dan hukumnya yang terdiri dari hukum tertulis (KUHP, Undang-Undang, PP) dan hukum tidak tertulis misalnya hukum adat.[6]
Nilai yang dimiliki seseorang mempengaruhi perilakunya. Sedangkan norma sebenarnya mengatur perilaku manusia yang berhubungan dengan nilai yang terdapat dalam suatu kelompok. Artinya, untuk menjaga agar nilai kelompok agar tetap bertahan, lalu disusunlah norma-norma untuk menjaganya. Oleh karena itu pelanggaran terhadap norma berarti juga pelanggaran terhadap nilai yang dimiliki oleh kelompok atau masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tindakan nilai merupakan hal asasi yang terpenting untuk menentukan sesuatu baik atau buruk. Kalau hal ini sudah jelas maka kita akan bisa berkata perbuatan saya salah atau perbuatan saya baik, maka berdosalah saya jika demikian dan berpahalalah tindakan saya jika demikian. Islam menekankan setiap tindakan harus dilandasi niat lillahita’ala (karena Allah ta’ala) untuk membedakan tindakan etis selain Allah, sehingga jika tidak dilandasi niat karena Allah, maka perbuatannya tidak diterima oleh Allah Swt.
Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat. Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya (HR Bukhari Muslim) Suatu riwayat, ketika Rasulullah Hijrah ke Madinah, diungkapkan masalah niat. Maka barang siapa hijrahnya didasari niat karena Allah dan Rasulullah maka hijrahnya akan sampai diterima oleh Allah dan Rasulullah.Dan barang siapa hijrahnya didasari niat karena kekayaan dunia yang akan di dapat atau karena perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya terhenti (tertolak) pada apa yang ia hijrah kepadanya ( Al hadist shahih).
Nilai sosial memiliki ciri-ciri antara lain : a) merupakan konstruksi masyarakat yang tercipta melalui interaksi antara anggota, b) membantu masyarakat agar berfungsi dengan baik, c) dapat dipelajari atau bukan bawaan dari lahir, d) dapat mempengaruhi emosi, e) dapat mempengaruhi perkembangan pribadi dalam masyarakat, baik secara positif maupun negatif, dll.
Norma-norma adalah bagian dari masyarakat, Norma tumbuh dari proses kemasyarakatan, ia menentukan batasan-batasan dari perilaku dalam kehidupan masyarakat. Norma terbagi menjadi empat macam, yaitu adat istiadat (mores) kebiasaan (folkway), cara (Usage), tata kelakuan (Mores). Lebih spesifiknya: Norma agama, norma kesopanan, norma kebiasaan, norma kesusilaan dan norma hukum.
[1] Bahasa Jerman, artinya Masyarakat
[2] Imran Manan. (1989). Pendidikan adalah enkulturasi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hlm. 19
[4] Ali Imran. 2008. Kontribusi Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum Nasional (Studi Tentang Konsepsi Taklif dan Mas`uliyyat dalam Legislasi Hukum). Semarang: Disertasi Universitas Diponegoro. Hlm. 16
[5] Sangkan SB, Etika Islam dalam http://media.isnet.org/sufi/Opini/Etika.html, diakses 15 Nov 2011.
[6] Afiful Ikhwan, Sistem Nilai dalam Kehidupan Manusia, dalam http://afive07.blogspot.com, diakses 01 Nov 2011
*) Penulis adalah Mahasiswa PPs Strata 2 IAIN Tulungagung Jatim
*) Penulis adalah Mahasiswa PPs Strata 2 IAIN Tulungagung Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar baik menunjukkan pribadimu !