Welcome to Afive Blog

Kata-kata yang baik memiliki daya kreatif, kekuatan yang membangun hal-hal mulia, dan energi yang menyiramkan berkat-berkat kepada dunia.
JANGAN LUPA ISI BUKU TAMU

Minggu, 26 Desember 2010

MPAI - PPSI (prosedur pengembangan sistem instruksional ) dalam Pendidikan Agama



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah
Dalam proses pendidikan islam, pendekatan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya mencapai tujuan, karena pendekatan sarana yang sangat bermakna bagi materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan, sehingga dapat di pahami atau di serap oleh anak didik dan menjadi pengertian- pemgertian yang fungsional terhadap tingkah lakunya.
Pendidikan tidak akan efektif apabila tidak melakukan pendekatan ketika menyampaikan suatu materi dalam proses belajar mengajar. Dalam proses pendidikan agama islam, pendidikan yang tepat guna adalah pendidikan yang mengandung nilai – nilai yang sejalan dengan materi pelajaran dan secara fungsional dpt dipakai untuk merealisasikan nilai – nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan islam.

B. Rumusan masalah
  1. Apa pengertian pendekatan dalam pendidikan  agama?
  2. Apa dan bagaimana PPSI dalam pendidikan agama?
  3. Apa dan bagaimana modul dalam mengajar agama?
  4. Apa pengertian CBSA?
  5. Apa dan bagaimana belajar tuntas?
6.       Apa dan bagaimana quantum teaching?  

C.Tujuan masalah
1.      Untuk mengetahui apa pengertian pendekatan dalam pendidikan agama
2.      Untuk mengetahui apa dan bagaimana PPSI dalam pendidikan agama
3.      Untuk mengetahui apa dan bagaimana modul dalam mengajar agama
4.      Untuk mengetahui apa pengertian CBSA
5.      Untuk mengetahui apa dan bagaimana belajar tuntas
6.      Untuk mengetahui apa dan bagaimana quantum teaching

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendekatan
Dalam  kamus besar bahasa Indonesia, pendekatan adalah 1). proses perbuatan, cara mendekati; 2). Usaha dalam aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang di teliti; metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Secara terminologi Mulyono Sumardi menyatakan, bahwa “Pendekatan” dalam pendidikan islam berarti serangkaian asumsi mengenai hakikat pendidikan islam dan pengajaran Agama Islam serta belajar Agama Islam.
Pendekatan selalu terkait dengan tujuan, metode dan teknik, karena teknik yang bersifat implementasional dalm pengajaran tidak terlepas dari metode apa yang digunakan. Sementara metode sebagai rencana yang menyeluruh tentang penyajian materi pendidikan selalu didasarkan dengan pendekatan, dan pendekatan merujuk kepada tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya.[1]
Properties

Share / Save / Like

Senin, 13 Desember 2010

Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dengan susah payah akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya sendiri, tanpa meminta belas kasihan dari pemerintah Jepang / bangsa lain. Kemerdekaan Indonesia melahirkan kehidupan baru disegala bidang, termasuk pendidikan setelah Indonesia merdeka, bangsa Indonesia sendiri secepatnya mengubah sistem pendidikan dan menyesuaikannya dengan keadaan baru sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Maka di perlukan system pendidikan Nasional yang berdasarkan eksistensi masa lampau, masa kini, dan kewaspadaan terhadap perkembangan ke depan.

B.    Rumusan Masalah
1.       Mengapa lembaga pendidikan seperti Madrasah dan Pesantren pada masa awal kemerdekaan mendapat perhatian dari pemerintah ?
2.       Ada berapakah organisasi Islam yang peduli terhadap perkembangan pendidikan di masa awal kemerdekaan Indonesia ?

Properties

Share / Save / Like

Rabu, 08 Desember 2010

PROPOSAL SKRIPSI “ PERANAN GURU TIDAK TETAP (WIYATA BHAKTI) DALAM MENUNJANG KEBERHASILAN PROSES PEMBELAJARAN



PROPOSAL SKRIPSI
“ PERANAN GURU TIDAK TETAP (WIYATA BHAKTI) DALAM MENUNJANG KEBERHASILAN PROSES PEMBELAJARAN STUDI KASUS DI MADRASAH ALIYAH NEGERI 2
KEC. BOYOLANGU, KAB. TULUNGAGUNG ”
TAHUN AJARAN 2009/2010

ABSTRAK
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar Proposal Skripsi dengan judul : ” Peranan Guru Tidak Tetap (Wiyata Bhakti) Dalam Menunjang Keberhasilan Proses Pembelajaran Studi Kasus di Madrasah Aliyah Negeri 2 Kec. Boyolangu, Kab. Tulungagung “, Oleh Afiful Ikhwan Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam, NIM 3211063024. Tahun 2010.

A.     Latar Belakang Masalah
Era globalisasi merupakan era persaingan mutu atau kualitas. Dalam menghadapi berbagai perubahan di era ini diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kualitas dalam menghadapi setiap tantangan yang muncul. Salah satunya adalah bidang pendidikan. Pendidikan mempunyai peranan penting membangun masyarakat. Pendidikan juga mengemban tugas untuk menghasilkan generasi muda bangsa yang unggul, manusia yang lebih berkebudayaan serta manusia sebagai individu yang memiliki kepribadian yang lebih baik.
Dalam UU no. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual-keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Salah satu tujuan pendidikan nasional yang harus di capai oleh bangsa Indonesia seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia adalah cita-cita luhur perjuangan bangsa Indonesia dalam mengarahkan dan perkembangan.
Upaya mencerdaskan bangsa Indonesia dalam artian meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang dapat direalisasikan melalui kegiatan pendidikan. Seperti yang dirumuskan dalam ketetapan-ketetapan MPR. Republik Indonesia tentang pendidikan nasional, yaitu :
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat Jasmani dan Rokhani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]
Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiaan sosial serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan. Iklim belajar dan mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar dikalangan masyarakat terus dikembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif dan keinginan untuk maju.[2]
Properties

Share / Save / Like

AGAMA YAHUDI DAN KRISTEN



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Yahudi dengan mudah menjadi sasaran tudingan karena mereka tampak beruntung dengan perubahan masyarakatnya. Dalam masyarakat Eropa tradisional, orang Yahudi sebagai minoritas agama dikucilkan dan biasanya tidak diperbolehkan berperan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat: politik, pemilikan tanah dan banyak jenis pekerjaan dilarang bagi mereka. Runtuhnya tatanan sosial tradisional dan perkembangan ke arah masyarakat industri berarti juga berakhirnya larangan lama dan kemungkinan mobilitas sosial bagi semua orang Eropa termasuk Yahudi. Bagi golongan yang telah menghilangkan privilese lama dalam proses modernisasi ini, atau yang merindukan masyarakat tradisional, Yahudi menjadi simbol dari semua perubahan yang terjadi; sikap anti-kemodernan diungkapkan dalam bentuk antisemitisme.
Di dalam makalah ini kami akan membahas lebih spesifik lagi tentang atau yang berkaitan dengan agama yahudi dan itupun tidak keluar dari lingkup pembahasan yang sudah ditetapkan seperti dimulai dari sejarahnya, ajarannya, aliran-alirannya dan perkembangan atau bagaimana peran dari agama ini, karena sebagaimana yang diketahui bahwa agama ini tidak diakui pada Negara Indonesia.

Properties

Share / Save / Like

Selasa, 07 Desember 2010

UKURAN KEBENARAN



Berfikir merupakan kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar, apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Secara umum, orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran , problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistimologi. Perlu dibedakan adanya tiga jenis kebenaran. Yaitu ; kebenaran epistimologis, ontologis dan semantis.

Teori yang menjelaskan kebenaran epistimologis adalah :
1.      Teori Korespondensi tentang kebenaran.
Dikatakan benar apabila ada kesesuaian antara yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
           
Dengan demikian, kebenaran epistimologis adalah keterkaitan antara subjek dan objek.
           
Suatu pengertian adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang diselaraskannya, yaitu apabila ia menyatakan apa adanya, kebenaran adalah yang besesuaian dengan fakta.
           
Properties

Share / Save / Like

Pengembangan Kurikulum



BAB I
PENDAHULUAN


A.     Latar Belakang Masalah
Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam upaya membentu peserta didik menguasai tijuan-tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat. Sementara itu otak dari semua alur proses terjadinya pendidikan yaitu kurikulum. Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang disediakan bagi siwa disekolah. Dalam kurikulum sendiri terintegrasi filsafat, nilai-nilai, pengetahuan dan perbuatan pendidikan. Rancangan pendidikan ini disusun dengan maksud memberi pedoman kepada pelaksna pendidikan dalam proses pembimbingan pengembangan siswa untuk mencapai tujuan yang di cita-citakan oleh peserta didik itu sendiri, keluarga dan masyarakat.
Properties

Share / Save / Like

Jumat, 26 November 2010

Tasawuf - Konsep Sabar Dalam Ilmu Tasawuf.doc



BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
            Sebagai disiplin ilmu, sebagaimana telah dipaparkan para ilmuan, tasawuf merupakan sebuah disiplin agam yang baru, seperti halnya ilmu ushul fiqh, musthakah ai hadist dan sebagainaya. Karena eksistensunya sebagai salah satu metode peebaikan akhlak yang ajaranya mempunayai landasan yang kuat dalam al-quran dan sunnah rasul saw, dan cara mendekatkan diri kepada allah.
            Sebagai unit dari ilmu tasawuf sendiri yaitu tawakal dan sabar, yang mana kedua hal tersebut mempunyai perang yang sangat domonan dalam merealisasikan urgensi atau pendekatan kepada Allah. Sehingga hal tersebut tidak pernag terlepas dari kehidupan keseharian manusia yang senantisas mengabdikan dirinay kepada allah. Meskopun demikian keduanya itu dalam tatrqan kehidupan itu sama tetapi diantaranay ada hak yang membedakan, secara jelas perbadaan tersebut tidak dapat ataupun sulit untuk dicermati , kecuali bilaman dalam mengetahuinya menggunakan hati nurani yang bersih.

B. RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah konsep sabar menurut ilmu tasawuf ?
2.      Bagaimankah sebuah konsep tawakal dalam taswuf ?
3.      Dimana letak perbedaan antara sabar dan tawakal ?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1.      untuk mengetahui apa itu tawakal dalm tasawuf
2.      mengetahui sabar dalam konsep tasawuf
3.      dan letak perbedaan antara keduanya



BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Sabar Dalam Ilmu Tasawuf
a. pengertian sabar
            Kata As-Shobru dalam bahasa Arab berarti: Al-Habsu (belenggu) atau Al-Man’u (larangan) jika ada yang mengatakan “ana as-shabil” (saya seorang prnyabar) artinaya: saya membelenggu nafsuku, atau saya melarang nafsuku.[1]
            Sabar secara istilah, terdapat beberapa pengertian yabg diantaranya adalah: Abu Zakaria Al-Anshori memgemukakan bahwa sabar merupakan kemampuan seseorang mengendalikan diri terhadap sesuatu yang terjadi, baik yang di senangi maupun yang di benci. Menurut Qosim Junaidi sabar adalah mengalihkan perhatian dari urusan dunia kepada urusan akhirat.[2]
Properties

Share / Save / Like

PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
                   Kebudayaan merupakan pedoman bagi kehidupan masyarakat, merupakan perangkat-perangkat acuan yang berlaku umum dan menyeluruh dalam menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.[1] Dalam kebudayaan terdapat perangkat-perangkat dan keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh pendukung kebudayaan tersebut. Adapun tradisi keagamaan merupakan pranata primer dari kebudayaan memang sulit berubah karena keberadaannya didukung oleh kesadaran bahwa pranata tersebut menyangkut kehormatan harga diri, dan jati diri masyarakat pendukungnya.[2] Dalam makalah ini akan dibahas tentang pengaruh kebudayaan khususnya tradisi keagamaan terhadap jiwa keagamaan pada era globalisasi. Pada era globalisasi itu menunjukan bahwa kebudayaan (bidang material) sangat berpengaruh terhadap jiwa keagamaan. Sehingga memuncukan kecenderungan-kecenderungan yang membawa konsekuensi tersendiri bagi penganut agama tertentu, apa kecenderungan yang positif atau negatif yang lebih bersifat destruktif. Pada kondisi itu kondisi kejiwaan penganut agama tersebut haruslah menunjukkan jati diri sebagai penganut agama yang tetap tidak tergerus oleh nilai-nilai yang sekuer meskipun kemajuan iptek berpengaruh pesat ditengah arus global. Hendaknya mereka menganggap globalisasi sebagai tantangan yang harus dihadapi sekaligus menjadikan globaisasi sebagai ancaman bila tidak mampu menunjukan jati dirinya, karena globalisasi merupakan puncak peradaban manusia.

B.   Rumusan Masalah
1.   Apakah yang dimaksud dengan tradisi keagamaan dan kebudayaan itu?
2.   Bagaimanakah hubungan antara tradisi keagamaan dan sikap keagamaan?
3.   Bagaimana pengaruh eksistensi kebudayaan di era globalisasi terhadap jiwa keagamaan?

C.   Tujuan
1.   Untuk mengetahui pengertian tradisi keagamaan dan kebudayaan.
2.   Untuk mengetahui hubungan antara tradisi keagamaan dan sikap keagamaan.
3.   Untuk mengetahui pengaruh eksistensi kebudayaan di era globalisasi terhadap jiwa keagamaan.

Properties

Share / Save / Like

Rabu, 03 November 2010

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH 1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.

Berdasarkan masalah ini, maka berbagai pihak mempertanyakan apa yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan kita?. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara marata.

Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education function atau input-output analisys yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya, dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan educational production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.

Faktor kedua, penyelenggaran pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggaraan pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Sekolah lebih merupakan subordinasi birokrasi diatasnya sehingga mereka kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas/inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.

Faktor ketiga, peranserta warga sekolah khususnya guru dan pranserta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, pada hal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Dikenalkan pembaruan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan di sekolah tersebut. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya sebatas pada dukungan dana, sedang dukungan-dukungan lain seperti pemikiran, moral dan barag/jasa kurang diperhatikan. Akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat juga lemah. Sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggung jawabkan hasil pelaksnanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu unsur utama yang berkepentingan dengan pendidikan (stakeholdir).

Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut diatas, tentu saja perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
Properties

Share / Save / Like

Minggu, 31 Oktober 2010

ANALISIS DAN INTERPRETASI ITEMAN



B.   INTERPRETASI ITEMAN
Dalam analisis iteman, perlu dijabarkan secara rinci dalam interpretasi iteman, yang meliputi:
  1. Analisis soal.
  2. Analisis option (pilihan jawaban).
  3. Analisis kualitatif.
Berikut ini dijelaskan secara rinci,” Interpretasi iteman” yang didapat dari:
Mata Pelajaran         : Pendidikan Agama Islam
Kelas / Semester      : IV (empat) / I (Ganjil)
Tahun Pelajaran       : 2008-2009
Sekolah                   : SDN Wajak Lor I
Alamat                     : Jl. Raya Wajak Lor- Boyolangu-Tulungagung
Materi                      : Kisah Nabi dan Perilakunya
Dari materi pokok tersebut didapatkan SK, KD dan indikator, yaitu:
I.    Standar Kompetensi     : Menceritakan kisah Ibrahim dan Nabi Ismail as.
      Kompetensi Dasar        : Menceritakan Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as.
Indikator                      :
1.   Menjelaskan kisah hidup Nabi Ibrahim as dan Ismail as..
2.   Menyebutkan keluarga Nabi Ibrahim as dan Ismail as.
3.   Menjelaskan dakwah Nabi Ibrahim as kepada ayahnya.
4.   Menjelaskan kisah Nabi Ismail di Mekah dan air zam-zam.
5.   Menyebutkan ketaatan nabi Ismail as terhadap Allah SWT dan ayahnya.
Materi Pokok               : Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as.
II.   Standar Kompetensi     : Kisah Ibrahim dan Nabi Ismail as.
      Kompetensi Dasar        : Membiasakan perilaku terpuji.
Indikator                      :
1.   Menjelaskan ketaatan hidup Nabi Ibrahim as dalam menerima ujian dari Allah SWT.
2.   Meneladani keteguhan hati Nabi Ibrahim as dalam berdakwah.
3.   Menceritakan kisah Nabi Ismail as.
4.   Menceritakan akhlak Nabi Ismail as yang taat dalam kehidupan.
5.   Meneladani akhlak Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as dalam kehidupan sehari-hari.
Materi Pokok               : Perilaku Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as.
Pada “interpretasi soal’ terdapat kaidah penulisan soal pilihan ganda (PG) pada soal-soal disimbolkan dengan:
1.   Soal harus sesuai dengan indokator.
2.   Pengecoh berfungsi.
3.   Setiap jawaban mempunyai satu jawaban yang benar.
4.   Pokok soal dirumuskan secara tegas dan jelas.
5.   Pokok soal tidak memberi petunjuk ke arah jawaban yang benar.
6.   Plihan jawaban homogen dan logis ditinjau dari segi materi.
7.   Panjang rumusan pilihan jawaban harus relatif sama.
8.   Pilihan jawaban tidak mengandung pernyataan “semua pilihan jawaban di atas salah atau benar”.
9.   Pilihan jawaban yang berbentuk angka disusun berdasarkan urutan besar kecilnya nilai angka.
10. Soal tidak bergantung pada jawaban soal sebelumnya.
11. Soal menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
12. Pernyataan mudah dimengerti warga belajar siswa.

Properties

Share / Save / Like

PERAN e-LEARNING DALAM PEMBELAJARAN DI ERA GLOBALISASI



Oleh: Afiful Ikhwan*

A.      Mengenal e-Learning
E-learning merupakan bentuk pembelajaran/pelatihan jarak jauh yang memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informasi , misalnya internet, video/audiobroadcasting, video/audioconferencing, CD-ROOM (secara langsung dan tidak langsung).
Kegiatan e-learning termasuk dalam model pembelajaran individual. Menurut Loftus (2001) dalam Siahaan (2004) kegiatan e-learning lebih bersifat demokratis dibandingkan dengan kegiatan belajar pada pendidikan konvensional, karena peserta didik memiliki kebebasan dan tidak merasa khawatir atau ragu-ragu maupun takut, baik untuk mengajukan pertanyaan maupun menyampaikan pendapat/tanggapan karena tidak ada peserta belajar lainnya yang secara fisik langsung mengamati dan kemungkinan akan memberikan komentar, meremehkan, atau mencemoohkan pertanyaan maupun pernyataannya.
B.      Filosofi e-learning
Pertama, elearning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan secara on-line.
Kedua, e-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara konvensional (model belajar konvensional, kajian terhadap buku teks, dan pelatihan berbasis komputer) sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi.
Ketiga, e-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan pengembangan teknologi pendidikan.
Keempat, Kapasitas siswa amat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara penyampaiannya. Makin baik keselarasan antar conten dan alat penyampai dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas siswa yang pada gilirannya akan memberi hasil yang lebih baik.[1]
C.      Profil Peserta e-Learning
Profil peserta e-learning adalah seseorang yang :
(1)       mempunyai motivasi belajar mandiri yang tinggi dan memiliki komitmen untuk belajar secara bersungguh-sungguh karena tanggung jawab belajar sepenuhnya berada pada diri peserta belajar itu sendiri.
(2)  senang belajar dan melakukan kajian-kajian, gemar membaca demi pengembangan diri terus menerus, dan yang menyenangi kebebasan.
(3)       mengalami kegagalan dalam mata pelajaran tertentu di sekolah konvensional dan membutuhkan penggantinya, atau yang membutuhkan materi pelajaran tertentu yang tidak disajikan oleh sekolah konvensional setempat maupun yang ingin mempercepat kelulusan sehingga mengambil beberapa mata pelajaran lainnya melalui e-learning, serta yang terpaksa tidak dapat meninggalkan rumah karena berbagai pertimbangan.[2]

Pembelajaran dengan bantuan komputer (PBK) atau Computer Assisted Instruction (CAI) merupakan awal mula kemunculan dari e-learning.
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, penerapan e-Learning merupakan suatu strategi yang efektif untuk mengejar ketertinggalan bangsa kita dengan bangsa lainnya yang sudah selangkah lebih maju dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), terutama teknologi informasi. Sebagai solusi, e-Learning memiliki keunggulan berupa biaya pengembangan yang lebih murah, lebih baik, serta lebih cepat.
Dikatakan lebih murah karena, metode pembelajaran secara e-Learning tidak mengharuskan peserta kegiatan belajar mengajar menghadiri suatu ruang tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya sebagai ruang pertemuan dan ruang tempat proses belajar mengajar terjadi. Selain itu, dengan metode e-Learning, tidak diperlukan keberadaan ataupun penyediaan seorang tutor.
Dikatakan lebih baik karena, metode pembelajaran secara e-Learning tidak menetapkan seorang peserta sebagai bagian dari seluruh peserta lainnya mengikuti cara belajar teman-teman lainnya. Artinya, kecepatan belajar ditentukan oleh diri sendiri bukan oleh kemampuan yang diseragamkan dalam kelas. Hal ini, jelas sekali membuat mereka yang memiliki intelegensia tinggi dapat mempelajari subjek masalah yang ingin dipelajari secara lebih mendalam dan dapat lebih banyak lagi mendapatkan informasi yang menarik.
Dikatakan lebih cepat karena, metode pembelajaran secara e-Learning memberi kebebasan kepada pesertanya untuk tidak menghadiri ruang kelas apabila mereka ingin mendapatkan jawaban atas permasalahan mengenai suatu bidang yang saat ini digelutinya atau dipelajarinya, asalkan peserta tersebut memiliki hak akses perangkat teknologi informasi (misalnya komputer), dengan cepat ia akan segera mendapatkan informasi yang dicarinya, bahkan tanpa disadiri ia mungkin akan mendapatkan informasi jauh melebihi dari apa yang ia cari. Ini sangat berbeda sekali dengan metode pembelajaran konvensional, dimana apabila ada suatu masalah yang memerlukan jawaban, biasanya solusi dari masalah tersebut dijabarkan hanya di ruang kelas saja, umumnya dilakukan oleh staf pengajar.
Setiap orang atau organisasi yang ingin memenangkan suatu persaingan yang sedemikian kompetitif, harus mengambil langkah-langkah yang positif secara cepat. E-learning sebagai suatu strategi dan solusi mengakselerasi kondisi yang sedemikian cepatnya menjadi suatu hal yang sinkron, sehingga dapat dikatakan e-learning adalah senjata yang ampuh untuk diterapkan dalam memenangkan persaingan yang semakin kompetitif di era globalisasi ini.[3]
Peranan e-learning dalam meningkatkan efektifitas belajar tidak dapat dilepaskan dari konteks pengertian belajar yang efektif (baik menggunakan awalan “e” ataupun tidak). Belajar bukan hanya sekedar transfer informasi dari sumber belajar kepada pembelajar, tetapi harus menghasilkan perubahan yang terjadi akibat dari pengalaman.[4] 
Properties

Share / Save / Like

Sabtu, 30 Oktober 2010

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH 2



I.          PENDAHULUAN

Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan mendasar yang sedang digulirkan saat ini adalah manajemen negara, yaitu dari manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah" yang kemudian diikuti pedoman pelaksanaannya berupa "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi. Konsekwensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Karena itu, manajemen pendidikan berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan perlu diubah menjadi manajemen berbasis sekolah (MBS).

Selain alasan normatif, secara empirik MBS memang perlu diterapkan karena di lapangan menunjukkan kenyataan-kenyataan sebagai berikut.

   1. Manajemen berbasis pusat selama ini telah memiliki banyak kelemahan, antara lain: keputusan pusat sering kurang sesuai dengan kebutuhan sekolah; administrasi berlebihan yang dikarenakan lapis-lapis birokrasi yang terlalu banyak telah menyebabkan kelambanan dalam menangani setiap permasalahan, sehingga menyebabkan kurang optimalnya kinerja sekolah; dalam kenyataan, administrasi telah mengendalikan kreasi; proses pendidikan dijalankan dengan undermanaged sehingga menghasilkan tingkat efektivitas dan efisiensi yang rendah; pendekatan sarwa-negara (state-driven) telah menempatkan sekolah pada posisi yang marginal, sehingga sekolah tidak memiliki keberanian moral (prakarsa) untuk berinisiatif; sekolah tidak mandiri; terjadi penyumbatan dan bahkan pemasungan demokrasi; sekolah tidak peka dan jeli dalam menangkap dan mengungkap permasalahan, kebutuhan, dan aspirasi pendidikan dari masyarakat; dan manajemen berbasis pusat tidak saja menumpulkan daya kreativitas sekolah, tetapi juga mengikis habis rasa kepemilikan warga sekolah terhadap sekolahnya.
   2. Sekolah paling memahami permasalahan disekolahnya. Karena itu, sekolah merupakan unit utama yang harus memecahkan permasalahannya melalui sejumlah keputusan yang dibuat "sedekat" mungkin dengan kebutuhan sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki kewenangan (otonomi), tidak saja dalam pengambilan keputusan, akan tetapi justru dalam mengatur dan mengurus kepentingan sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan payung kebijakan makro pendidikan nasional.
   3. Perubahan di sekolah akan terjadi jika semua warga sekolah ada "rasa memiliki" yang berasal dari kesempatan berpartisipasi dalam merumuskan perubahan dan keluwesan untuk mengadaptasikannya terhadap kebutuhan individu sekolah. Rasa memiliki ini pada gilirannya akan meningkatkan pula rasa tanggungjawab. Jadi, makin besar tingkat partisipasi warga sekolah dalam pengambilan keputusan, makin besar rasa memiliki terhadap sekolah, dan makin besar pula rasa tanggungjawabnya. Yang demikian ini berarti bahwa "perubahan" lebih disebabkan oleh dorongan internal sekolah dari pada tekanan dari luar sekolah.
   4. Telah lama pengaturan yang bersifat birokratik lebih dominan dari pada tanggungjawab profesional, sehingga kreativitas sekolah pada umumnya dan guru pada khususnya terpasung dan bahkan terbunuh. Tidak jarang pula dijumpai bahwa formalitas sering jauh melampaui hakiki. Yang lebih parah lagi guru-guru kehilangan "jiwa kependidikannya". Mendidik tidak lebih dari sekadar pengenalan nilai-nilai, yang hasilnya hanya berupa pengetahuan nilai (logos) dan belum sampai pada penghayatan nilai (etos), apalagi sampai pengamalannya. Akibatnya, menurut Aburizal Bakrie (1999), proses belajar mengajar di sekolah lebih mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh guru, dibanding daya kreasi, nalar, dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru. Tidak ada keterbukaan dan demokrasi. Tidak ada toleransi pada kekeliruan akibat kreativitas berpikir, karena yang benar adalah apa yang dipersepsikan benar oleh guru, sehingga yang terjadi hanyalah memorisasi dan "recall" dan tidak dihargainya kreativitas dan kemampuan peserta didik. Padahal, pembelajaran yang sebenarnya semestinya lebih mementingkan pada proses "pencarian jawaban" dibanding "memiliki jawaban".
Properties

Share / Save / Like

Selasa, 26 Oktober 2010

BEBERAPA MACAM ISTILAH FIQHIYAH DAN PEMBAGIANYA



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dewasa ini banyak kejadian-kejadian yang kerap muncul dan memberi sohck terapi bagi seseorang yang turut mersakan dapat dari kejadian tersebut. Hal ini didominasi dengan pengaruh globalisasi pemikiran-pemikiran para ahli dan ideologi seseorng yang cenderung individualis. Ini semua sangat berpengaruh bagi kehidupan sehari-hari terutama orang yang memiliki peradaban yang tinggi dan memiliki moralitas agam yang cukup kuat. Seperti halnya umat Islam, akhir-akhir ini digemparkan tentang istilah hukum bagi sesuatu ataupun hal yang belum begitu dimengerti ole khayalak umum. Karena hal ini belum jelas tercantum dan dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Al- Hadits, melainkan datri beberapa kesepakan petinggi-petinggi isalam yang juga kerap disebut ulama. Maka dari itu oarang harus pandai memilih dan memilah apa yang ia mau dapatkan. Tidak menutup kemungkinan suatu hal itu yang ia anggap sudah benar dan halal untuk didapat tetapi tetapi sesungguhnya hal itu di larang dan haram untuk di dapat. Maka dari itu kata oarang tua kita “orang hidup itu jangan semaunya sendiri, tetapi harus punya tata krama dan panutan”, dari situ dapat disimpulkan bahawa dalam memeahami kaidah islam yaitu yang termaktub dalam fiqhiyah kita aharus mempunyai oang yang kits buat teladan yang sepenuhnya orang tersebut lebig bisa mendalami dan lebih memahami kaidah-kaidah fiqhiyah yang soheh di dalam menghadsapi munculnya beberapa temuan hukum yang kontemporer yang sesuai dengan kemajuan zaman.

A.     Rumusan Masalah
  1. Apa saja istilah fiqhiyah yang kerap muncul pada masyarakat golongan umum?
  2. Siapa saja para mujtahid itu dan apa saja tingkatany?
  3. Seberapa besar pengaruhnya dalam perkembangan tarikh tasry?
B.     Tujuan Masalah
  1. Agar mengetahui kaidah istilah fiqhiyah yang sesuai dan benar
  2. Agar mengetahui bebrapa mujtahid dan tingkatanya
Properties

Share / Save / Like

Rabu, 13 Oktober 2010

KRITERIA ORANG YANG MATANG BERAGAMA


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Manusia mengalami dua macam perkembangan, yaitu perkembangna jasmani dan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Punck perkembangna jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya, perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (maturity).
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
      Disini kami membahas secara mendalam bagaimana kriteria orang yang agamanya sudah matang atau mendalam, mulai dari dasar yakni dari faktor intern anak hingga dewasa.

Properties

Share / Save / Like

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
                 Masalah pendidikan adalah masalah yang sangat penting dalam kehidupan, bukan saja penting bahkan masalah pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, khususnya pendidikan agama. Baik dalam kehidupan berkeluarga maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga pendidikan dijadikan suatu ukuran maju mundurnya suatu bangsa.
                 Di dalam makalah ini kita akan membahas bagaimana Pendidikan Agama Islam di Indonesia, baik dari segi perkembangannya dizaman dahulu dan sampai sekarang, kedudukannya disekolah-sekolah negeri maupun swasta, dan cara penerapan pendidikan agama itu di dalam proses pendidikan.

Properties

Share / Save / Like

Ilmu Pendidikan

BAB I
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
ILMU PENDIDIKAN

A. Pengertian Pendidikan
  1. Maha Luas : Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup yang mempengaruhi individu (pengalaman).
  2. Maha Sempit : Pendidikan adalah pendidikan yang melibatkan guru, murid, alat didik, media serta adanya jenjang pendidikan.
  3. Luas terbatas : Pendidikan adalah campuran dari pendidikan maha luas dan maha sempit.

B. Ruang Lingkup Pendidikan
1.      Pendidik : orang dewasa yang bertanggung jawab untuk memberikan bimbingan secara sadar terhadap perkembangan kepribadian dan kemampuan si terdidik baik jasmani maupun rohani agar mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu dan social.
2.      Peserta didik : Fungsinya adalah belajar diharapkan peserta didik mengalami perubahan tingkah laku sesuai dengan tujuan dan system pendidikan.
3.      Tujuan dan Prioritas                              8.   Fasilitas
4.      Struktur dan jadwal waktu                    9.   Tekhnologi
5.      Isi dan bahan pengajaran                       10.   Manajemen atau pengelolaan
6.      Alat pendidikan                                    11. Pengawasan mutu
7.      Penelitian                                              12. Biaya

Properties

Share / Save / Like

DISCOVERY / INQUIRY


 A.    PENGERTIAN STARATEGI  INQUIRY / DISCOVERY
Inquiry berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan. Strategi inquiry berarti suatu rangkaian belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Sasaran utama dalam kegiatan belajar mengajar strategi ini ialah :
·       Keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar. Kegiatan belajar disini adalah kegiatan mental intelektual dan social emosional.
·       Keterarahan kegiatan secara logis dan sistematis pada tujuan pengajaran.
·       Mengembangkan sikap percaya pada diri sendiri (self belief) pada diri siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inquiry.

Untuk menyusun strategi yang terarah pada sasaran tersebut perlu diperhatikan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa dapat berinquiry secara maksimal. Joyce mengemukakan kondisi-kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inquiry bagi siswa. Kondisi tersebut ialah :
a.     Aspek social didalam kelas dan suasana terbuka yang mengundang siswa bediskusi. Dimana setiap siswa tidak merasakan adanya tekanan atau hambatan untuk mengemukakan pendapatnya. Adanya rasa takut, atau rendah diri, atau merasa malu dan sebagainya, baik terhadap teman, siswa maupun terhadap guru adalah faktor – faktor yang menghambat terciptanya suasana bebas dikelas.
b.     Inquiry berfokus pada hipotesis.
c.      Penggunaan fakta sebagai evidensi. Didalam kelas dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta sebagaimana dituntut dalam pengujian hipotesis pada umumnya.

Untuk menciptakan kondisi seperti itu, maka peranan guru sangat menentukan. Guru tidak lagi berperan sebagai pemberi informasi dan siswa sebagai penerima informasi, sekalipun hal itu sangat diperlukan. Peranan utama guru dalam menciptakan kondisi inquiry adalah :
1.     Motifator, yang memberi rangsangan supaya siswa aktif dan gairah berfikir.
2.     Fasilitator, yang menunjukan jalan keluar jika ada hambatan dalam proses berfikir siswa.
3.     Penanya, untuk menyadarkan siswa dari kekeliruan yang mereka perbuat dan memberi keyakinan pada diri sendiri.
4.     Administrator, yang bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan didalam kelas.
5.     Pengarah, yang memimpin arus kegiatan berfikir siswa pada tujuan yang diharapkan.
6.     Manejer, yang mengelola sumber belajar, waktu, dan organisasi kelas.
7.     Rewarder, yang memberi penghargaan pada prestasi yang dicapai dalam rangka penigkatan semangat heuristic pada siswa.
Supaya guru dapat melakukan peranannya secara efektif maka pengenalan kemampuan siswa sangat diperlukan, terutama cara berfikirnya, cara mereka menanggapi, dan sebagainya.[1]

Asumsi-asumsi yang mendasari model inquiry ialah :
(1)  Keterampilan berfikir kritis dan berfikir dedukatif yang diperlukan berkaitan dengan pengumpulan data yang bertalian dengan kelompok hipotesis.
(2)  Keuntungan bagi siswa dari pengalaman kelompok dimana mereka berkomunikasi, berbagi tanggung jawab , dan bersama-sama mencari pengetahuan.
(3)  Kegiatan-kegiatan belajar disajikan dengan semangat berbagai inquiry dan discovery menambah motivasi dan memajukan partisipasi.[2]
Properties

Share / Save / Like