1.
Kurikulum
dikatakan sebagai “the heart/core of
education” Mengapa demikian? Dan bagaimana peranan guru dalam pengembangan
kurikulum !
Wawasan bahwa pembaharuan drastis yang menuntut
sekolah melakukan pengembangan kurikulum tidak semata-mata yang menurut Fullan
(1993, 1999) melakukan ”restructuring”
tetapi yang lebih penting ialah ”reculturing”
terhadap perubahan ”beliefs & habits”
guru (Fullan, 2001). Secara khusus yaitu menyajikan pendekatan profesional (professional approach) terhadap
kemampuan expertise guru/pengawas dan
unsur lainnya yang terlibat dalam TPK. Professional
development perlu mempertimbangkan penguasaan materi pelajaran bagi guru
terutama dalam pengembangan perangkat kurikulum, karena kurikulum secara
hakikatnya disusun secara sistematis, hirarkis berdasarkan falsafah keilmuaan
masing-masing bidang kajian. Standar nasional isi yang minimal harus dicapai
peserta didik yang tentunya harus dipenuhi oleh sekolah. Tuntutan standar isi
yang harus dikuasai oleh peserta didik ini menurut Apple (2001) sebagai “official knowledge” (Apple, 2001.
Educating the “Right’ Way).
Kajian kurikulum merupakan inti dari pendidikan
seperti diungkapkan oleh Eisner (1984) ”the
field of curriculum…resides at the very core of education” (dalam Pinar
dkk, 1996). Peningkatan kualitas pendidikan memerlukan perubahan mendasar
secara fundamental terutama mengenai apa yang siswa pelajari dan bagaimana
mereka belajar. siswa diharapkan mencapai standar
isi nasional sebagai minimum learning
acquired dan guru perlu membantu siswa mencapai standar yang telah
ditetapkan. Guru merupakan titik sentral dalam pembaharuan pendidikan dimana
mereka harus memenuhi kualitas standar pendidikan untuk anak didiknya. Seperti
di ungkapkan Cuban (1990) “Teachers are
necessarily at the center of reform, for they must carry out the demands of
high standards in the classroom.”
Oleh karena itu, keberhasilan pembaharuan pendidikan
(educational reform) sebagian besar
dipengaruhi oleh peran guru yang efektif dan berkualifikasi pendidikan tinggi
sesuai dengan materi pelajaran yang diajarkan. Bertitik tolak dari alasan
tersebut bahwa pengembangan profesi guru (teacher
professional development) merupakan sentra utama dalam sistem pembaruan
pendidikan (Corcoran, 1995; Corcoran, Shields, & Zucker, 1998).
Kurikulum dan pembelajaran
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai suatu rencana atau
program, kurikulum tidak akan bermakna manakala tidak diimplementasikan dalam
bentuk pembelajaran. Demikian juga sebaliknya, tanpa kurikulum yang jelas
sebagai acuan, maka pembelajaran tidak akan berlangsung secara efektif.
Persoalan bagaimana
mengembangkan suatu kurikulum, ternyata bukanlah hal yang mudah, serta tidak
sesederhana yang kita bayangkan. Dalam skala makro, kurikulum berfungsi sebagai
suatu alat dan pedoman untuk mengantar peserta didik sesuai dengan harapan dan
cita-cita masyarakat. Oleh karena itu, proses mendesain dan merancang suatu
kurikulum mesti memerhatikan sistem nilai (value system) yang berlaku
beserta perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat itu. Disamping itu oleh
karena kurikulum juga harus berfungsi mengembangkan seluruh potensi yang
dimiliki oleh peserta didik sesuai dengan bakat dan minatnya, maka proses
pengembangannya juga harus memperhatikan segala aspek yang terdapat pada peserta
didik. Persoalan-persoalan tersebut yang mendorong begitu kompleksnya proses
pengembangan kurikulum. Kurikulum harus secara terus menerus dievaluasi dan
dikembangkan agar isi dan muatannya selalu relevan dengan tuntutan masyarakat
yang selalu berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kurikulum memiliki dua sisi
yang sama pentingnya yakni kurikulum sebagai dokumen dan kurikulum sebagai
implementasinya. Sebagai sebuah dokumen kurikulum berfungsi sebagai pedoman
bagi guru dan kurikulum sebagai implementasi adalah realisasi dari pedoman
tersebut dalam kegiatan pembelajaran. Guru merupakan salah satu faktor penting
dalam implementasi kurikulum. Bagaimanapun idealnya suatu kurikulum tanpa
ditunjang oleh kemampuan guru untuk mengimplementasikannya, maka kurikulum itu
tidak akan bermakna sebagai suatu alat pendidikan, dan sebaliknya pembelajaran
tanpa kurikulum sebagai pedoman tidak akan efektif. Dengan demikian peran guru
dalam hal ini adalah sebagai posisi kunci dan dalam pengembangnnya guru lebih
berperan banyak dalam tataran kelas.
Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum:
Ø
Pertama, sebagai implementers, guru berperan
untuk mengaplikasikan kurikulum yang sudah ada. Dalam melaksanakan perannya
guru hanya menerima berbagai kebijakan perumus kurikulum.dalam pengembangan
kurikulum guru dianggap sebagai tenaga teknis yang hanya bertanggung jawab
dalam mengimplementasikan berbagai ketentuan yang ada. Akibatnya kurikulum
bersifat seragam antar daerah yang satu dengan daerah yang lain. Oleh karena
itu guru hanya sekadar pelaksana kurikulum, maka tingkat kreatifitas dan
inovasi guru dalam merekayasa pembelajaran sangat lemah. Guru tidak terpacu
untuk melakukan berbagai pembaruan. Mengajar dianggapnya bukan sebagai
pekerjaan profesional, tetapi sebagai tugas rutin atau tugas keseharian.
Ø
Kedua, peran guru sebagai adapters, lebih dari
hanya sebagai pelaksana kurikulum, akan tetaou juga sebagai penyelaras
kurikulum dengan karakteristik dan kebutuhan siswa dan kebutuhan daerah. Guru
diberi kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum yang sudah ada dengan
karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal. Hal ini sangat tepat dengan
kebijakan KTSP dimana para perancang kurikulum hanya menentukan standat isi
sebagai standar minimal yang harus dicapai, bagaimana implementasinya, kapan
waktu pelaksanaannya, dan hal-hal teknis lainnya seluruhnya ditentukan oleh
guru. Dengan demikian, peran guru sebagai adapters lebih luas
dibandingkan dengan peran guru sebagai implementers.
Ø Ketiga, peran sebagai pengembang kurikulum, guru
memiliki kewenganan dalam mendesain sebuah kurikulum. Guru bukan saja dapat
menentukan tujuan dan isi pelajaran yang disampaikan, akan tetapi juga dapat
menentukan strategi apa yang harus dikembangkan serta bagaimana mengukur
keberhasilannya. Sebagai pengembang kurikulum sepenuhnya guru dapat menyusun
kurikulum sesuai dengan karakteristik, visi dan misi sekolah, serta sesuai
dengan pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa.
Ø Keempat, adalah peran guru sebagai peneliti
kurikulum (curriculum researcher). Peran ini dilaksanakan sebagai
bagian dari tugas profesional guru yang memiliki tanggung jawab dalam
meningkatkan kinerjanya sebagai guru. Dalam melaksanakan perannya sebagai
peneliti, guru memiliki tanggung jawab untuk menguji berbagai komponen
kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektifitas program,
menguji strategi dan model pembelajaran dan lain sebagainya termasuk
mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai target kurikulum. Metode
yang digunakan oleh guru dalam meneliti kurikulum adalah PTK dan Lesson
Study.
Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) adalah metode penelitian yang berangkat dari masalah yang dihadapi guru
dalam implementasi kurikulum. Melalui PTK, guru berinisiatif melakukan
penelitian sekaligus melaksanakan tindakan untuk memecahkan masalah yang
dihadapi. Dengan demikian, dengan PTK bukan saja dapat menambah wawasan guru
dalam melaksanakan tugas profesionalnya, akan tetapi secara terus menerus guru
dapat meningkatkan kualitas kinerjanya.
Sedangkan lesson study
adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang guru/ sekelompok guru yang bekerja
sama dengan orang lain (dosen, guru mata pelajaran yang sama/guru satu tingkat
kelas yang sama, atau guru lainya), merancang kegiatan untuk meningkatkan mutu
belajar siswa dari pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru dari
perencanaan pembelajaran yang dirancang bersama/sendiri, kemudian di observasi
oleh teman guru yang lain dan setelah itu mereka melakukan refleksi bersama
atas hasil pengamatan yang baru saja dilakukan. (Ridwan Johawarman, dalam Sumardi, 2009).
Dunia pendidikan di Indonesia
sudah mengalami beberapa perubahan kurikulum. Hal ini bukan berarti ganti
menteri pendidikan ganti kurikulum, seperti pendapat sebagian guru, melainkan
kurikulum harus selalu berubah sesuai dengan tuntutan jaman. Sekolah dan komite sekolah mengembangkan
kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar
kurikulum, dan standar kompetensi, di bawah koordinasi dan supervisi dinas
pendidikan setempat. Dengan
adanya otonomi sekolah memotivasi guru untuk mengubah paradigma
sebagai “curriculum user” menjadi “curriculum developer”. Guru mampu keluar dari kultur kerja
konvensional menjadi kultur kerja kontemporer yang dinamis, dan guru mampu
memainkan peran sebagai “agent of change”.
”Hendaknya
kita mengajar anak-anak kita sesuai dengan zamannya”. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW.[1]
2.
Penjelasan beberapa pendekatan
dalam pengembangan kurikulum dan pendekatan tersebut dipakai dalam pengembangan
kurikulum PAI.
1. Berbasis Humanistik
Pendekatan humanistik dalam pengembangan kurikulum
bertolak dari ide "memanusiakan manusia". Penciptaan konteks yang
akan memberi peluang manusia untuk menjadi lebih human, untuk memprtinggi
harkat manusia merupakan dasar filosofi, dasar teori, dasar evaluasi dan dasar
pengembangan program pendidikan.
Kurikulum Humanistik dikembangkan oleh para ahli
pendidikan Humanistik.kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan
pribadi yaitu John Dewey.aliran ini lebih memberikan tempat utama kepada siswa.
kurikulum Humanistik ini, guru diharapkan dapat membangun hubungan emosional
yang baik dengan peserta didiknya. Oleh karena itu, peran guru yang diharapkan
adalah sebagai berikut:
a. Mendengar pandangan realitas peserta didik secara
komprehensif
b. Menghormati individu peserta didik
c. Tampil alamiah, otentik, tid ak dibuat-buat
Dalam pendekatan Humanistik ini, peserta didik diajar untuk membedakan
hasil berdasarkan maknanya. Kurikulum ini melihat kegiatan sebagai sebuah
manfaat untuk peserta dimasa depan. Sesuai dengan prinsip yang dianut,
kurikulum ini menekankan integritas, yaitu kesatuan perilaku bukan saja yang
bersifat intelektual tetapi juga emosional dan tindakan. Beberapa acuan dalam
kurikulum ini antara lain:
a. Integrasi semua domainafeksi peserta didik, yaitu
emosi,sikap,nilai-nilai,dan domain kognisi,yaitu kemampuan dan pengetahuan.
b. Kesadaran dan kepentingan
c. Respon terhadap ukuran tertentu, seperti kedalaman suatu
keterampilan.
Kurikulum
humanistik memeliki kelemahan, antara lain:
a. keterlibatan
emosional tidak selamanya berdampak positif bagi perkembangan individual
peserta didik
b. meskipun
kurikulum ini sangat menekankan individu tapi kenyataannya terdapat keseragaman
peserta didik
c. kurikulum ini
kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan
d. dalam kurikulum
ini prisin-prinsip psikologis yang ada kurang terhubungkan
2. Berbasis Rekonstruksi Sosial
Kurikulum ini sangat memperhatikan hubungan kurikulum
dengan social masyarakat dan politik perkembangan ekonomi. Kurikulum ini
bertujuan untuk menghadapkan peserta didik pada berbagai permasalahan manusia
dan kemanusian. Permasalahan yang muncul tidak harus pengetahuan social saja,
tetapi di setiap disiplin ilmu termasuk ekonomi, kimia, matematika dan
lain-lain. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan interaksional.
Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama.
Melalui interaksi ini siswa berusaha memecahkan problema-problema yang
dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan masyrakat yang lebih baik.
Kegiatan yang dilakukan dalam kurikulum rekonstruksi sosial
antara lain melibatkan:
a. survey
kritis tehadap suatu masyarakat
b. study
yang melihat hubungan antara ekonomi local denagn ekonomi nasional atau
internasional
c. study
pengaruh sejarah dan kecenderungan situasi ekonomi local
d. uji coba kaitan praktek politik dengan perekonomian
e. berbagai pertimbangan perubahn politik
f. pembatasan kebutuhan masyarakat pada umumnya
Pembelajan yang dilakukan dalam kurikulu rekonstruksi
social harus memenuhi 3 kriteria berikut, yaitu: nyata, membutuhkan tindakan,
dan harus mengajarkan nilai. Evaluasi dalam kurikulum rekontruksi social
mencakup spektrum luas, yaitu kemampuan peserta didik dalam menyampaikan
permasalahan, kemungkinan pemecahan masalah, pendefinisian kembali pandangan
mereka dan kemauan mengambil tindakan.
3. Berbasis Akademik
Pendekatan subject akademis dalam menyusun kurikulum atau
program pendidikan didasarkan pada sistematisasi disiplin ilmu masing-masing
Para ahli akademik terus mencoba mengembangkan sebuah kurikulium yang akan
melengkapi peserta didik untuk masuk ke dunia pengetahuan, denagn konsep dasar
dan metode untuk mengamati, hubungan antara sesama, analisis data, dan
penarikan kesimpulan. Pengembangan kurikulum subject akademis dilakukan dengan
cara menetapkan lebih dahulu mata pelajaran apa yang harus dipelajari peserta
didik, yang diperlukan untuk persiapan pengembangan disiplin ilmu.
Pendidikan agama Islam di sekolah meliputi aspek
Al-quran/Hadist, keimanan, akhlak, ibadah/muamalah, dan tarih/ sejarah umat
Islam. Di madrasah, aspek-aspek tersebut dijadikan sub-sub mata pelajaran PAI
meliputi : Al-quran Hadits, Fiqih, Aqidah Akhlaq, dan sejarah.
Kelemahan pendekatan ini adalah kegagalan dalam
memberikan perhatian kepada yang lainnya, dan melihat bagaimana isi dan
disiplin dapat membawa mereka pada permasalahan kehidupan modern yang kompleks,
yang tidak dapat dijawab oleh hanya satu ilmu saja.
4. Berbasis Kompetensi
Kurikulum ini menekankan pada penyusunan program
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem yang ditandai dengan
perumusan tujuan khusus sebagai tingkah laku yang harus dicapai. Kurikulum
berbasis kompetensi menitik beratkan pada pengembangan kemampuan untuk
melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu yang sesuai denagn standar
performance yang telah ditetapkan. Rumusan ini menunjukkan bahwa pendidikan
mengacu pada upaya penyiapan individu agar mampu malakukan perangkat kompetensi
yang mengandung empat unsure pokok, antara lain:
a. pemilihan kompetensi yang sesuai
b. spesifikasi indicator evaluasi untuk menentukan
keberhasilan pencapaian kompetensi
c. pengenbangan
sistem pengajaran
d. penilaian
Dalam
pendekatan kompetensi kemampuan yang dikembangkan adalah kemampuan yang
mengarah kepada pekerjaan, dan pendekatan pengembangan pribadi, karena standart
kompetensi yang dikembangkan berkenaan dengan pribadi peseta didik, seperti
kompetensi intelektual, social dan komunikasi, penguasaan nilai-nilai dan
ketrampilan-ketrampilan. Bedanya kurikulum berbasis kompetensi adalah lebih
difokusakn pada kompetensi potensial yang esensialnya sedangkan pengembangan
pribadi lebih menekankan pada keutuhan perkembangan kemampuan tersebut.
3.
Kritik yang ditujukan kepada
PAI di sekolah umum dan saran menanggapi kritik tersebut.
Yang banyak dipermasalahkan salah satunya
adalah upaya mensiasati keterbatasan jam pelajaran sebagai strategi penyelenggaraan
pendidikan agama Islam di sekolah umum. Dua jam pelajaran di kelas memang tidaklah akan
cukup untuk menyampaikan informasi keagamaan yang begitu komplek. Kalaulah kita
tidak pandai mensiasatinya maka informasi yang diterima pelajar khawatir hanya
akan menyentuh aspek kognitif saja sementara aspek afektif dan psikomotor tidak
dapat tersentuh. Dalam masalah ahlaq mungkin saja ketika dilakukan evaluasi
tertulis (ulangan) para pelajar dapat menjawab dengan tepat bahkan bisa
menyebutkan dalil naqlinya bahwa etika makan dan minum dalam Islam diantaranya
tidak boleh sambil berdiri, tapi dalam kehidupan sehari-hari pelajar
tersebut masih saja makan dan minum sambil berdiri. Dalam masalah ibadah para
pelajar mungkin saja ketika dilakukan evaluasi tertulis (ulangan) dapat
menjawab dengan tepat bahwa salat lima waktu itu hukumnya wajib bila
ditinggalkan berdosa dan bila dilaksanakan akan mendapat pahala, tapi dalam
kehidupan sehari-hari pelajar tersebut masih enggan melakukan salat. Hal ini
tentu tidak kita harapkan karena apa yang dilakukan para pelajar tidak sesuai
dengan apa yang telah diketahuinya, diakui atau tidak kenyataan itu membuktikan
bahwa pendidikan Agama Islam masih belum berhasil.
Upaya untuk
mensiasati keterbatasan jam pelajaran dapat dilakukan dengan berbagai macam
cara, diantaranya adalah :
1) Menyeleggarakan Bina Rohani Islam
(ROHIS)
Kegiatan Bina
Rohani Islam (ROHIS), dapat dijadikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler yang
wajib diikuti oleh seluruh pelajar yang beragama Islam. Untuk mewujudkan
kegiatan ini perlu dibuat program kerja yang matang sehingga dalam
pelaksanaannya tidak berbenturan dengan kegiatan ekstrakurikuler lainnya,
didanai dengan dana yang cukup, materi yang disampaikan dapat
menunjang materi intrakurikuler dengan menggunakan metode yang menyenangkan
tapi tetap edukatif serta memanfaatkan tenaga pengajar yang ada di
lingkungan sekolah yang memiliki komitmen tinggi terhadap Islam.
a.
Waktu Penyelenggaraan Bina Rohani Islam (ROHIS)
Untuk sekolah yang
menyelenggarakan Kegiatan Belajar Mengajar pada pagi hari saja maka waktu
penyelenggaran kegiatan Bina Rohani Islam (Rohis) dapat dilakukan setiap hari
setelah selesai Kegiatan Belajar Mengajar dengan lama pertemuan sekitar satu
jam setengah (90 menit). Dua hari untuk kelas satu (hari Senin dan Selasa) dua
hari untuk kelas dua (Rabu dan Kamis) dan satu hari untuk kelas tiga pada hari
Jum’at (Untuk puteri dilakukan setelah Kegiatan Belajar Mengajar pada
saat pelajar putra Salat Jum’at, sedangkan untuk putera dilakukan setelah salat
jum’at).
Sebagai contoh
untuk memperjelas pendistribusian waktu penyelenggaraan Bina Rohani Islam bagi
sekolah-sekolah yang menyelenggarakan KBM pada pagi hari saja dan selesai
kegiatan belajar mengajar pada pukul 13.30 WIB, berikut ini akan penulis
sajikan jadwal penyelenggaraan Bina Rohani Islam yang dilakukan di SLTPN 5
Kota Bogor untuk kelas I sampai dengan kelas III yang masing-masing
tingkat terdiri dari sembilan rombongan belajar dan masing-masing rombogan
belajar mengikuti satu kali kegiatan Bina Rohani Islam dalam satu minggu.
Contoh
Jadwal Penyelenggaraan Bina Rohani Islam
No
|
Hari
|
Kelas
|
Waktu
|
Keterangan
|
1
|
Senin
|
I (A,B,C,D)
|
14.00-15.30
|
|
2
|
Selasa
|
I (E,F,G,H,I)
|
14.00-15.30
|
|
3
|
Rabu
|
II (A,B,C,D,E)
|
14.00-15.30
|
|
4
|
Kamis
|
II (F,G,H,I)
|
14.00-15.30
|
|
5
|
Jum’at
|
III (A- I Putri)
III (A- I Putra)
|
11.30-13.00
13.00-14.30
|
Sementara untuk sekolah yang menyelenggarakan Kegiatan
Belajar Mengajar pada pagi dan siang hari Bina Rohani Islam dapat dilakukan
dengan cara memanfaatkan hari-hari yang kegiatan belajar mengajarnya tidak
penuh. Sebagai contoh untuk kelas siang para pelajar putrinya bisa memanfaatkan
hari jum’at setelah selesai Kegiatan Belajar Mengajar kelas pagi ketika
para pelajar putra salat Jum’at. Sementara untuk para pelajar putra bisa
memanfaatkan hari Sabtu setalah selesai Kegiatan Belajar Mengajar kelas
pagi sebelum mereka melakukan kegiatan belajar mengajar pada siang harinya.
Kemudian untuk para pelajar kelas pagi bisa memanfaatkan
waktu siang hari setelah selesai Kegiatan Belajar Mengajar dengan memanfaatkan
kelas yang tersisa dan ruangan-ruangan lain yang bisa di pergunakan termasuk
bisa menggunakan musola, aula dan lain-lain. Bahkan jika guru agama dan seluruh
aparat sekolah mempunyai keinginan yang kuat untuk menyelenggarakan kegiatan
Bina Rohani Islam, kegiatan tersebut dapat dilakukan tanpa memerlukan ruangan
khusus, bisa saja kegiatan itu di lakukan di taman-taman sekolah, lapangan olah
raga dan tempat-tempat lainnya.
b.
Sumber Dana Penyelenggaraan Bina Rohani Islam
Sumber dana bina Rohani Islam bisa disusun sejak awal tahun
pelajran, dan dimasukan ke dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah
(RAPBS). Dana tersebut dapat di distribusikan untuk seluruh kegaiatan yang ada
kaitannya dengan Bina Rohani Islam termasuk didalamnya biaya pengganti
transport para pembimbing bina rohani Islam.
c.
Materi yang disajikan
Materi yang disajikan dalam bina Rohani Islam hendaknya dapat
menunjang materi intrakurikuler, dengan penekanan pada pendalaman pemahaman dan
kemampuan membaca Al Qur’an tapi tidak melupakan materi-materi lain seperti
Aqidah, Ahlak, Ibadah, Tarikh dan doa-doa pilihan. Mengapa harus demikian
?. Karena tujuan semula penyelenggaraan Bina Rohani Islam adalah
dalam rangka mensiasati keterbatasan jam mengajar di kelas.
d.
Tehnik dan metode penyampaian materi.
Pada pertemuan
pertama para pembimbing Bina Rohani Islam mengelompokan dan menginventarisir
pelajar yang sudah mampu membaca Al Quran dan yang belum. Pelajar yang telah
dikelompokkan tersebut untuk pertemuan selanjutnya dianjurkan membawa Al Qur’an
bagi yang sudah mampu membacanya dan membawa Buku Iqro bagi yang belum mampu
membaca Al Qur’an.
Untuk pertemuan
berikutnya, pada empat puluh menit pertama dipergunakan untuk pendalaman Baca
Tulis Qur’an (BTQ). Bagi yang sudah mampu membaca Al Qur’an dianjurkan untuk
membaca Al Qur’an sendiri, lebih baik lagi bila melakukan hapalan dan
bagi yang belum mampu membaca Al Qur’an dibimbing oleh pembimbing Bina Rohani
Islam untuk mempelajari IQRO. Dan bila perlu pembimbing bisa meminta bantuan
pelajar yang telah mampu membaca Al Qur’an untuk membimbing temannya
mempelajari Iqro (TUTOR SEBAYA). Kemudian Tiga puluh menit berikutnya
dipergunakan unruk penyampaian materi yang telah direncanakan dan tersusun
dalam Gris-Garis Besar Pengajaran (GBPP – ROHIS). Selanjutnya dua
puluh menit terahir dipergunakan untuk hapalan Al Qur’an surat-surat pendek dan
surat-surat pilihan yang telah direncanakan.
Metode penyampaian materi diusahakan menghindari metode satu
arah (ceramah), tapi diharapkan para pembimbing rohani Islam mampu menggunakan
berbagai macam metode kreatif dengan harapan metode tersebut bisa menumbuhkan
semangat pelajar untuk belajar tanpa menimbulkan kejenuhan. Prinsip yang harus
dipegang oleh para pembimbing rohani Islam metode tersebut dapat menyampaikan
pesan ke Islaman sebanyak-banyaknya kepada para pelajar dan dapat menimbulkan gairah
untuk mengamalkan inti ajaran Islam yang diperolehnya dengan penuh keikhlasan.
e.
Tenaga Pengajar (Pembimbing Bina Rohani Islam)
Yang menjadi tenaga pengajar atau pembimbing Bina Rohani
Islam tidak hanya guru Pendidikan Agama Islam saja, jika kekurangan tenaga
pengajar maka Kepala Sekolah bisa menunjuk guru mata pelajaran lain yang
memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap ajaran Islam. Atau jika perlu bisa
mengadakan kerja sama dengan para ustadz/ustadzah dan lembaga-lembaga
keagamaan lain yang ada di sekitar sekolah.
2) Mengkondisikan Sekolah Dengan Kegiatan
Keagamaan (Islamisasi Kampus).
Islamisasi kampus,
memang terasa sangat ekstrim. Tetapi hal ini dimaksudkan agar seluruh warga
sekolah terutama yang beragama Islam bisa menjalankan sebagain syariat Islam di
lingkungan sekolah sehingga situasi kondusif bisa tercipta di lingkungan
sekolah tersebut. Islamisasi kampus itu diantaranya bisa dilakukan melalui :
a. Setiap hari sebelum belajar
diusahakan setiap pelajar membaca Al Qur’an antara 5 s. d 10 ayat. Siswa yang
telah bisa membaca Al Qur’an diharapkan dapat membantu temannya yang masih
belum bisa membaca Al Qur’an. Sehingga saat menghadapi ujian praktek Pendidikan
Agama Islam seluruh pelajar telah dapat membaca Al Qur’an dengan baik dan
benar.
b. Waktu Istirahat disesuaikan
dengan waktu salat Dzuhur, sehingga seluruh aparat sekolah dan para pelajar
bisa melakukan salat tepat waktu. Dalam hal ini perlu dibuat komitmen yang
serius sehingga waktu istirahat benar-benar digunakan untuk salat.
c. Setiap hari jum’at (bagi
yang memiliki Mesjid) mengadakan salat Jum’at berjamaah di Mesjid (Musola) yang
ada di lingkungan sekolah. Seluruh pelajar mewakili kelasnya bergiliran menjadi
petugas salat Jum’at seperti muadzin dan bilal. Sedangkan guru-guru yang beragama
Islam diharapkan bisa bergiliran menjadi Imam dan Khatib Jum’at.
d. Setiap hari Jum’at seluruh
pelajar yang beragama Islam, guru-guru dan seluruh aparat sekolah dianjurkan
untuk memakai busana muslim baik laki-laki maupun perempuan (di tingkat SLTP
anak laki-laki memakai baju koko dan celana panjang sedangkan untuk anak
perempuan memakai kerudung dan rok panjang)
e. Setiap hari ada mata
pelajaran Agama Islam seluruh pelajar yang beragama Islam diwajibkan memakai
busana Muslim baik laki-laki maupun perempuan.
f.
Pihak sekolah baik pembina OSIS maupun BP/BK (di tingkat SLTP) tidak lagi
memperamasalahkan jika ada para pelajar putra yang memakai celana panjang
setiap hari dan memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menutup auratnya,
mengingat aturan yang ada baru memberikan kesempatan untuk menutup aurat bagi
para pelajar putri.
g. Setiap bulan Ramadlan dan
libur smester diadakan kegiatan pesantren kilat.
h. Setiap bulan Ramadlan
melaksanakan kegiatan pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan zakat maal
dengan melibatkan para pelajar sehingga mereka bisa mengetahui mekanisme
pembagian zakat melalui praktek.
i.
Setiap bulan Dzulhijjah menyelenggarakan kegiatan qurban di sekolah denga
melibatkan para pelajar sehingga mereka bisa mengetahui bagaimana mekanisme
pelaksanaan ibadah qurban dan bagaiman mekanisme pembagaian hewan daging
qurban.
j.
Ketika menyelenggarakan peringatan hari besar Islam (PHBI) tidak hanya
diisi dengan kegiatan ceramah tapi bisa melakukan kegiatan lain yang bisa
lebih menyentuh hati dan ingatan anak seperti melakukan bakti sosial, pemutaran
film-film Islam baik yang berupa film-film perjuangan maupun film-film
dokumenter, cerdas-cermat Al Qur’an dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Semua hal tersebut di atas dapat
terlaksana dengan baik bahkan bisa menciptakan suasana kondusif di lingkungan
sekolah jika seluruh guru dan seluruh aparat sekolah mempunyai tanggung jawab
dan keinginan yang sama dalam membentuk siswa yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah SWT.
3) Menggunakan Metode Insersi (Sisipan)
dalam KBM
Metode Insersi
adalah cara menyajikan bahan pelajaran degan cara ; inti sari ajaran Islam atau
jiwa agama/emosi religius diselipkan/disisipkan di dalam mata pelajaran umum
(Tayar Yusuf, 1995 : 73).
Untuk menggunaka
metode ini guru agama harus bekerja sama dengan guru mata pelajaran lain (mata
pelajaran umum) agar pesan-pesan keagaamaan bisa disampaikan melalui
pelajaran umum dengan cara yang sangat halus, sehingga hampir tidak terasa
bahwa sesungguhnya saat itu para pelajar sedang mendapatkan suntikan keagamaan
oleh guru mata pelajaran yang bukan pelajaran agama.
Metode insersi ini
bisa dilakukan melalui seluruh mata pelajaran, sebagai contoh ketika guru mata
pelajaran ekonomi mengajarkan tentang barter dan jual beli maka bisa disisipkan
jiwa agama berupa informasi tentang perlunya ijab kabul dan perlunya pencatatan
transaksi jual beli yang tidak dengan cara tunai sebagaimana termaktub
dalam surat Al Baqarah ayat 282. Atau contoh lain ketika melakukan praktikum
IPA, guru IPA bisa mneyampaikan perlunya kejujuran, ketelitian dan kesabaran
dalam melakukan praktek, sebab tanpa semua itu hasil dari praktek tidak akan
memuaskan bahkan mungkin gagal, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar baik menunjukkan pribadimu !