Full width home advertisement

Travel the world

Climb the mountains

Post Page Advertisement [Top]



BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar belakang
Pendidikan adalah proses yang bertumpu pada tujuan. Pendidikan yang dimaksud adalah usaha untuk melestarikan dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus. Jadi pendidikan Islam itu tidak hanya memperhatikan satu aspek saja, tetapi segala aspek yang ada, meliputi aspek jasmani, rohani dan aspek akal pikiran serta aspek akhlaq. Oleh karena itu setiap proses pendidikan yang akan dilaksanakan harus memperhatikan beberapa hal.
Harapan tercapainya sebuah keberhasilan dalam suatu aktifitas pendidikan Islam dalam mencapai tujuan yang dirumuskan, banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: faktor tujuan, faktor pendidik, faktor anak didik, faktor alat dan metode, dan faktor lingkungan.[1]
Di antara kelima faktor tersebut tidak bisa lepas satu sama lain, di dalam prosesnya saling berkaitan erat sehingga membentuk satu sistem yang saling mempengaruhi. Lebih lanjut Hj. Melly Sri Sulastri menjelaskan bahwa: Pendidikan perlu diartikan sebagai upaya sadar mengembangkan seluruh potensi keperibadian individu manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, guna mencapai kehidupan pribadi sebagai Nafsun Thaibun warabbun ghaffur, kehidupan keluarga yang Ahlun thaiyibun warabbun Ghafur, kehidupan masyarakat sebagai Qoryatun Thaibatun wararabbun ghafur serta kehidupan bernegara sebagai Baldatun thaibatun warabbun ghafurr. Gambaran ini akan terjadi jika acuan pendidikan adalah pendidikan al-akhlak al-karimah dengan pembinaan amar ma 'ruf nahi munkar.[2]
Dari penjelasan di atas itulah maka pendidikan Islam menjadi suatu tuntutan dan kebutuhan mutlak umat manusia dan bertujuan sebagai berikut:
a. Untuk menyelamatkan anak-anak, dari ancaman dan hilang sebagai korban hawa nafsu para orang tua terhadap kebendaan, sistem materialiatis non humanistis, pemberian kebebasan yang berlebihan dan pemanjaan.
b.  Untuk menyelamatkan anak-anak, di lingkungan bangsa-bangsa sedang berkembang dan lemah dari ketundukan, kepatuhan dan penyerahan diri kepada kedhaliman dan penjajahan.

Semua itu akan tercapai dengan pendidikan Islam yang menanamkan kemuliaan dan perasaan terhornat ke dalam jiwa manusia, bahkan kesungguhan untuk mencapainya. Pendidikan Islam memegang peranan yang amat penting dan strategis dalam rangka mengaktualisasikan ajaran-ajaran, nilai-nilai luhur dan mensosialisasikan serta mentransformasikan nilai-nilai itu dalam dunia pendidikan, yang selanjutnya akan dimanifestasikan oleh peserta didik pada kontek dialektika kehidupan, untuk membentuk insan kamil.
Dalam kerangka aktualisasi pendidikan islam disini akan dibahas pemikiran dua orang tokoh yang ada pada zaman yang berbeda. Pertama adalah tokoh pendidikan agama Islam pada era Keemasan Islam dimasa bani Abbasiyah yang samapi hari ini menjadi acuan sebagaian besar umat Islam di Indonesia yaitu Imam Al Ghazali. Kemudian yang kedua adalah tokoh pendidikan Agama Islam era modern (abad XIX) yaitu K.H Hasim As’ari.

B. Rumusan masalah
Dalam makalah ini akan dibahas tentang :
a.      Bagaimana Konsep pendidikan menurut Imam Al Ghazali?
b.      Bagaimana Konsep Pendidikan menurut K.H Hasim As’ari?














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Pendidikan Al-Ghazali
1.      Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama Lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara. Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendididikannya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
Dimasa kanak-kanak Imam Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhaammad Ar-Radzikani di Thus kemudian belajar kepada abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi. Kemudian Imam Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan dimasanya, yaitu Al-Juwaini, Imam Al-Haramain (W.478 H/1085 M). Dari beliau ini dia belajar Ilmu Kalam, Ilmu Ushul dan Ilmu Pengetahuan agama lainnya. [3]
Keikutsertaan Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama dan para intlektual dihadapan Nidzam Al-Mulk membawa kemenangan baginya. Hal ini tidak lain berkat ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu penegetahuannya, kefasihan lidahnya dan kejituan argumentasinya. Nidzam al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan beliau ini dan berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad. Peristiwa ini terjadi pada tahun 484/1091 M.
Ditengah-tengah kesibukannya mengajar di Bahgdad beliau masih sempat mengarang sejumlah kitab seperti : Al Basith, Al Wasith, Al-wajiz, Khulasah Ilmu Fiqh, Almunqil fi Ilm Al-Jadal (Ilmu Berdebat), Ma’khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tashin al Ma’akhidz dan Al-Mabadi’ wa al-Ghayat fi fann al-Khalaf. Namun kesibukan dalam karang mengarang ini tidaklah mengganggu perhatian beliau terhadap Ilmu Metafisika dan beliau selalu meragukan kebenaran adat-istiadat warisan nenek moyang di mana belum ada seorang pun yang memeperdebatkan soal kebenarannya atau menggali asal usul dari timbulnya adat istiadat tersebut .
Kitab pertama beliau karang setelah kembali ke Baghdad ialah kitab Al-Munqidz Al-Dholal (Penyelamat dari Kesesatan). Kitab ini dianggap sebagai salah satu buku refrensi yang penting bagi sejarawan yang ingin mendapatkan pengetahuan tentang kehidupan Imam Ghazali.
Demikianlah yang dapat kita amati mengenai sejarah kehidupan Imam Ghazali dalam siklus purna yang berhenti di tempat semula Beliau dilahirkan di  Thus dan kemabali ke Thus lagi setelah belaiau melakukan pengembaraan dan akhirnya meninggal kehidupan ilmiah sebagai pengajar dan penasihat diakhirinya sebagai  guru dan penasihat pula.
Dari uraian tersebut diatas, dapat diketahui dengan jelas bahwa Al-Ghazali tergolong ulama yang taat berpegang pada Al-Qur’an Al-Sunnah, taat menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Ia banyak mempelajari berbagai pengetahuan umum seperti ilmu Kalam, filsafat, Fiqih, Tasawuf dan sebagainya, namun pada akhirnya ia lebih tertarik kepada fiqih dan Tasawuf.
2.      Konsep Pendidikan
Untuk mengetahui konsep pendidikan Islam Al-Ghazali dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, pendidik, peserta didik, evaluasi, berikut ini:  
a.      Tujuan
Tujuan pendidikan Al-Ghazali pada hakikatnya adalah “bagaimana seeorang itu bisa mendekatkan diri kepada Allah”, yakni sesuai dengan yang terdapat dalam Al-Qur’an surat AZ-Dzariat 56 Allah berfirman :
artinya :“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
            Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan baru terealisasi dalam sebuah kegiatan, bila ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya.
            Dalam Ihya Ulumuddin Al-Ghazali merumuskan tentang tujuan pendidikan ada tiga yaitu:
1)      Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu saja. Al-Ghazali mengatakan:
“Apabila engkau mengadakan penyelidikan /penalaran terhadap ilmu pengetahuan, maka engkau akan melihat kelezatan padanya, oleh karena itu mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri”[4]
               Dari perkataan tersebut jelas bahwa Al-Ghazali mencurahkan tenaga dan pikirannya terhadap ilmu pengetahuan yang mengandung kelezatan intelektual dan spiritual yang akan menumbuhkan roh ilmiah, sehingga Al-Ghazali, sangat menganjurkan kepada pencari ilmu agar menjadi orang yang cerdas, pandai berpikir, dapat menggunakan akal secara optimal agar dapat menguasai pengetahuan itu tersebut.   
2)      Tujuan utama pendidikan adalah pembentuk akhlak
Al-Ghazali mengatakan :
Tujuan murid mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang, adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya”.   
               Dari peryataan diatas, dengan jelas menerangkan bahwa Al-Ghazali menghendaki keluhuran rohani, keutamaan jiwa, kemuliaan akhlak dan kepribadian yang kuat, merupakan tujuan dari pendidikan bagi kalangan manusia muslim, karena akhlak adalah asfek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu Negara.
               Peran motif pada hakikatnya yang harus difungsikan agar manusia bisa membedakan antara nilai baik dan buruk, benar dan salah, dalam eksistensi akhlak, al-Ghazali menjelaskan sebagaimana nasihat yang disampaikan terhadap murid tercintanya melalui kitab Ayyuh al-Walad yang meliputi:
·         Pertama, berakidah yang benar, tanpa dicampuri bid’ah.
·         Kedua, bertobat dengan tulus, dan tidak mengulang lagi perbuatan hina (dosa) itu.
·         Ketiga, meminta keridhaan dari musuh-musuhmu sehingga tidak ada lagi hak orang lain yang masih tertinggal padamu.
·        Keempat, mempelajari ilmu syariah, sekedar yang dibutuhkan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah. Juga pengetahuan tentang akhirat yang dengannya kau dapat selamat.[5]
3)      Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagian dunia dan akhiraat.
                     Al-Ghazali mengatakan :
Dan sungguhnya engkau mengetahui bahwa hasil pengetahuan adalah mendekatkan diri kepada Tuhan pencipta alam, menghubungkan diri dan berhampiran dengan ketinggian malaikat, demikian itu diakhirat.Adapun didunia adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh pemerintahan, bagi pinpinan Negara dan penghormatan menurut kebiasaanya.”
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Al-Ghazali sangat memperthatikan kehidupan dunia dan akhirat sekaligus, sehingga tercipta kebahagian bersama didunia dan akhirat . Selain  itu juga  Al-Ghazali mengatakan, soerang muslim tidak boleh hanya memandang satu sisi saja dunia atau akhirat saja, tetapi haruslah  memperhatikan keduanya . Jadi menurut  Al-Ghazali ruang lingkup pendidikan yang diharapkan bagi masyarakat muslim pada khususnya, tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau akhirat saja, akan tetapi harus mencakup kebahagian dunia dan akhirat.
Berangkat dari penjelasan tersebut Al-Ghazali merumuskan tujuan pendidikan Islam kepada tiga aspek yaitu:
a)Aspek keilmuan, yang mengantarkan agar senang berpikir, menggalakkan penelitian, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
b)      Aspek kerohanian, yang mengantarkan manusia agar berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur dan teampil dan berkepribadian kuat.
c)Aspek ketuhanan, yang mengantarkan manusia  beragama mendapat agar dapat mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
            Dari rumusan tujuan pendidikan diatas  dapat diambil sebuah pemahaman bahwa tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali adalah :”Tujuan pendidikan Islam adalah menyiapkan generasi-generasi yang  cakap melakukan pekerjaan dunia dan amalan akhirat, sehingga terciptanya kebahagiaan bersama dunia akhirat”. Tujuan pendidikaan tersebut senada dengan tujuan pendidikan Indonesia yang terdapat dalam UU SIKDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 adalah: “Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[6]
Hal yang senada juga terdapat dalam buku “Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam” oleh Abuddin Nata  yaitu tujuan akhir dari pendidikan menurut Al-Ghazali adalah :
·        Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
·        Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat .
b.      Kurikulum
Berbicara tentang kurikulum dalam konsep pendidikan Al-Ghazali terkait dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Al-Ghazali sangat intens dalam membahas tentang ilmu. Menurutnya, ilmu dan amal merupakan satu mata rantai ibarat setali mata uang yang dengannya manusia dapat selamat ataupun binasa. Dengan ilmu dan amal pula diciptakan langit dan bumi beserta segala isinya.
            Dalam hal tersebut  Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan kepada tiga bagian yaitu:
1.      Ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu –ilmu pengetahuan yang tidak ada manfaatnya, baik dunia maupun akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum, dan ilmu ramalan Dalam pandangannya Al-Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang menimbulkan mudharat (kesusahan).
2.      Ilmu-ilmu terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa seta ilmu yang menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya, ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada kepada Allah dan melakukan suatu yang diridhainya, serta dapat membekali hidunya di akhirat.
3.      Ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam, karena dengan mempelajarinya secara mendalam dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemrautan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat membawa kekafiran, seperti ilmu filsafat.Namun mengenai illmu filsafat Al-Ghazali membagi menjadi ilmu matematika,ilmu logika, ilmu ilahiyat, ilmu fisika, ilmu politik dan ilmu etika.[7]
Melihat dari klasifikasi ilmu yang diberikan Al-Ghazali, bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya. Sehingga dalam menyusun kurikulum pelajaran Al-Ghazali memberikan perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika.Tetapi juga tidak meninggalkan ilmu yang menanamkan keahlian, namun memberikan ketentuan sesuai dengan kebutuhan.
c.         Metode
           Mengingat pendidikan sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid, Al-Ghazali dalam tulisan-tulisannya banyak mengulas tentang hubungan yang mengikat antara keduanya. Menurutnya hubungan antara guru dan murid sangat menentukan keberhasilan sebuah pendidikan selain akan memberikan rasa tenteram bagi murid terhadap gurunya.
           Pekerjaan mengajar dalam pandangan Al-Ghazali adalah pekerjaan yang paling mulia sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Seperti dikemukakannya: “Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian tubuh yang paling berharga adalah hatinya”. Adapun guru adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyepurnakan serta menyucikan hati, hingga hati itu menjadi dekat kepada Allah SWT.[8]
           Oleh karena itu, mengajarkan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama ia mengajarkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk ibadah kepada Allah, dan kedua menunaikan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dikatakan khalifah Allah, karena Allah telah membukakan hati seorang ‘alim dengan ilmu, yang mana  dengan itu pula seorang ‘alim menampilkan identitasnya. Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi selain sebagai perantara antara hamba dengan makhluk-Nya. Dalam mendekatkan diri kepada Allah, menggiringnya kepada surga tempat tinggal abadi.
           Al-Ghazali menganjurkan agar seorang guru bertindak sebagai seorang ayah dari seorang muridnya. Bahkan dalam pandangannya hak guru atas muridnya lebih besar dibandingkan hak orang tua terhadap anaknya. Ayah adalah sebab dari lahirnya wujud yang fana, sedangkan guru merupakan sebab bagi lahirnya wujud yang abadi.
           Karena guru menunjukkan jalan yang dapat mendekatkannya kepada Allah baik guru agama maupun guru umum. Kesucian hati seorang guru juga menjadi prioritas utama, karena seorang guru bagi murid ibarat bayangan kayu. Bayangan tidak mungkin lurus bila kayunya bengkok.
           Prinsip metodologi pendidik modern selalu menunjukkan aspek berganda. Satu aspek menunjukkan proses anak belajar dan aspek menunjukkan guru mengajar dan mendidik. Tidak itu saja bahkan berbeda orangnya maka berbeda pula metode yang digunakan dan yang dimunculkannya.
           Tidak terlepas dari itu sebagai tokoh pendidikan Islam, Al-Ghazali pun mempunyai metode tersendiri dalam menyampaikan pelajaran kepada anak didiknya. Perhatian  Al-Ghazali tentang metode ini lebih ditujukan pada metode khusus bagi pelajaran agama untuk anak-anak.
           Filosof besar ini menangatakan perlunya memilih metode yang tepat dan sejalan dengan sasaran pendidikan. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi ilmu dalam beberapa himpunan, bagian-bagian, dan cabang-cabangnya. Berdasarkan hadis Nabi saw., “Sampaikan ilmu sesuai dengan kadar kemampuan akal”, Al-Ghazali menganjurkan agar filsafat atau ilmu lainnya diberikan sesuai dengan tabiatnya, sesuai dengan kemampuan dan kesiapan manusia. Tidak seperti “memberi daging kepada anak kecil
           Adapun metode yang diguanakan oleh Al-Ghazali adalah metode keteladanan bagi mental anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifata-sifat pada diri mereka. Maksudnya adalah  memberikan contoh secara perbuatan. Hal tersebut sesuai dengan prinsif-prinsif guru yang baik.
           Untuk melakukan hal tersebut Al-Ghazali memberikan asas-asas metode dalam mengajar dan mendidik yang sangat perlu diperhatikan oleh seorang guru dalam mengajar, yaitu: 
a)         Memperhatikan daya pikir anak
                    Al-Ghazali mengatakan: Seorang guru hendaklah dapat memperkirakan daya pemahaman muridnya dan jangan diberikan pelajaran yang belum sampai akal pikirannya, sehingga ia akan lari pelajaran atau tumpul otaknya”[9] Maksudnya adalah seorang guru harus paham dan tahu mana murid yang cerdas dan lemah pemahamannya dan yang mudah menangkap pelajaran serta kemampuan murid dalam menerima pelajaran yang disampaikan juga mana pelajaran yang pas dan cocok untuk diajarkan sesuai dengan kondisi dan daya pikir anak tersebut.
                    Hal tersebut perlu diperhatikan agar pelajaran yang disampaikan tersebut bisa dipamami anak tersebut, dicerna serta diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga membawa manfaat dalam dirinya.
b)        Menerangkan pelajaran dengan sejelas-jelasnya.
       “Seorang anak yang masih rendah tingkat berpikirnya, hendaklah diberikan pelajaran dengan keterangan yang jelas dan pantas baginya. Dan janganlah disebutkan  padanya bahwa dibalik keterangan ini masih ada keterangan atau pembahasan yang lebih mendalam yang tidak disampaikan padanya 
       Maksudnya adalah sorang guru dalam memberikan penjelasan ketika menyampaikan pelajaran haruslah dengan penjelasan yang jelas dan terperinci tanpa ada yang disembunikan dari nya. Hal tersebut sangat diperlukan sebab setiap anak yang didik itu berbeda kecerdasannya dan pemahannya .Selain itu untuk menghindarkan kesalahan dalam mengamalkan pelajaran yang telah dipelajarinya. 
c)         Mengajarkan ilmu pengetahuan dari yangkongkrit kepada yang abstrak.
       “Seorang guru jangan lah meninggalkan nasehat sedikitpun, yang demikian ituadalah melarangnya mempelajari ilmu pengetahuan pada tingkat sebelum berhak pada tinggkat itu, dan mempelajari ilmu pengetahuan yang tersembunyi (abstrak) sebelum menguasai ilmu yang kongkrit.
       Maksudnya adalah dalam mengajarkan ilmu pengetahuan harus lah dimulai dari ilmu yang kongkrit baru menuju ilmu yang abstrak. Atau dimulai dari pelajaran yang mudah baru menuju pelajaran yang sulit, umum kepada yang khusus, global ke yang terperinci, dari yang dasar kepada yanga bercabang .
       Hal tersebut dilakukan adalah untuk menghindarkan ketidak pahaman anak dalam memahami pelajaran yang dipelajarinya, dan menghindari mendangkal nya otak dan melemahkan pikirannya serta mengaburkan pemahamannya.  
d)        Mengajarkan ilmu dengan cara ber angsur-angsur. 
       “Seorang guru yang mengajar satu pak pelajaran hendaklah memberikan kesempatan pada murid-muridnya utuk mempelajari pelajaran yang lainnya. Dan apabila guru mengajar beberapa ak pelajaran, maka hendaknya ia memelihara kemajuan muridnya dengan cara berangsur-angsur dan setingkat demi setingkat.”
       Maksudnya adalah seorang guru dalam mengajar harus memperhatikan kemampuan pemikiran dan kesediaan muridnya dalam menerima pelajaran serta dalam memerikan pelajaran tersebut dengan cara berangsur-angsur bukan sekaligus dengan memperhatikan hal tersebut.
e)         Memberikan latihan-latihan.
       Akhir dari segala proses pembelajaran yang diberikan oleh guru dalam mengajar adalah memberikan latihan kepada muridnya. Hal tersebut bertujuan adalah untuk mengetahui tingkat kemampuan dan pemahaman pelajaran yang diampaikan. Latihan tersebut bisa berupa dengan pertanyaan dan pengamalan tulisan dan non tulisan 
f)          Melindungi anak dari pergaulan bebas (buruk).
                    Pokok dari pendidikan adalah menjaga dan melindungi anak dari pergaulan-pergaulan yang buruk. Sehingga Al-Ghazali memberikan perhatian besar tentang pergaulan anak-anak sebab sangat mempunyai pengaruh yang sangat doniman perkembangan anak. Oleh karena itu seorang guru harus bisa mengontrol pergaulan anak-anak didiknya agar terhindar dari pergaulan yang buruk.
g)         Memberikan pengertian dan nasihat-nasihat
                    Nasehat perlu diberikan kepada siswa dengan tujuan agar mereka bisa berjalan sesua dengan tuntunan agama, dan menghindar kan dari kenakanlan dan maksiat. Selain itu adalah untuk memperteguh keyakinannya kepa Allah ta’ala dan apa yang dipelajarinya.
       Dengan demikian metodologi pengajaran dan pendidikan sangat diperlukan baik dewsa ini juga, agar pendidikan anak tersebut terarah dan membuahkan hasil yang diinginkan sesuai dengan tujuan pendidikan.[10]
d. Pendidik
          Berbicara tentang pendidik Al-Ghazali menggunakan istilah pendidik dengan berbagai kata seperti, al-Mu’allim (guru), al-Mudarris (pengajar), al-Muaddib (pendidik ) dan al-Walid (orang tua).
          Pendidik adalah orang yang diberi tugas untuk memberikan pengetahuann kepada peserta didik agar menjadi orang berilmu pengetahuan dan ber akhlak mulia serta bertanggung jawab. Oleh karena itu Al-Ghazali memberikan ketentuan bahwa seorang pendidik itu adalah orang yang cerdas dan sempurna akalnya, juga yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya.
Selain dari itu seorang guru /pendidik haruslah memiliki sifat-sifat  seperti :
1)      Harus mempunyai sifat kasih sayang.
          Sifat ini sangat penting bagi seorang pendidik sebab dengan sifat tersebut dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tentram pada diri murid terhadap gurunya. Hasilnya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajkarkan oleh seorang guru.
Selain dari itu seorang pendidik juga harus bisa menjadi pengganti orang tua anak didiknya, yakni mencintai anak didiknya seperti anaknya sendiri.Sehingga hubungan antara guru dengan anak didiknya, seperti hubungan naluriah antara orang tua dengan anaknya menjadi harmonis dan akan mempunyai pengaruh yang positif terhadap perkembangan dan dan pendidikannya, dan menjauhi perkataan yang kotor, perkataan yang kasar, muka masam, dan lain yang akan menggagu pemikirannya dalam belajar.
2)      Ikhlas
          Menurut Al-Ghazali seorang guru atau pendidik adalah orang yang mempunyai keikhlasan yang tingi serta kesabaran. Sehingga seorang pendidik dalam memberikan pelajaran terhadap anak didiknya tidak boleh menuntut upah atas apa yang ia ajarkan terhadap anak didiknya.dan seogianya seorang pendidikan meniru Rasulullah SAW, mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar tersebut dapat mendekatkan diri kepada Allah.
          Demikian pula dengan seorang guru atau pendidik tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterimakasih kepada muridnya atau memberikan imbalan kepada muridnya apabila berhasil membina mentalnya.
3)    Menjadi teladan bagi anak didik.
         Al-Ghazali mengatakan “Seorang guru mengamalkan ilmunya, dan menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala. Padahal yang mempunyai mata kepala lebih banyak”.
         Dari perkatan Al-Ghazali tersebut seorang pendidik tidak hanya pandai berbicara dihadapan anak didiknya tetapi harus bisa memberikan contoh pada anak didiknya.   

4)    Menjadi pengarah bagi anak didik.
              Selain dari contoh teladan bagi anak didik sorang pendidik harus bisa menjadi pengarah bagi anak didiknya. Dan seorang pendidik tidak boleh membiarkan anak didiknya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi, sebelum ia menguasai pelajaran yang sebelumnya. Serta tidak boleh membiarkan muridnya lalai kepada Allah .      
5)         Bersikap lemah lembut.
                 Dalam kegiatan mengajar hendaknya seorang guru bersikap lemah lembut dan mempunyai cara-cara yang simpatik dan halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian dan makian. Selain itu seorang guru juga tidak boleh mengekspos atau menyebarluaskan kesalahan atau aib seorang murid pada tempat umum, karena itu dapat menyebabkan jiwa anak akan keras, membangkan dan menentang gurunya. Dan akan mengakibatkan proses pembelajaran tidak akan terlaksana dengan baik. 
6)         Dapat memahami kondisi anak didik (potensi).
                 Setiap murid pasti mempunyai latar belakang keluarga yang berbeda, begitu juga dengan kemampuan yang dimilikinya antara murid yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu seorang guru haruslah bisa memahami perbedaan tersebut, dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimilikinya. Sehingga Al-Ghazali menganjurkan memberikan batasan pelajaran yang diberikan sesuai dengan batas kemampuan dan pemahaman muridnya. Dan tidak memberikan pelajaran diluar kemampuan  dan pemahamannya.
7)         Memahami Psikologis Anak.
              Perbedaan usia akan mepengaruhi tingkat kemampuan,  kecerdasan dan bakat seorang murid. Oleh karena itu seorang guru haruslah bisa memahami kecerdasan, bakat, tabi’at serta kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Sehingga memudahkan bagi guru dalam memberikan pelajaran yang sesuai pada  muridnya
8)         Istiqomah konsiten dengan apa yang diucapkan.
            Seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh pada apa yang di ucapkanya, serta berupaya merealisasikannya dalam kehidupannya. Sehingga Al-Ghazali mengingatkan seorang guru jangan sekali-kali melakukan sesuatu perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang diucapkanya. Sebab bila seorang guru melakukan hal tersebut akan menghilangkan wibawanya sebagai seorang guru[11].
9)         Menghormati kode etik guru
            Al-Ghazali mengatakan :“Seorang guru yang memegang satu mata pelajaran sebaiknya jangan menjelek-jelekkan mata pelajaran lainnya dihadapan murid-muridnya.”
Maksud ucapan Al-Ghazali adalah sorang guru tidak boleh mengejek mata pelajaran yang guru lain ajarkan dalam satu majelis tersebut walaupun guru tesebut tidak senang dengan mata pelajaran tersebut.
10)    Tidak boleh menuntut upah
            Karena  mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajarnya itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW. yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat bertaqarrub kepada Allah. Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental dan jiwa.[12]
e.  Peserta didik
            Berbicara tentang Anak didik Al-Ghazali menggunakan istilah anak dengan beberapa kata seperti dengan kata al-shoby (Kanak-kanak), al-Mutaallim (Pelajar), dan Thalabul Ilmi(Penuntut Ilmu Pengetahuan). Oleh karena itu istilah anak didik dapat diartikan ; anak yang sedang mengalami perkembangan jasmani dan rohani sejak awal terciptanya dan merupakan objek utama dalam pendidikan.
Selain dari itu peserta didik juga dapat diartikan  adalah orang yang menjalani pendidikan dan untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu kesempurnaan insani dengan mendekatkan diri pada Allah dan kebahagian didunia dan diakhirat maka jalan untuk mencapainya diperlukan belajar dan belajar itu juga termasuk ibadah, juga suatu keharusan bagi peserta didik untuk menjahui sifat-sifat dan hal-hal yang tercela, jadi peserta didik yang baik adalah peserta didik yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1)   Peserta didik harus bersikap rendah hati dan tidak takabbur dan   menjahui sifat-sifat yang hina (bersih jiwanya )
             Al-Ghazali mengatakan kebersihan yang dimaksud adalah kebersihan hati. Sebab bila hati tidak bersih maka ilmu yang sedang dipelajari tidak akan bisa masuk dan bermanfaat bagi simurid.  
2)      Peserta didik harus menjauhkan dari persoalan –persoalan duniawi .
Al-Ghazali mengatakan soerang murid yang sedang belajar haruslah mengurangi  ketertarikannya terhadap dunia dan masalah-masalah yang mengganggu proses belajar. Hal tersebut sesuai dengan ucapan Al-Ghazali “Ilmu tidak akan memberikan sebagian darinya kepadamu sebelum kamu memberikan seluruh dirimu kepadanya”
3).  Peserta didik hendaknya bersikap rendah hati (tidak sombong).
                Sifat rendah hati atau tawadhu’ adalah sifat yang sangat ditekan oleh Al-Ghazali kepada seorang murid yang sedang mencari ilmu. Al-Ghazali juga  menekankan kepada seorang murid yang sedang belajar agar tidak boleh bersikap lebih dari gurunya ,sehingga tidak mau menyerah kan segala persoalan ilmu pada gurunya dan tidak mau mendengarkan nasehat gurunya.
Pada hal murid yang baik adalah murit yang menyerahkan permasalahn ilmu kepada gurunya dan mendengarkan nasehat gurunya, laksana seorang pasien yang mendengarkan arahan dokternya. 
3)      Peserta didik hendaknya jangan mempelajari ilmu-ilmu yang saling  berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan.
            Dimaksud ilmu yang saling bertentangan adalah sorang murid yang baru tahab belajar hendaknya jangan mempelajari aliran –aliran yang berbeda, atau ikut dalam berbagai perdebatan yang membingingkan. Karna hal tersebut akan membingungkan pemahaman anak didik terhadap ilmu yang sedang dipelajarinya.    
 5)  Peserta didik tidak hanya mempelajari  yang wajib
            Seorang pelajar harus mendahulukan mempelajari ilmu pengetahuan yang wajid dari pada yang lain. Seperti mepelajari alqur’an misalnya lebih uatama dari pada yang lain, sebab ia menyang kut dengan ibadah yang lain seperti sholat.
6)   Peserta didik hendaknya mempelajari ilmu pengetahuan secara bertahap
Seorang murid menurut Al-Ghazali dalam mempelajari ilmu pengetahuan adalah dengan cara bertahap.  Yakni tidak mempelajari satu ilmu pengtahuan secara sekaligus tetapi harus mempelajari ilmu tersebut secara bertahap sesuai dengan urutan, serta memulai mempelajari ilmu-ilmu agama terlebih dahulu baru pada mempelajari ilmu yang lain karna itulah yang lebih utama. Dan jangan sekali- kali   mempelajari satu ilmu dari yang besar ke yang kecil, yang khusus ke yang umum sunah ke wajib dan susah ke yang mudah tapi malah harus sebaliknya.
7)   Peserta didik hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum menguasainya
Maksudnya adalah seorang murid yang sedang belajar sebelum memahami ilmu yang satu jangan berpindah kepada mempelajari ilmu yang lain. Atau sebelum waktunya mempelajari ilmu pengetahuan tersebut tidak mempelajarinya artinya anak kelas satu jangan sekali- kali mempelajari pelajaran kelas empat dan seterusnya.
8)   Peserta didik hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yangdipelajarinya.
          Menurut Al-Ghazali setiap ilmu itu memiliki kelebihan masing-masing serta hasil-hasilnya yang mungkin dicapai hendaknya dipelajari dengan baik.[13] 
f.    Evaluasi
            Adapun tentang masalah evaluasi  Al-Ghazali mengatakan, bahwa evaluasi dilakukan adalah  untuk mengetahui sejauh mana  anak dapat memahami dan mengamalkan apa yang ia pelajari. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan Allah tehadap makhluk ciptaannya, yakni memberika evaluasi berupa ujian dan cobaan, dengan tujuan untuk mengetahuai apakah hamba tersebut benar benar beriman kepada Allah dalam setiap keadaan.
            Al-Ghazali lebih lanjut beliau mengatakan bila evaluasi harus dilasanakan,  sesuai dengan pelajaran yang telah disampaikan oleh sang guru, baik dengan cara lisan atau pun tulisan. Sebagai mana yang Allah lakukan pada nabi Adam yang mengajarkan nama-nama benda, yang kemudian Allah evaluasiyang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 31-32 yang berbunyi:
 “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"”
 “Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”   (Q.S:2:31-32)
            Dalam hal ini Al-Ghazali memahami tentang evaluasi adalah bagai mana sikap seorang hamba terhadap apa yang Allah berikan kepadanya termasuk ujian dan cobaan, terhadap apa yang telah ia pelajari dari ayat-ayat Allah apakah ia paham atau tidak,  sabar atau tidak.
            Selain dari itu dalam mengevaluasi yang paling utama adalah mengevaluasi sipritualnya bukan hanya kemampuan akalnya saja. Dengan tujuan agar terdapat keseimbangan antara teori dan prakteknya, yang akhirnya tercapai tujuan pendidikan yang diinginkan sesuai dengan yang Allah inginkan dan bang sa Indonesia yakni cerdas secara IQ tapi juga cerdas secara Emosional Spritualnya.[14]


B. Konsep Pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari
1.    Biografi K.H. Hasyim Asy’ari.
K.H. Hasyim Asy’ari dilahirkan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 14 Februari 1871 Masehi.[15] Atau dalam kalender hijriah beliau lahir pada tanggal 24 Dzulhijjah 1287 Hijriah. Beliau adalah putra ketiga dari sebelas bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kelahirannya bertempat di Jombang tepatnya di kediaman kakeknya, Kiai Ustman di Pesantren Gedang desa Tambak Rejo.[16]
Masa kecil K.H. Hasyim Asy’ari tidak lepas dari kehidupan pesantren karena beliau memang dilahirkan di lingkungan pesantren. Oleh sebab itu, beliau melewati masa kecilnya berada di pesantren.
Pada usia lima belas tahun, remaja Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Semarang. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan rihlah ilmiahnya ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil bin Abdul Latif yang terkenal waliyullah itu.[17]
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada tahun 1307 H/ 1891 M. Kiai Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub. Dan K.H Hasyim Asy’ari merasa menemukan sumber pengetahuan yang diinginkan.
Hadratussyekh belajar di sana selama lima tahun. Lalu pada usia 21 tahun dia dinikahkan dengan Nafisah, salah seorang putri Kiai Ya'qub. Ia diminta menikah dengan putri Kiai Ya’qub karena kedalaman ilmunya.[18]  Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/ 1308 H.
Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Mekah guna menunaikan ibadah haji. Kesempatan di tanah suci juga digunakan untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu hadits. Beberapa bulan kemudian, Kiai Hasyim kembali ke Indonesia untuk mengantar mertuanya pulang.[19]
Kerinduan akan tanah suci mengetuk hati Kiai Hasyim untuk kembali lagi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/ 1893 M, beliau berangkat kembali ke Mekah bersama adik kandungnya, Anis. Namun Allah kembali menguji kesabaran Kiai Hasyim, karena tak lama setelah tiba di Mekah, Anis dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Pada saat menetap di Mekah inilah, beliau benar-benar memfokuskan diri untuk menuntut ilmu.
Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu, beliau menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat mustajab, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah SAW. Setiap Sabtu pagi beliau berangkat menuju Goa Hira’ di Jabal Nur, kurang lebih sepuluh km di luar Kota Mekah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadits-hadits Nabi. Setiap berangkat menuju Goa Hira’, Kiai Hasyim selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya.
Kiai Hasyim juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dari mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekah, antara lain: Syekh Mahfudzh at-Turmusi,[20] Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal. Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas Alaliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Mekah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Turmusi.[21]

2. Konsep pendidikan
     a. Pembaruan Pesantren
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan weton (bandongan).[22] Dalam sistem pengajaran ini, tidak dikenal yang namanya jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Materi-materi pesantren yang diberikan dari kedatangan masuk Islam sampai awal berdirinya Tebu Ireng asih berkutat hanya pendidikan agama dan system yang digunakan juga masih dipertahankan tradisi lama. Tetapi K.H Hasyim Asy’arilah yang akan merubah system pendidikan dan metode pengajaran yang masih dianggap tabu.
Seiring perkembangan waktu, pesantren Tebu Ireng inovasi pembelajaran. Sistem dan metode pengajaran pun ditambah, di antaranya dengan menambah kelas musyawarah sebagai kelas tertinggi.[23]
Bila sebelumnya pesantren hanya semata-mata mengajarkan Bahasa Arab dan kitab-kitab kuning, Hadratusysyekh mencoba memasukkan pelajaran yang masih dianggap tabu, antara lain: baca-tulis huruf latin, pidato, berorganisasi, dan menggalakkan bacaan-bacaan tentang pengetahuan umum seperti bahasa Indonesia, Matematika, Geografi, Sejarah di pesantrennya. Sekalipun Pesantren memang disiapkan untuk mencetak calon ahli agama, namun bukan berarti pengetahuan lain tidak perlu dimiliki.[24] Sampai pada titik ini, Hasyim sebenarnya sudah mulai memelopori adanya integrasi ilmu pengetahuan.
Dari pemikiran tentang kurikulum yang diberikan bahwa tidak hanya mengajarkan kitab kuning saja tetapi juga “kitab putih” dapat dikatakan bahwa Hasyim Asy’ari dalam pemikiranya tidak mendikotomikan keilmuan antara ilmu agama dan ilmu umum, semuanya ilmu agama dan wajib untuk dipelajari.
Kemudian pada tahun 1916 M, K.H. Ma’shum Ali salah seorang menantu Kiai Hasyim mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Mulai tahun itu juga, Ia pun mulai mengubah sistem pendidikan pesantren menjadi klasikal. Di Tebuireng para santri belajar dengan sistem kelas selama tujuh jenjang yang dibagi menjadi dua tingkatan yang disebut siffir. Dua jenjang pertama disebut siffir awal yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya, yang diajarkan adlah dasar-dasar bahasa Arab, yang merupakan fondasi untuk memahami kitab kuning. Dan lima tahun berikutnya disebut siffir tsani.[25]
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu pada 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah.

b. Karya dan Konsep Pendidikan
Salah satu karya monumental K.H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih (Etika Pengajar dan Pelajar dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Pelajar selama Belajar) yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika.[26]
Dalam konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari lebih banyak menekankan pada etika. Dalam kitabnya lebih banyak menulis tentang etika daripada tentang teori-teori yang muluk-muluk. Dan ini merupakan ciri tersendiri dalam pemikiran beliau.
Hal-hal yang menunjukan bahwa konsep pendidikan beliau lebih menekankan pada etika dapat terlihat dari kitabnya Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim yang dalam kitab ini tersusun menjadi delapan Bab yang semuanya berisi tentang etika, baik itu etika seorang pelajar maupun etika pengajar.
Isi dari kitabnya karanganya adalah:
a.        Keutamaan ilmu dan ulama’ dan keutamaan pembelajaran.
b.        Etika peserta didik/ pelajar terhadap dirinya sendiri.
c.        Etika peserta didik/ pelajar terhadap pendidik/ guru.
d.        Etika peserta didik/ pelajar terhadap pelajaran dan hal-hal yang menjadi pedoman terhadap pendidik dan teman-temanya.
e.        Etika pendidik/guru terhadap dirinya.
f.          Etika pendidik/guru terhadap pelajaran.
g.        Etika pendidik/guru bersama peserta didik/ pelajar.
h.        Etika menggunakan literatur yang merupakan alat belajar.[27]
a. Pentingnya Ilmu Pengetahuan
Sisi pendidikan yang cukup menarik perhatian dalam konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari adalah sikapnya yang sangat mementingkan ilmu dan pengajaran. Kekuatan dalam hal ini terlihat pada penekanannya bahwa eksistensi ulama, sebagai orang yang memiliki ilmu, menduduki tempat yang tinggi. Karena itu, dalam bab pertama kitab Adab al-’âlim wa al-muta’allim,
Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari di atas tampaknya mengikuti pemikiran tokoh-tokoh Islam terkemuka, seperti al-Ghazali. Sebab, pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari ini ada kesamaan dengan yang dibuat oleh al-Ghazali, yakni ahli ilmu lebih utama daripada ahli ibadah, dengan menyajikan alasan-alasan ayat al-Quran, hadits, dan pendapat para ulama.
b. Etika Pelajar
Untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, KH. Hasyim Asy’ari menyarankan kepada peserta didik untuk memperhatikan sepuluh etika yang mesti dicamkan ketika belajar. Menurut Hasyim Asy’ari etika pelajar terhadap dirinya sendiri, dan beliau mengatakan ada sepuluh macam itu adalah:
1.    Membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniaan.
2.    Mempunyai niat yang tulus dalam rangka mencari ilmu.
3.    Pandai memanfaatkan waktu saat masa muda.
4.    Menerima keadaan serba penuh keterbatasan.
5.    Pandai memanfaatkan waktu.
6.    Menyederhanakan makan dan minum.
7.    Berhati-hati (wara’).
8.    Menghindari makanan yang dapat menyebabkan lambat berfikir dan malas.
9.    Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan.
10.                        Meninggalkan pergaulan yang merugikan n hal-hal yang kurang berfaedah [28]
Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim Asy’ari lebih menekankan kepada pendidikan rohani atau pendidikan jiwa, meski demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur makan, minum, tidur dan sebagainya. Dan yang sangat mencolok dari Hasyim Asy’ari adalah penanaman nilai prinsip yang fundamental sehingga kelak bisa menjadi panutan semua orang.
c.       Etika pelajar terhadap guru
Kiai Hasyim memberikan gambaran etika pelajar terhadap gurunya diantaranya adalah: Hendaknya selalu memperhatikan dan mendengarkan guru, memilih guru yang mengerti benar tentang syari’at, dan bisa dipercaya kemahiran ilmunya, penuntut ilmu hendaknya patuh dan taat kepada gurunya, memilih guru yang wara’, mengikuti jejak guru, memuliakan dan memperhatikan hak guru, bersabar terdapat kekerasan guru, berkunjung pada guru pada tempatnya dan minta izin lebih dulu, duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru, berbicara dengan sopan dan lembut dengan guru, dengarkan segala fatwa guru dan jangan menyela pembicaraannya, gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu pada guru.[29]
Etika pelajar dan guru seperti yang diungkap K.H. Hasyim Asy’ari sangat langka sekarang ini, malah sekarang seorang guru menjadi bahan tertawaan para pelajar. Pemikiran Kiai Hasyim sangat maju bagaimana misalnya seorang pelajar harus bisa memilih guru yang professional.
Banyak sekali sekarang yang bermasalah bukanlah satu sisi tapi dari berbagai sisi yang perlu dikaji, tidak hanya pelajar saja yang ditekankan tetapi lingkungan yang kondusif juga perlu diwujudkan.
d.      Etika pelajar terhadap pelajaran.
Ada beberapa tawaran dari Kiai Hasyim dalam etika pelajar terhadap pelajaran yang diterimanya atau juga yang akan dipelajari yaitu: memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain, penuntut ilmu hendaknya selalu melaksanakan sesuatu yang telah diwajibkan dengan belajar Al-Qur’an, memahami tafsirnya dan semua ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama, mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar pada orang yang dipercaya, senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu, bila terdapat hal-hal yang belum dipahami hendaknya ditanyakan, pancangkan cita-cita yang tinggi, kemanapun pergi dan dimanapun berada jangan lupa membawa catatan, pelajari pelajaran yang telah dipelajari dengan continue (istiqamah), tanamkan rasa antusias dalam belajar.[30]
Tawaran dari Kiai Hasyim adalah sangatlah maju pada zamanya karena seorang pelajar diharapkan dalam belajar mampu melakukan dialogis dengan guru sehingga ada komunikasi dua arah. Sehingga akan memunculkan suasana belajar yang bersifat dinamis, konstruktif, dan dialogis. Jika ada sesuatu yang tidak dimengerti segera ditanyakan tetapi juga dengan menggunakan etika.
e. Etika Pendidik/ Guru
1) Etika pendidik terhadap dirinya sendiri.
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baik, peserta didik mesti memilih dan mengikuti pendidik yang baik pula. Dalam hal ini, perlu adanya batasan atau karakteristik pendidik yang baik. Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi pendidik/ para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru. Yaitu:
1.      Selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.
2.      Mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.
3.      Mempunyai sikap tenang dalam segala hal.
4.      Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.
5.      Tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.
6.      Khusyu dalam segala ibadahnya.
7.      Selalu berpedoman kepada hukum Allah dalam segala hal.
8.      Tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.
9.      Tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.
10.  Zuhud, dalam segala hal.
11. Menghindari pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.
12. Menghindari tempat-tempat yang dapat menimbulkan maksiat.
13. Selalu menghidupkan syiar islam.
14. Menegakkan sunnah Rasul.
15. Menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.
16. Bergaul dengan sesame manusia secara ramah.
17. Menyucikan jiwa.
18. Selalu berusaha mempertajam ilmunya dan terbuka baik saran maupun kritik.
19. Selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.
20. Meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.[31]
Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi  pendidik yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak.
2) Etika pendidik dalam mengajar
            Dalam pemikiranya, Kiai Hasyim menyebutkan setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang pendidik dalam mengajar diantaranya, jangan mengajarkan hal-hal yang syubhat, mensucikan diri, berpakaian sopan dan memakai wewangian,berniat beribadah ketika mengajar, dan memulainya dengan do’a, biasakan membaca untuk menambah ilmu, menjauhkan diri dari bersenda gurau dan banyak tertawa, jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan lapar, mengantuk atau marah, usahakan tampilan ramah, lemah lembut, dan tidak sombong, mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuai dengan profesional yang dimiliki, menasihati dan menegur dengan baik jika anak didik bandel, bersikap terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan, memberikan kesempatan pada anak didik yang datangnya terlambat dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang dimaksudkan, beri anak kesempatan bertanya terhadap hal-hal yang belum dipahaminya.[32]
            Terlihat juga betapa beliau sangat memperhatikan sifat dan sikap serta penampilan seorang guru. Berpenampilan yang terpuji, bukan saja dengan keramahantamahan, tetapi juga dengan berpakaian yang rapi dan memakai minyak wangi. Agaknya pemikiran Hasyim Asy’ari juga sangat maju dibandingkan zamannya, ia menawarkan agar pendidik bersikap terbuka, dan memandang murid sebagai subyek pengajaran bukan hanya sebagai obyek, dengan memberi kesempatan kepada murid-murid bertanya dan menyampaikan berbagai persoalan di hadapan guru.
3) Etika pendidik bersama murid
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang pendidik terhadap pelajar diantaranya adalah berniat mendidik dan menyebarkan ilmu, menghindari ketidak ikhlasan, mempergunakan metode yang mudah dipahami anak, memperhatikan kemampuan anak didik, tidak memunculkan salah satu peserta didik dan menafikan yang lain, bersikap terbuka, lapang dada, arif dan tawadhu’, membantu memecahkan masalah-masalah anak didik, bila ada anak yang berhalangan hendaknya mencari ihwalnya.[33]
Kalau sebelumnya terlihat warna tasawufnya, khususnya ketika  membahas tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik. Namun kali ini gagasan-gagasan yang dilontarkan beliau berkaitan dengan etika guru bersama murid menunjukkan keprofesionalnya dalam pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang kompetensi seorang pendidik, yang utamanya kompetensi profesional.
Hasyim Asy’ari sangat menganjurkan agar seorang pendidik atau guru perlu memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode dan memberi motivasi serta latihan-latihan yang bersifat membantu murid-muridnya memahami pelajaran. Selain itu, guru juga harus memahami murid-muridnya secara psikologi, mampu memahami muridnya secara individual dan memecahkan persoalan yang dihadapi murid, mengarahkan murid pada minat yang lebih dicendrungi, serta guru harus bersikap arif.
Jelas pada saat Hasyim Asy’ari melontarkan pemikiran ini, ilmu pendidikan maupun ilmu psikologi pendidikan yang sekarang beredar dan dikaji secara luas belum tersebar, apalagi di kalangan pesantren. Sehingga ke-genuin-an pemikiran beliau patut untuk dikembangkan selaras dengan kemajuan dunia pendidikan.
f. Etika terhadap buku, alat pelajaran dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya
Satu hal yang menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan umumnya, adalah etika terhadap buku dan alat-alat pendidikan. Bagi Hasyim Asy’ari memandang bahwa etika tersebut penting dan perlu diperhatikan.
Di antara etika tersebut adalah: menganjurkan untuk mengusahakan agar memiliki buku, merelakan dan mengijinkan bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya bagi peminjam menjaga barang pinjamannya. Memeriksa dahulu bila membeli dan meminjamnya, bila menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dan mengawalnya dengan basmalah, sedangkan bila ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah dan shalawat Nabi.[34]


[1] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta Bumi Aksara, 1995), 22
[2] Depag, Mimbar Pendidikan, 58
[3] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (RajaGrafindo Persada, 2000) hal. 8
[4] Imam Al-Ghazali, Ihya’Ulumuddin, (Jakarta C.V. Bintang Pelajar, 1981) Juz I,13
[5]Al-Ghazali. Ayyuh al-Walad…,27

[6] Zainuddin Dkk,Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali (,Jakarta Bumi Aksara 1991), 43-49

[7] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2003),88-90
[8] Ibid, 94
[9] Zainuddin Dkk,Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali…., 78
[10] Zainuddin Dkk,Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali….,80-82
[11] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh……, 98
[12] Zainuddin Dkk,Seluk Beluk Pendidikan Al-Ghazali….,54-55
[13] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh…..,99-101
[14]Ahmad Syar’I, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta Pustaka Firdaus, 2005),88-89    
[16] M. Ishom Hadzik, KH. M. Hasyim Asy’ari; Figur Ulama dan Pejuang Sejati, (Jombang: Pustaka Warisan Islam dan Achmady Instituty, 2007), hlm. 7
[17] Muhamad Rifai,KH. Hasyim Asy’ari; Biografi Singkat 1871-1947. (Jogjakarta: Garasi 2009) hlm. 21
[18] Latiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta cet. III: LKiS, 2008), hlm. 19
[19] M. Ishom Hadzik, KH. M. Hasyim Asy’ari; Figur Ulama dan Pejuang Sejati…. hlm. 10
[20]  Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asy’ari; Biografi Singkat 1871-1947, (Jogjakarta: Garasi, 2009), hlm. 23
[21] M. Ishom Hadzik, KH. M. Hasyim Asy’ari; Figur Ulama dan Pejuang Sejati….., hlm. 11
[22] Muhammad Rifai, KH. Hasyim Asy’ari; Biografi Singkat 1871-1947,…. hlm. 46
[23] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari; Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 66
[25] Zuhairi Misrawi Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari….., hlm. 67
[27] K.H. Hasyim Asy’ari, Irsyadu Sarii, Fii Jami’ Musnafat Syekh Hasyim Asy’ari, (Jombang: Maktabah Al-Turats Al-Islami), hlm. 109-110
[28] K.H. Hasyim Asy’ari, Irsyadu Sarii, Fii Jami’ Musnafat Syekh Hasyim Asy’ari…., hlm. 24
[29] Ibid., hlm. 29-43
[30] Ibid., hlm. 43-54
[31] Ibid., hlm. 55-70
[32] Ibid., hlm. 71-80
[33] Ibid., hlm. 81-95
[34] Ibid., hlm. 95-101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar baik menunjukkan pribadimu !

Bottom Ad [Post Page]